webnovel

Chapter 1

"Ada murid yang ketangkap basah lagi pacaran!!!"

Sebuah teriakan menggema ke sepanjang lorong sekolah. Terlihat seorang siswi berambut keriting yang sedang mengatur napasnya setelah berlarian dari kafetaria untuk menceritakan apa yang dilihatnya. Wajahnya pucat pasi dengan alis yang berkerut, memancarkan rasa takut dan rasa khawatir yang menyergapnya.

Seluruh siswi yang berada di lorong koridor mendadak histeris dan heboh. Bagaimana tidak? Sekolah tempat mereka menuntut ilmu ini tak mengizinkan muridnya berpacaran. Bahkan, gedung tempat belajar dan asrama antara murid perempuan dan laki-laki saja terpisah, hanya terhubung dengan lorong dekat kafetaria dan lapangan upacara.

"Apa kamu yakin?" celetuk seorang siswi yang lain. "Jangan sampai kamu menyebarkan berita palsu!"

"Aku sangat yakin! Aku bahkan melihatnya dengan mata kepalaku sendiri," sanggah siswi berambut keriting tadi. Ia mendengus kesal sembari menatap tajam siswi yang meragukannya.

"Bukannya murid yang berpacaran akan mendapatkan hukuman?" timpal siswi yang lainnya seraya menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.

"Bukan hanya hukuman! Mereka juga terancam akan dikeluarkan dari sekolah karena sudah melanggar aturan utama sekolah ini."

"Hah, serius?"

"Ya, iyalah! Memangnya kamu lupa alasan sekolah ini memisahkan murid perempuan dan laki-laki?"

"Jadi, karena itu?"

"Memangnya karena apa lagi?!"

Celoteh dan bisik-bisik gosip mulai memenuhi seluruh sudut sekolah, membuat atmosfer di sana semakin panas. Bahkan, ada beberapa siswi yang bertaruh mengenai hukuman apa yang akan diterima kedua siswa yang tertangkap basah tersebut.

Selain guru dan para ketua OSIS, di sekolah tersebut juga ada Komite Kedisiplinan yang biasanya memergoki murid yang melanggar aturan. Mereka juga bertugas mengawasi gerak-gerik mencurigakan dari setiap murid. Maka tidak heran, jika sekali saja melanggar aturan, pasti akan dengan cepat tertangkap basah.

"Pengumuman ... Panggilan untuk Alice Stacey, diminta untuk segera datang ke ruang meeting."

Suara pengumuman melalui interkom memecah kehebohan yang sedang berlangsung. Beberapa detik setelahnya, tak ada suara lagi yang terdengar selain suara langkah kaki terburu-buru yang bersumber dari satu siswi, Alice Stacey. Para siswi serentak berhamburan menuju ruang meeting, mengikuti Alice yang sudah berjalan di depan mereka.

Terdengar helaan napas yang keluar dari bibir Alice ketika ia menyadari dirinya terjerembab di antara kehebohan siswi-siswi di sekolahnya. Gadis berparas ayu dengan rambut hitam panjang berponi tersebut menghembuskan napasnya sekali lagi, sebelum akhirnya menghentikan langkahnya.

Berjalan di tengah kehebohan dan kebisingan para siswi yang sedang diliputi rasa penasaran jujur saja membuat Alice sedikit terganggu. Gadis tersebut membutuhkan sedikit ketenangan untuk dapat berkonsentrasi.

Gadis itu berbalik badan. Matanya yang mempunyai lipatan ganda mengerjap beberapa kali. "Kalau kalian masih ingin ikut melihat apa yang terjadi, bersikaplah dengan tenang. Jangan membuat kegaduhan dengan suara kalian," ucap Alice dengan tegas, tak menginginkan bantahan apa pun. "Kalau kalian masih berisik, lebih baik kalian kembali ke kelas masing-masing."

Para siswi yang sedari tadi berceloteh dengan heboh sontak mengunci bibir mereka rapat-rapat. Sebagian murid memilih untuk pergi menuju kelas, sebagian yang lain tetap tinggal karena rasa penasaran sudah menggerogoti jiwa mereka dan meminta mereka untuk segera menemukan jawaban atas rasa penasaran tersebut.

Tidak salah memang jika Alice terpilih menjadi ketua OSIS di sekolah. Karena selain disukai banyak siswa, ketegasan dan kemampuannya dalam mengendalikan keadaan adalah dua faktor pendukung yang membuatnya layak memimpin para siswi.

Setelah kondisi dirasa cukup kondusif, Alice kembali melangkahkan kakinya menuju ruang meeting, diikuti oleh para siswi lain. Rambutnya yang ia ikat pony-tail bergerak ke kanan dan ke kiri seirama dengan langkah kakinya.

"Aliceeeeee!" suara cempreng nan melengking tersebut membuat Alice berjalan cepat menuju ke seorang gadis yang tengah berlari ke arahnya. "Tolong aku," bujuknya. Gadis bernama Juliet tersebut tanpa ba-bi-bu langsung memeluk Alice dengan erat, menyembunyikan wajahnya di ceruk Alice. Ketakutan jelas terpancar di wajahnya.

"Aku tidak ingin dikeluarkan dari sekolah ini," ucapnya lagi. Kini, air mata mulai keluar dari sudut matanya yang telah memerah. Juliet mengeratkan pelukannya, seolah bahaya akan mendatanginya jika ia melepaskan pelukan tersebut. "Kumohon bantu aku," lirihnya, hampir terdengar seperti bisikan.

"Jadi, siswi yang tertangkap basah sedang berpacaran adalah kamu?" tanya Alice, alisnya berkerut samar. Ia masih tak percaya jika sahabatnyalah dalang dari kehebohan yang terjadi saat ini. Rasa cemas seketika menyerbunya, namun sebisa mungkin Alice tetap bersikap tenang. "Serius?"

"Bantu aku, Alice. Kumohon," ujar Juliet tanpa menjawab pertanyaan Alice. "Cuma kamu yang bisa membantuku agar aku tidak dikeluarkan dari sekolah ini."

Di sekolah ini, peran dan pengaruh ketua OSIS setara dengan guru. Tujuan awalnya untuk menumbuhkan rasa mandiri dan jiwa kepemimpinan. Akan tetapi, jika kasusnya sudah begini, Alice pun tak yakin jika kepemimpinannya bisa membantu membebaskan Juliet dari hukuman yang menanti gadis itu.

"Kamu tahu betul aturan di sekolah ini namun kamu tetap melanggarnya, Tweety!" gerutu Alice. "Sepertinya kamu pantas mendapatkan hukuman," ucapnya dengan jengkel. Memang benar Juliet adalah temannya. Namun, peraturan tetaplah peraturan.

Juliet menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis itu melepas pelukannya lalu melipat kedua tangannya di depan dada; memohon. "Aku tidak ingin dikeluarkan dari sekolah ini, Alice," ucapnya lagi, disela isak tangisnya yang semakin pecah.

Mata sepakat madunya kini nampak memelas. Berulang kali ia berusaha membujuk Alice agar mau menolongnya keluar dari masalah yang ia sebabkan sendiri. "Please," ucapnya sekali lagi.

Kalau sudah melihat Juliet menangis seperti ini, Alice menjadi tidak tega. Gadis berambut pony-tail tersebut menghembuskan napas kasar, kemudian memijat pelipisnya untuk meredakan amarahnya yang sudah berada di ubun-ubun.

"Aku tidak berjanji jika aku bisa membebaskanmu dari hukuman," ucapnya. Alice memberikan jeda beberapa saat sebelum kembali berkata, "tapi aku akan berusaha supaya kamu tidak dikeluarkan dari sekolah ini."

"Aaah! Terima kasih, Alice!" pekik Juliet sembari berhamburan ke dalam pelukan Alice. "Kamu memang sahabat terbaikku!"

Alice tersenyum lembut. "Ingat, aku akan berusaha, tapi aku tidak berjanji kamu akan bebas dari hukuman," terang Alice dengan penuh penekanan pada tiap kalimatnya. Meskipun pengaruhnya sebagai ketua OSIS cukup besar, ia tak menjamin seratus persen jika Juliet akan bebas setelah kesalahan fatal yang dilakukannya.

Juliet mengangguk-anggukkan kepala dengan senyum tipis yang terulas di wajahnya. Ia mengusap air matanya. Sejujurnya ia malu jika harus menangis di depan banyak orang seperti ini. Tapi, apa boleh buat? Hanya itu yang dapat ia lakukan.

Perlahan namun pasti, rasa sesak yang menusuk-nusuk ulu hatinya mulai memudar. Mereka pun kembali melangkah menuju ruang meeting. Sesekali Alice mengucap kalimat-kalimat yang cukup membantu untuk memberikan ketenangan hati untuk Juliet. Meskipun rasa takut masih menguasai diri Juliet, gadis bermata cokelat gelap tersebut mulai merasa aman dan tenang. Setidaknya Alice akan membantunya, bukan?