webnovel

Kepentingan yang tidak bisa ditunda

Jero memandang wajah Riu dari kejauhan. Tak terlihat ada beban sama sekali, "Tuan". Jero melambaikan tangannya dengan cepat. Ia tidak mau merusak momen ini dengan laporan. Pelayan yang hendak memberitahu kedatangan nyonya besar mengurungkan niatnya lalu berjalan menjauh dari Jero berdiri.

Langkah Jero sangat pelan, ia hanya tidak ingin menganggu pemandangan indah di depannya dimana Riu asyik membaca buku dan senyum di wajahnya. Begitu di dekatnya, Riu masih belum menyadari keberadaan Jero, ini bikin tak senang di hati.

Tangan terulur melingkari leher Riu perlahan membuat Riu terkejut hendak memekik tapi terhenti ketika bibirnya keburu dicium Jero lembut.

Inikah rasanya pulang ke rumah pada wanita yang tepat. Semacam perasaan menggelitik di sekelilingnya untuk memuaskan dahaga yang tidak berkesudahan.

"Jero.." , Riu merasa pasokan udara di rongga dadanya menyempit sehingga memaksanya untuk menghirup udara secepatnya.

"Kamu tidak sadar aku sampai di dekatmu tapi sepertinya buku itu lebih penting dari aku" keluhnya melirik ke arah ponsel Riu setelah melepaskan tangannya, iapun duduk di sofa di dekatnya. Riu meringis tidak tahu mau bilang apa tapi ini juga diluar kemampuannya menghentikan kebiasaan membacanya.

"Jero, jangan bilang kamu cemburu pada buku online ini" , tuduhannya memang benar ada sedikit perasaan cemburu disana, Jero menghela nafas panjang. Riu bengong ternyata benar memang cemburu.

"Aku membaca buku Love between Gravel, apa itu salah?" tanya Riu takut-takut. Kalau memang benar jika karena buku ini, sangat disayangkan. "Aku hanya merindukanmu tapi kamu malah fokus di tempat lain" jawab Jero malas berdebat.

Riu tidak tahu mau berkata apa melihat kecemburuan akut dari Jero. "Jero, kamu aneh tahu tidak" , kerutan tak senang muncul di wajah Jero ketika kata aneh dikeluarkan.

"Apa maksudmu?" tanyanya heran lalu bergerak pelan bak kucing malas di samping Riu. "Itu.." , nada suara malas yang didengar Riu bikin bulu kuduk naik, ini sangat tak menyenangkan.

"Apa kamu tahu kamu terlalu mengatur hidupku?" keluhannya terdengar asing di telinga Jero tapi mampu dapat menghentikan gerakannya.

"Mengapa kamu berkata begitu? aku memberikan apapun yang aku punya. Apa aku salah meminta istriku lebih memperhatikan aku daripada buku sialan itu"

Riu tak dapat berfikir secara cepat, ketika Jero benar-benar menyatakan kecemburuan lebay pada sebuah buku online. Matanya menggerjap berulangkali sebelum menarik nafas panjang lalu meraih wajahnya di tangan.

"Aku sudah menjadi istrimu. Jika kamu cemburu pada hal sepele begini, apakah kamu tidak akan menjadi bahan tertawaan orang-orang diluar sana?"

Mata Riu dekat dengan mata Jero sehingga Jero dapat melihat bulu matanya yang lentik. Bibirnya yang mungil berwarna peach karena olesan lipstik. Kehalusan kulitnya yang menggoda untuk dibuat rusak.

"Riu, apa yang kamu lakukan?"

Nada suara Jero tak lagi sama seperti tadi. Kali ini, lebih mirip macan menemukan buruannya. Tangan Riu yang berada di wajah Jero perlahan-lahan lepas tapi Jero tidak menghendaki Riu lari darinya, ia cepat meraih badannya hingga duduk di pangkuan.

"Aku-- Jero, jangan lakukan"

"Mengapa tidak?"

"Aku-- mendapat menstruasi"

"Tidak percaya"

"Jero!"

Tangan Jero menyelinap ke dalam rok flanel yang dipakai Riu, wajahnya berubah masam mendapatkan sebuah penghalang tebal di dalamnya.

"Sejak kapan?"

"Aku-- bangun tadi"

Sumpah serapah panjang dikeluarkan dalam hati Jero, sungguh penyiksaan jika harus puasa gara-gara menstruasi.

"Mengapa datang sekarang?" tanyanya frustasi, Riu tak dapat menahan tawa melihat wajahnya yang frustasi. Jero menyipitkan matanya melihat tawa Riu yang riang, sungguh menyenangkan melihatnya tertawa karenanya.

"Kamu berani mentertawakan aku" , nada yang dikeluarkan sangat pelan namun mampu membuat Riu terdiam seketika, hal ini bikin Jero kesal.

"Maaf, aku hanya merasa lucu saja. Seorang pemilik perusahaan terkenal kesal karena aku mendapat menstruasi. Bagaimana kata dunia luar, Jero" katanya menjelaskan apa yang ada di kepala.

Jero menarik badan Riu lebih dekat padanya lalu menunduk pada wajahnya. "Di rumah aku hanya pria biasa yang mencintai istrinya, diluar sana aku seorang pemilik perusahaan jadi kamu harus baik padaku" ujarnya menutup celah di antara mereka berdua.

brak!

"Jadi, ini cara kalian mengekspresikan tapi aku tidak juga mendapatkan satupun cucu!"

Jero melepaskan ciumannya, Riu berwajah merah padam mendengar suara ibu mertuanya yang bernada tinggi.

"Ibu..."

Nyonya besar melipat tangan ke depan tubuhnya. Matanya terlihat tidak senang ke arah Riu.

"Aku ada perlu dengan istrimu. Ibu rasa kamu dapat pergi dari sini sekarang!"

Jero mengangkat alisnya mendengar nada perintahnya, tangan kecil Riu memegang erat baju yang dipakai Jero, ini membuat Jero harus bersikap bagaimana. Satu ibunya dan satu wanita yang disebut sebagai seorang istri.

"Ibu, bisakah lain kali. Aku ada kepentingan yang tak dapat di tunda"

Jero beranjak bangun seraya mengambil tangan Riu untuk mengikuti gerakannya. Ini membuat wajah nyonya besar alias ibu Jero semakin tidak senang.

"Kepentingan apa yang tidak dapat di tunda, hah! Jero, kamu sengaja mau buat ibu marah" bentak ibunya dengan suara tekanan tinggi sementara Jero, "Bukan begitu. Ini memang darurat" elaknya keras kepala.

Riu tidak mengerti apa maksudnya Jero tetapi jika bisa keluar dari sini, maka ia akan lakukan apapun itu. Jero melirik ke arah wajah Riu, bukankah ini menyenangkan bisa menganggu Riu.

"Katakan!" bentak ibunya persis yang diharapkan oleh Jero. Riu berdiri tak nyaman di sampingnya lalu Jero merangkulnya dengan santai. Seakan di hadapannya ini bukan ibunya namun, orang usil yang mau tahu urusannya. Riu nyaris ingin mengomel, kerasukan apa Jero ini. Sejak pulang dari pesta pertunangan Ayun, Jero seakan berubah kepribadian.

"Ibu nyakin mau mendengarkan?" tanya Jero sengaja dengan nada yang ragu padahal ia ingin tahu reaksi dari Riu. Senyum-senyum di wajahnya tidak di ketahui oleh Riu karena terlalu tegang memandang ke arah ibunya.

Wajah ibunya tidak membaik malah semakin penasaran dan kesal, "Ya! katakan apa itu".

Jero menghela nafas seperti beban berat, ia bahkan melepaskan pegangan tangannya pada Riu, berdiri sedikit jauh dengan wajah tak berdaya. Ibunya dan Riu kebingungan mengetahui itu, "Aku mau buat anak tapi Riu sedang PMS. Ibu mau lihat kondisi aku sekarang tidak?" tanyanya dengan gaya yang penuh dramatis seperti mau menunjukan kepada mereka.

Otomatis ibunya dan Riu bersamaan melihat ke arah yang dimaksud. Tonjolan di bagian bawah tampak jelas memberitahu kepada mereka apa yang terjadi.

Wajah ibunya dan Riu berubah merah. Betapa malunya Riu tentang ini, ibu Jero hanya bisa berputar balik pergi tinggalkan tempat ini. Riu nyakin ibu mertuanya itu mengamuk dalam hati.

"Jero!"

Wajah tak berdosa dan gerakan tangan tidak berdaya tampak di wajah Jero. Terlalu malu, Riu cepat-cepat pergi tinggalkan tempat itu. Jero tersenyum sendirian melihat tingkah dua orang penting dalam hidupnya.

Bukankah segala macam halal perlu di lakukan demi menaklukkan istri dan ibunya agar hidup masa depannya terjamin.

Jero berusaha mengejar Riu yang berjalan cepat menuju kamarnya dengan wajah malu. Ia tidak mau buang-buang waktu lagi, kepentingan yang mendesak sejak tadi.

Next chapter