Lita masih merenung memikirkan hal yang baru saja di sepakatinya dengan kakek Agus. Merembes air mata dari sudut matanya yang bulat lentik. Lita menangis melihat keadaan sang ibu yang belum juga menunjukkan perkembangan.
Di dalam ruangan dengan berbagai macam alat bantu yang sama sekali tak pernah Lita lihat sebelumnya. Lita berada di depan pintu kaca dan melihat dari sana. Dokter belum mengizinkan siapapun untuk memasuki ruangan ICU itu kecuali tenaga medis.
Terdengar derap langkah kaki tetapi Lita sama sekali tidak memperdulikannya pandangannya tetap terarah pada sang ibu yang masih tergolek lemah tak sadarkan diri. Bibir Lita bergetar menahan tangis pilu tanpa suara.
"Lita." Panggil seseorang dengan nada lembut tapi cukup terdengar jelas dalam suasana hening.
Lita menengok perlahan mencari sumber suara. Dilihatnya sosok kakek Agus dengan pakaian rapi memakai setelan jas berwarna coklat gelap. Berdiri seseorang dengan perawakan gagah tegap dengan tinggi badan 175 cm dan berat sekitar 65kg. Kulitnya putih bersih matanya agak sipit dengan potongan rambut ala idol K-Pop. Tatapannya tajam dan dingin tepat mengenai Lita.
Lita menjadi terdiam dengan wajah sendu dan tubuh yang membeku melihat perawakan yang berada di depannya itu.
"Lita, kamu sedang apa sendiri di sini?" Tanya kakek Agus ramah.
"Aku, sedang menantikan perkembangan ibu kek." Jawab Lita diselingi Isak tangis yang masih tersisa.
Robby yang berdiri di samping kakek Agus hanya diam dan memasang wajah yang cuek tak perduli, tatapannya mengarah ke arah lain.
"Ayo, kamu ikut kakek sebentar. Ada yang ingin kakek bicarakan dengan kalian." Kata kakek dengan senyum khasnya yang berwibawa.
Lita hanya mengangguk sambil menyeka air matanya. Lita berjalan tepat di belakang kakek Agus dan bersebelahan dengan Robby. Jantung Lita tak bisa berirama normal seperti biasa. Jantungnya terpacu semakin kuat, ada ketakutan dan keraguan yang tersirat namun semua berusaha di tepiskannya demi kesembuhan Ibunya.
Sampai di ruangan Kakek Agus Lita hanya berdiri sambil meremas ujung kemejanya. Matanya terus menunduk menatap lantai.
"Duduklah." Suara Robby menggema memenuhi ruangan kerja kakek membuat Lita sedikit menengadahkan kepala dan melihatnya.
"Duduklah Lita. Kakek akan memulai diskusi ini." kata kakek sambil duduk di sofa dan berhadapan dengan Robby.
Lita duduk perlahan di sebelah Robby karena hanya di situ ruang sofa yang tersisa. Robby langsung membuang pandangan dan mengacuhkan Lita. Lita sangat tau dan sangat bisa merasakan jika ada kebencian yang amat sangat di mata Robby.
"Ini pertemuan pertama kalian. Kakek ingin kalian berkenalan dan menjadi semakin akrab." kata kakek Agus Sambil melihat Robby penuh harap.
"Robby." kata Robby dingin sambil mengulurkan tangannya.
"Lita" sahut Lita sambil menjabat tangan Robby perlahan.
Tangan Lita terasa lembut dan halus menyentuh telapak tangan Robby lembut perlahan. Sesaat Robby melihat Lita dari atas hingga ke bawah lalu mulai mencibir sesuka hatinya.
"Kamu gadis kampung?" Tanya Robby penuh makna ejekan.
"Iya Mas" jawab Lita perlahan.
"Hem.., mas? Siapa kamu manggil aku mas. Panggil aku tuan. Aku jauh lebih tua darimu tau!" Celetuk Robby sinis.
"Robby, jangan seperti itu. Lita ini adalah orang yang aku bicarakan semalam denganmu. Dia adalah calon istrimu." Ucap Kakek penuh penekanan pada kata istri.
"Ya, baiklah." Jawab Robby pasrah.
"Aku pergi dulu." Kata Robby tiba tiba.
"Robby, duduklah sebentar diskusikan dulu soal tema pesta pernikahan kalian disini. Kakek ingin kalian memiliki pernikahan yang benar benar mewah dan megah." Kata Kakek sambil menatap tajam Robby.
"Kek, sudahlah. Ini bukanlah diskusi. ini hanya berdasarkan keputusan kakek sepihak. Aku tak bisa bersuara disini. Jadi semuanya terserah kakek. Mau menolak atau berkata tidak pun aku tak bisa. Terserah kalian saja. Kalaupun aku tak setuju, apa itu akan menghentikan pernikahan ini?"
"Dan kamu gadis kampung! Aku salut kepadamu yang mampu meluluhkan hati kakekku yang keras itu." Kata Robby sambil berdiri dengan tangan di dalam saku celananya.
"Robby. Jaga bicaramu. Hargai dia sebagai calon istrimu!" Bentak kakek dengan sorot mata tajamnya.
*Kakek, dari sekian banyak wanita yang aku kenalkan kenapa tidak ada satupun yang kakek restui. Tapi, kenapa malah gadis kampung ini?* Batin Robby sambil duduk kembali di sofa dengan wajah masamnya.
*Tuhan, hal macam apa ini? Sekarang kau berikan aku jalan keluar atas pengobatan ibuku dan memberikanku ganti kedua orang yang sama keras kepalanya ini. Berikan aku kesabaran yang lebih dari sekarang ini Tuhan.* Batin Lita yang hanya duduk terdiam sambil menhan perih hati atas hinaan Robby.
Ponsel Robby terus bergetar tapi Robby tak mengangkatnya. Lita untuk sesaat melihat nama yang ada dilayar ponsel. Tertera nama Sabrina dengan emotikon hati. Lita hanya diam dengan wajah datarnya tanpa ekspresi yang berarti.
"Hhh... baiklah kek. aku rasa sudah cukup. aku ada meeting. Kakek urus saja semua ini dengan calon istriku ini." Kata Robby dengan nada mengejek dan tatapan sinis kepada Lita.
Lita tak bergeming dan hanya bisa diam. Robby melenggang tanpa berpamitan pada kakek Agus. Kakek Agus hanya mampu menggeleng perlahan sambil mengusap tangannya yang saling menggenggam.
"Kamu tau kan sekarang, kenapa saya bilang pekerjaanmu akan menyita waktu mainmu, akan menguras mental dan kesabaranmu. Itulah dia. Aku hanya berharap kerja sama ini saling menguntungkan bagi kita masing masing."
"Kamu tidak usah khawatir, selama kamu menjadi istrinya. Saya yang akan menjamin uang bulananmu."
"Tapi semua ini cukup menjadi rahasia kita." Kata kakek sambil menatap Lita sayu.
"Iya kek. Aku mengerti sekarang kenapa kakek ingin bekerja sama denganku." Kata Lita dengan tatapan iba.
*Hubungan rumit seperti apa yang di miliki mereka ini. Ibu, semuanya akan aku lakukan asalkan kau bisa sembuh seperti sediakala.* Batin Lita memikirkan situasi rumitnya saat ini.
Terdengar suara dari perut Lita menandakan lapar yang sudah tak tertahankan. Kakek tersenyum mendengar suara dari perut Lita.
"Kamu lapar? belum makan?" Tanya kakek sambil menandatangani beberapa dokumen.
"Iya kek. Sebenarnya aku merasa agak tidak enak badan dan juga lapar. Tapi aku tidak punya cukup uang untuk makan. Jadi aku puasa dari kemarin." Kata Lita jujur.
"Dari kemarin? lalu apa kamu tidak berbuka puasa?" Tanya kakek sambil menutup map.
"Aku berbuka kek dengan permen yang kutemukan di lantai." Kata lita.
"Kemana kerabatmu yang lain? Apa tidak ada yang membantumu di masa sulit seperti ini?" Tanya kakek Agus sambil menatap Lita penasaran.
"Dulu aku punya banyak saudara. Paman, bibi, kakek, nenek dan saudara yang lain. Tapi mereka semua sudah meninggal secara bersamaan pada kecelakaan kapal motor." Ucap Lita sambil mengingat masa lampau.
"Apa? Semuanya? Jadi, hanya kamu dan ibumu yang tersisa?"
"Iya kek, aku ingat waktu itu kakek, nenek, paman dan bibi serta Ayahku mereka semua pergi bersamaan untuk menghadiri undangan pernikahan dari kerabat jauh kami di seberang. Tapi, waktu itu aku masih TK. Aku sakit dan ibu memutuskan untuk tidak pergi dan memilih merawatku dirumah saja." ucap Lita mulai menitikan air mata.
"Waktu itu terjadi gempa cukup besar. Kapal motor yang mereka tumpangi terhempas tsunami. Rumah peninggalan Nenek semua rata dengan tanah. Hanya aku yang sempat di selamatkan oleh ibu." Ucap Lita sambil menghela nafas panjang.
Kakek dengan wajah yang serius masih memfokuskan pikiran pada cerita Lita.
"Lalu?"
"Ya, begitu kisah sedih dalam hidupku dan ibu. Kehilangan mereka semua secara tiba tiba dan bersamaan bahkan jenazah mereka pun tak pernah kembali."
"Untuk bertahan hidup dengan begitu banyak kesedihan dan kerugian. Ibu memutuskan menjual tanahnya dengan harga murah hanya untuk sekedar aku dan ibu bisa makan untuk beberapa waktu."
"Lalu, kalian sekarang? Sudah punya tempat tinggal?" Tanya kakek penasaran.
"Tidak. Aku hanya menumpang di gubuk kecil milik keluarga pak Joko. Merekalah penolongku dan ibu selama ini."
"Tapi, mereka juga bukan keluarga yang kaya raya. Belum lama ini, mereka berniat menjual lahan yang ku tempati itu karena terdesak biaya pendidikan anaknya." Ucap Lita menjelaskan.
"Bisa kamu kasih alamat atau nomor ponsel pak Joko kepada kakek? Kakek akan beli tanah mereka sebagai hadiah untukmu. Kamu jangan menolak." Ucap kakek Agus tiba tiba sambil berdiri perlahan.
"Ayo, kita cari makan. Kamu sudah laparkan? Aku tidak ingin cucu menantuku sakit menjelang pernikahannya." Ucap kakek Agus dengan senyum khasnya.
*Kakek ini begitu baik. Tapi kenapa cucunya bisa menjadi manusia yang dingin seperti itu?* batin Lita sambil berjalan mengekori kakek Agus.
*Ini kesan pertamaku bertemu dengan doa orang ini. Sisi hangat dan dingin yang saling bertolak belakang. Terimakasih kek atas semuanya. Aku berhutang Budi padamu.* Batin Lita bergelut di dalam hatinya.