17 ZIEL BUKAN ANAK KANDUNGKU

"Maaf karena telah menggodamu. Aku suka melihat ekspresimu seperti itu." Bian tertawa kecil melihat ekspresi Mayang yang kebingungan. Merekahkan senyuman menawan yang membuat mata Mayang seakan terhanyut memandangnya.

Klik!

Petikan jari Bian menyadarkan lamunan Mayang yang tidak melepas pandangannya dari wajah Bian.

"Ayolah, Nona. Jangan membuatku merasa kamu benar-benar ingin melakukan ciuman itu denganku. Dan kalau memang itu benar, aku juga akan melakukannya dengan serius." ucap Bian sambil menyilangkan tangannya di dada, masih menertawakan wajah polos Mayang.

"Tidak, tidak , tidak. Terima kasih. Lupakan saja kalimat bodoh yang kukatakan tadi." jawab Mayang cepat, dan langsung berlalu menuju dapur.

"Apa itu tadi? Kenapa senyumnya seakan menenggelamkanku? Bibirnya tadi, ahhh! Kurasa aku memang sudah tidak waras karena bertemu dengannya." Mayang menepuk dahinya sendiri sambil bergeleng, merutuki ketidakwarasannya kali ini.

Mayang kembali berjalan dengan membawa secangkir air putih ditangannya, melewati Bian yang sedang duduk memperhatikannya.

"Nona Mayang, bisa kita bicara sebentar?" panggil Bian. Mayang yang membelakanginya, berbalik menghadapnya saat kalimat itu terdengar.

***

Kini Mayang tengah duduk berhadapan dengan Bian. Sesak dan berdebar kembali datang ketika harus berhadapan dengan lelaki ini.

"Maaf, karena banyak kejadian tidak mengenakan malam ini. Kedatangan kami bukannya ingin merusak suasana tenang di sini, dan ini semata-mata karena Ziel yang ingin sekali bertemu dengan anda." Bian mulai bicara formal.

"Tidak masalah. Tuan sudah mengatakannya tadi. Lagipula aku suka anak-anak." Mayang menjawab canggung.

"Bukan seperti itu. Maksudku, Ziel menemukan kenyamanan dari Nona. Dan hal ini baru terulang lagi setelah sekian lama." Bian kembali melanjutkan.

"Aku, kenapa aku? Aku hanya menolong sedikit dan karena dia anak yang manis, jadi aku menyukainya. Sesimple itu, dan aku tidak merasa melakukan perbuatan yang besar, Tuan." Mayang mencoba meluruskan. Tidak enak rasanya mendapat pujian seperti itu apalagi dari orang sederajat Biantara.

"Dulu waktu usia Ziel beranjak tiga tahun, dia diculik orang yang tidak bertanggung jawab. Entah apa yang mereka lakukan, hingga menyebabkan Ziel trauma sampai sekarang. Dan waktu itu dia diselamatkan seorang wanita muda seperti Nona, dan Ziel merasakan kenyamanan pada wanita itu," Bima menghentikan kalimatnya sebentar.

"Satu hari, Ziel mengetahui kalau wanita yang ia sayang ternyata hanya memanfaatkannya untuk mendapatkan keuntungan dari keluarga kami, dan ternyata wanita itu juga yang merencanakan penculikan tersebut. Dan sampai sekarang, anak itu masih merasa trauma bila dekat dengan orang lain, sekalipun orang itu baik kepadanya. Kepercayaannya seakan terkunci dari semua orang." Bian menambahkan.

"Apa itu yang menyebabkannya susah bicara? Tapi sepertinya Ziel bisa bicara, dia juga memanggilku Ibu Peri tadi?" tanya Mayang bingung.

"Ziel memang bisa bicara, tapi hanya pada orang-orang yang dianggapnya baik dan tulus. Dan itu juga karena dia ingin mengeluarkan suaranya, jika tidak, Ziel hanya akan berekspresi. Dan hal itu bukan karena penculikan, tapi memang diakui dampak penculikan tersebut membuatnya semakin memperburuk psikisnya dan membuatnya lebih menutup diri, bahkan dengan keluarga kami sendiri." Bian menambahkan.

"Jadi anak emas sudah seperti itu sejak lahir?" tanya Mayang yang dijawab Bian dengan anggukan pelan.

"Maaf Tuan, bila aku terlalu lancang bertanya. Aku penasaran dengan apa yang ada di pikiranku sejak pertama kali aku tahu kalau Ziel anak Tuan Bian." Mayang memberanikan dirinya untuk bertanya.

"Silahkan, tanyakan saja apa yang Nona mau?" jawab Bian santai.

"Ini berhubungan dengan kekurang-ajaranku pada Tuan tadi pagi." ucapan Mayang kali ini langsung mengantarkan pikiran Bian kembali mengingat kejadian tadi pagi.

"Maaf karena menyebut anda memiliki kelainan seksual. Hal itu terucap karena seperti itulah kabar yang beredar. Dan sekarang aku tidak ingin membuang waktu untuk bertanya pada Tuan, siapa Ibu dari Ziel? Mengapa Ibu Ziel tidak tinggal untuk mengurusnya. Setahuku, perkembangan anak sangat membutuhkan peran penting seorang Ibu. Dan aku rasa Ziel seperti ini karena kurang mendapat perhatian Ibunya." Mayang berucap tegas kali ini. Entah mengapa ia merasa iba dengan kondisi kejiwaan si kecil.

"Kamu benar Nona, Ziel memang tidak pernah mendapat kasih sayang Ibunya sejak lahir. Karena Ibunya meninggal setelah melahirkan Ziel." jawab Bima sambil menundukan kepala. Ekspresinya sangat menunjukkan kesedihan. Membuat Mayang merasa bersalah karena sudah mengatakan hal yang kurang pantas ditanyakan.

"Maaf Tuan, bukan maksudku membuat Tuan sedih. Bukan maksudku membuat Tuan Bian kembali teringat dengan mendiang istri Tuan. Maaf beribu maaf. Aku tidak akan bertanya lagi tentang hal ini. Tolong lupakan kalau aku pernah menanyakannya. Dan kalau aku mendengar lagi orang yang mengatakan kalau Tuan Bian seorang Gay, akan kupatahkan leher orang itu saat itu juga." Penyesalan Mayang terlihat jelas. Namun, Bian malah tersenyum setelah kembali mengangkat wajahnya menatap Mayang.

"Terima kasih, karena Nona turut berbela-sungkawa pada Ibunya Ziel. Tapi Ibu Ziel bukan istriku. Itu istri Kakak pertamaku. Ziel bukan anak kandungku, dia keponakanku, putra tunggal anak pertama di keluarga kami." Bian menjelaskan dengan penuh kesabaran dan senyum yang tidak pudar menatap Mayang.

"Mm-maksudnya? Jj-jadi si kecil bukan anak Tuan Bian?" tanya Mayang terbata, dan langsung mendapat senyuman dengan gelengan kepala Bian.

"Wah, sungguh kejutan besar." Mayang menghembuskan nafas kasar. Memijit dahinya sendiri seakan kaget menerima informasi sebesar ini.

"Tapi Tuan, kenapa tidak ada yang tahu tentang kabar mendiang kakak Tuan atau orang tua si kecil? Dan aku juga yakin tidak ada yang tahu kalau keluarga Heldana memiliki tiga putra." lanjutnya berspekulasi. Mengingat tidak ada yang tidak kenal dengan keluarga Heldana. Dan yang semua orang tahu, kalau pewaris Heldana hanya Biantara dan Trian Heldana saja.

Mayang terlalu berpikir keras dan melupakan kalau itu bukanlah urusannya. Jadi, Mayang memutuskan untuk tidak mau berlarut dalam kisah ini.

"Maafkan ketidak-sopananku karena bertanya seperti itu, Tuan. Tolong lupakan, dan anda tidak perlu menjawabnya. Aku akan menyimpan cerita ini untukku sendiri." Ucapnya menimpali perkataan yang diucapkan sebelumnya.

"Tidak masalah, aku tidak keberatan kalau menceritakannya pada Nona. Dan tanpa Nona katakan akan menyimpan cerita ini untuk Nona sendiri, aku sudah tahu, kalau Nona bukan wanita yang suka mengumbar berita." Bima menjawab kalimat Mayang.

"Tentu saja tidak ada yang tahu, kalau keluarga kami memiliki tiga anak. Kakakku lahir di Swiss, dan besar di sana. Dulu keluarga kami tidak sesukses sekarang. Orang tuaku membangun usaha kecil bersama kakek kami di sana. Dan Kakakku membantu Kakek dari usianya masih remaja, sampai Kakek meninggal usaha yang sudah mulai berkembang diserahkan pada Kakakku."

"Saat Ibuku mengandungku, Ayahku memutuskan untuk mencoba peruntungan di negara ini, tempat kelahiran Ibu. Dan beruntung usaha kami berkembang pesat dan terkenal sampai sekarang. Karena Kakakku yang tidak ingin meninggalkan usaha Kakek kami di sana, dia tetap menetap di sana sampai akhir hayat. Dan tidak pernah datang ke negara ini sekalipun. Jadi, sudah pasti tidak ada yang tahu, kalau kami tiga bersaudara." Senyum meneduhkan terlihat Mayang saat Bian menceritakan tentang Kakaknya.

"Aku minta maaf, bila Tuan kembali sedih karena perkataanku barusan." ucap Mayang menyesal.

"Tidak masalah, karena sudah tanggung dan ceritanya sudah sampai di sini. Kamu juga harus tahu, Kakakku dan istrinya meninggal karena kecelakaan mobil setelah mereka pulang dari rumah sakit sehabis persalinan Ziel." Lanjut Bian dengan nada dan raut wajah tegang dan dingin. Mayang dapat merasakan aura kemarahan dari diri Bian. Rasa sakit yang tidak dituangkan lewat air mata, namun terpancar seperti seorang yang menyimpan dendam.

Bersambung…

avataravatar
Next chapter