44 You are My Everything

Malam ini rasanya ingin selalu berada di samping Farani. Memandang wajahnya dan melihat senyum yang selalu terukir di wajahnya. Juga melihat binar mata yang terbingkai kacamata kotak.

"Kalo gue minta ijin sama Ayah biar lo bisa nginep disini, kira-kira dikasih nggak ya?" pertanyaan itu keluar dari mulut Sita.

Pertanyaan yang tidak pernah terbayangkan. Jangankan terbayang, memikirkannya saja Farani tidak berani. Itu sama saja membawa ke lubang kematian lebih cepat menurut Farani.

"Mungkin bentar lagi gue tinggal nama. Farani Narendra, meninggal diusia 18 tahun karena dibantai oleh ayahnya." Jawab Farani sambil bergidik.

Jangankan menginap di rumah Sita, Farani pulang telat karena pergi dengan Sita pun dia pasti akan kena marah. Itu sebabnya Farani tidak berani membayangkan meminta ijin untuk menginap di rumah Sita.

Dengan hangat Sita memeluk Farani sebagai kompensasi karena tidak bisa menginap di rumahnya. Rumah Sita yang sepi semakin terasa sepi saat lampu sebagian besar mati. Hanya lampu dapur yang menyala. Membuat suasana menjadi romantis dan tenang.

"Gue pengen lo nemenin gue malam ini. Rasanya sepi banget."

Sebenarnya Farani menaruh curiga dengan perubahan perilaku pacarnya, tapi karena perkataan Sita terlewat romantis membuat Farani terbuai. Membuat dirinya mengesampingkan rasa curiganya.

"I wish I can."

Farani membalas pelukan yang erat untuk Sita, seolah berkata bahwa dia ingin menemani Sita tetapi tidak bisa.

"It's enough."

Merasakan pelukan yang tulus membuat Sita merasa lebih baik. Meskipun masih terselip kekecewaan dalam hatinya karena Farani tidak bisa menemaninya malam ini.

Lama keduanya berpelukan, seolah enggan melepaskan dan merasa bahwa ini adalah semacam perpisahan. Memang keduanya akan berpisah, karena Farani harus pulang. Sekarang sudah lebih dari jam 9 malam, hampir jam 10 malam. Kalau tidak pulang sekarang, Farani akan dicoret dari kartu keluarga oleh ayahnya.

"Fa, gue ada kado buat lo. Buka besok kalo pas ultah ya." sita mengeluarkan bingisan berwarna biru muda dari dalam sakunya.

Kotak kecil itu terlihat cantik.

"Ini isinya cincin?" Farani menebak seadanya. Biasanya kotak kecil seperti itu isinya cincin.

Sita tersenyum jahil. "Buka pas lo ultah ya."

Keduanya lalu masuk ke mobil masing-masing, melajukan mobil menuju rumah Farani. Selama perjalanan, mata Farani berulang kali melirik bingkisan yang ada dipangkuannya itu.

Seperti dugaan mereka berdua, ayah sudah menanti di depan rumah dengan muka sangar khas ayah. Melihat putrinya dan Sita keluar dari mobil masing-masing, ayah memberikan tatapan maut untuk Sita.

"Jam berapa ini?" suara ayah terdengar seperti petir yang menyambar.

"Maaf Ayah, tadi abis nonton trus mampir makan." jawab Sita, memberikan alasan untuk keterlambatan mereka.

"Emang nggak ada jadwal yang nggak sampe malem banget gini?"

Keduanya terdiam, tak bisa menjawab pertanyaan mudah yang diberikan oleh ayah.

"Kalo sampe kalian lebih dari jam 10 malem lagi, ayah pecat kalian!" ledakan kemarahan ayah mengagetkan keduanya. "Sita, pulang! Farani masuk kamar!"

Setelah mencuri kesempatan untuk melambaikan tangan, baik Sita dan Farani masuk. Sita berjalan masuk ke mobilnya, sedangkan Farani masuk ke kamarnya. Hapal dengan kebiasaan Sita yang tidak langsung pergi, Farani berjalan menuju jendela kamarnya. Disana terlihat Sita masih berdiri di luar mobil, sambil menyalakan sebatang rokok.

Dari jendela kamarnya, Farani bisa melihat bahwa kekasihnya itu nampak seperti memikirkan sesuatu. Melihat Sita melambaikan tangannya lalu masuk ke dalam mobil, Farani sedikit lega. Mungkin kekhawatirannya tidak beralasan dan hanya pikirannya saja.

*

Sesampainya di rumah, Sita segera mengirimkan pesan kepada Farani. Mengabarkan bahwa dirinya sampai di rumah dengan selamat.

Duduk di ruang tengah, Sita mengamati sekitarnya. Sepi. Berbeda dengan beberapa waktu lalu saat Farani ada disini. Walaupun hanya berdua, keduanya mampu mengisi rumah yang sepi itu hingga terasa hidup. Namun kini hanya tinggal dia seorang.

Beberapa kali HP Sita berdering. Begitu dia melihat bahwa yang menelepon adalah Papa, Sita tidak punya keinginan untuk mengangkat telepon itu. Sita sudah menduga bahwa isi percakapan mereka adalah tentang pekerjaan. Dan juga permintaan Papa untuk pindah ke Jakarta.

Jelas itu hal yang mustahil dilakukan oleh Sita saat ini, mengingat dia masih harus menunggu Farani sampai lulus kuliah. Juga menunggu Farani mendapatkan pekerjaan. Sayangnya dia tidak bisa memberitahukan kepada Papa, karena pasti papanya akan memberinya banyak alasan untuk tidak membiarkan mereka bersama.

'Kenapa kamu nggak angkat telepon papa? Papa yakin kamu belum tidur. Papa pengen ngobrol bentar.'

Akhirnya papa menyerah untuk menelepon Sita, memilih untuk mengiriminya pesan. Bahkan Sita hanya membaca pesan itu tanpa berniat membalasnya.

Entah apa yang terjadi pada tubuh Sita saat ini, membuatnya sedikit kebingungan. Dulu, dia akan dengan mudah tertidur saat dia meletakkan kepalanya, bahkan hanya di sofa. Sekarang dia harus berusaha lebih ekstra untuk bisa tidur. Bahkan terkadang setelah jam 4 pagi dia baru bisa tidur. Itu sebabnya dia sering terlambat untuk ke kantor.

'I can't sleep.' akhirnya Sita mengirimi Farani sebuah pesan singkat.

Ini sudah lebih dari pukul 1 malam. Ada sedikit kekhawatiran bahwa pesannya akan membangunkan istirahat Farani, tapi ternyata tidak. Setelah 15 menit menunggu balasan yang tak kunjung datang, Sita menyalakan TV dan menonton acara apapun yang pertama kali dia lihat.

Tak merasa kantuk menghampirinya, akhirnya Sita mengambil box yang ada di bawah lemari bajunya. Disana ada beberapa obat yang belakangan dia konsumsi. Mengambil sebutir dan langsung menelannya, Sita segera menuju tempat tidur.

Sebelum benar-benar tertidur, Sita mengirim pesan untuk kekasihnya. 'I love you so much, and I miss you.'

Tak hanya kepada kekasihnya, Sita juga mengirimkan pesan serupa kepada Kia, sang adik.

Untuk sang Papa, Sita akhirnya membalas pesan beliau, 'Sorry, I can't go back to Jakarta.'

Dan kantuk yang tak tertahankan akhirnya menghampiri Sita. Memaksa sang pemilik mata memejamkan matanya, juga pikirannya. Mengistirahatkan badannya untuk beberapa jam kedepan sebelum kembali ke aktifitasnya seperti biasanya.

avataravatar
Next chapter