Langkah yang tak seimbang membuat topangan ini tak stabil dan akhirnya tergelincir di bebatuan yang berlumut.
"Aku bantu ya.." Fadil memohon.
"Tidak," Malikah berusaha mengangkat kaki dengan sekuat tenaga. arrgh...
"Aku tak pernah melihat sekeras dirimu untuk berlari?" Fadil melangkah perlahan meninggalkan Malikah.
Di satu sisi Malikah penuh harap atas bantuan Fadil pun merasa lega.
***
Setelah Fadil tak terlihat, Malikah meminta bantuan orang sekitar untuk membantunya. "Mbk, kirain cowok tadi yang bakal tolongin mbk. Jadi kita diam-diam saja. Tengkarnya?"
"Emm, tadi dia tak melihatku."
"Oh, tengkar."
"Iya.." Pasrah.
"Ngak usah malu mbk, saya juga pernah gitu. Tapi ngak gitu juga Mbak, kalau mau di tolongin harus bilang; jangan mau tapi bilang ngak."
"Ah, iya. Terima kasih Bu, akan saya ingat."
"Ini mau kemana?"
"Saya disini dulu saja Bu."
Gajebo yang penuh dengan tumpukan sampah di tinggal oleh pengunjung sebelumnya sangat mengganggu.
"Saya pulang lebih dulu mbaknya,"
"Terima kasih banyak Bu."
"Iya, sama-sama semoga cepat berbaikan sama pacarnya."
"Ah, iya." Malikah hanya bisa menyibak poninya.
***
"Dia benar-benar tidak kembali," Malikah bergumam sendiri sambil melihat sekeliling dan menahan rasa sakit di kakinya.
Semakin terasa dingin, angin yang tadinya sejuk berubah rasa.
***
Malikah terbangun dari sandaran tidurnya."Fadil?"
***
"Fadil, apa aku lama tertidur?"
"Tidak, aku baru saja datang." Fadil memperbaiki posisi duduk yang terlihat menahan sakit pada bahunya.
"Aku tahu kamu sedang berbohong."
"Apa kamu ingat aku?" Fadil memperjelas ucapannya.
"Apa kamu sudah ingat denganku? Kamu tahu aku tak bisa berbohong kepadamu tapi kenapa kamu tidak mau tahu saat itu aku jujur?"
"Aarggh..."
"Maaf, apa kakimu masih sakit?"
"Kenapa baru datang?"
"Maaf,"
***