webnovel

Cinta Arrogant Sang Editor

Menjadi editor terbaik di Indonesia ketika usianya dua puluh tahun, membuat Sander Brandt melejit. Muda, kaya dan berkuasa untuk sebuah perusahaan media yang besar. Namun ketika dia berhadapan dengan kenyataan bahwa dirinya ditinggalkan oleh Arinda, cinta yang dianggapnya sejati, hanya karena seorang yang tidak sebanding dengannya. Sander menjadi pribadi yang tidak percaya diri dan penuh luka. Semua itu dia tutupi dengan sikapnya yang arogan dan selalu keras saat berhadapan dengan wanita dan cinta. Sebuah proyek berita dengan nilai besar dan penuh rahasia memaksa Sander keluar dari meja kerjanya dan terjun langsung. Dia menuju ke sebuah desa terpencil untuk mendapatkan berita itu. Tempat itu mempertemukan Sander dengan Wuri. Seorang Bidan yang sedang mengabdikan diri di desa tersebut. Keberhasilan Sander membuat berita itu melejit, malah memberikan masalah pada Wuri dan seluruh penduduk desa. Membuat Wuri terseret ke dalam penjara. Usaha Sander untuk menyelamatkan Wuri justru membuat keduanya jatuh cinta dan mengetahui rahasia kelam masing-masing. Karakter insecure dibalut arogansi yang dipertemukan dengan karakter yang penuh rasa benci dan curiga. Dua orang dari dua profesi dan latar belakang kehidupan yang berbeda untuk jatuh cinta dan melupakan perbedaan. Bisakah dua hati dengan luka masa lalu bersatu dalam cinta? Cinta Arrogant Sang Editor! Silahkan terhubung dengan Author di: FB: Ans Afriana IG: Ans Afriana Tiktok: Ans_Afriana Linkedln: Afriana Setiawan

Ans_Afriana · Urban
Not enough ratings
404 Chs

10. Kecurigaan Wuri

Wuri merangkul Ratna yang meringkuk di kursi bagian penumpang mobil. Kepala Ratna ada di pangkuan Wuri. Jalan berbatu yang dilewati mobil jeep yang mereka tumpangi membuatnya beberapa kali harus menahan agar kepala Ratna tetap di tempatnya.

Sesekali Sander menoleh ke arah belakang atau melirik dari kaca mobil yang ada di atasnya untuk memastikan kedua gadis itu baik-baik saja. Sementara Darmin yang menyetir mobil nyaris tanpa suara. Wajahnya tegang, kaku dan beku.

"Jauhkah jarak rumah sakit dari desa?" tanya Sander entah pada siapa yang ada di dalam mobil itu

"Kalau mau yang dekat ada puskesmas." Darmin memberi usulan.

"Tidak, bawa Ratna ke rumah sakit. Dia harus mendapat pengobatan tuntas. Jangan sampai Ratna menjadi korban berikutnya!" Wuri berkata emosi sambil mengusap rambut Ratna.

Darmin terlihat menggeram samar, jelas ketidak sukaan muncul di wajahnya. Dia mengendarai mobilnya semakin cepat. Semua penumpang di dalam Jeep itu harus menahan lonjakan dari jalan yang bergelombang. Dua jam perjalanan mereka tiba di rumah sakit besar di daerah Ciawi.

Sander bergegas turun dan meminta staff rumah sakit bagian gawat darurat membantu dengan membawa tempat tidur beroda. Melihat kondisi Ratna yang kian pucat dan menggigil, mereka pun segera membawanya ke ruang IGD untuk pertolongan pertama.

"Bapak, Ibu, silahkan tunggu di luar." Staff ruang IGD itu berkata tegas pada Sander dan Wuri sambil menutup pintu ruang IGD.

Sander dan Wuri menunggu di luar ruangan si kursi tunggu yang terbuat dari besi stainless. Wuri jelas terlihat gelisah, berkali-kali dia berdiri dan kembali duduk dengan raut wajah tidak tenang.

Sementara Darmin mengawasi mereka dari kejauhan. Sander mengamati Wuri, seperti ada ketakutan yang coba Wuri sembunyikan.

"Duduklah dengan tenang. Dokter sedang melakukan yang terbaik. Jangan khawatir."

Wuri menghela nafas panjang dan duduk di kursi yang berada tepat di depan Sander.

"Namamu Wuri?" tanya Sander.

Pertanyaan Sander seolah mengembalikan kesadaran Wuri.

"Ya," jawabnya singkat.

"Kau sudah lama tinggal di desa Welasti?"

"Lima tahun terakhir," Wuri menjawab seperlunya apa yang Sander pertanyakan.

"Kenapa Ratna sampai menderita penyakit ini?"

Sekilas Wuri melirik ke arah Darmin yang mengamati mereka dengan tajam dari kejauhan. Lalu tatapan mata memusuhi dia lemparkan pada Sander.

"Kau sendiri? Apa tujuanmu datang ke desa Welasti?"

Wajah cantik Wuri terlihat garang di antara rambutnya yang jatuh berjuntaian di sisi kanan dan kiri wajahnya. Mata hitamnya sulit terbaca apakah gadis itu sedang dalam perasaan marah atau benci.

"Aku mendapatkan hadiah dari temanku untuk berlibur di desa ini. Desa wisata, hadiah yang menarik setelah penat dengan kegiatan ibu kota. Desa itu jauh dari hingar bingar, udara yang dingin dan sejuk,....'

"Dan gadis-gadis belia yang bersedia menemanimu sepanjang malam. Begitu?"

Sander menoleh pada Darmin yang masih saja mengarahkan pandangan pada mereka meski dia tidak bisa mendengar apa pun. Dengan tenang Sander menggeser duduknya ke sebelah Wuri. Tatapan curiga muncul dari gadis bermata hitam itu.

"Dengar Wuri, aku tidak sekali pun menyentuh Ratna meski dia selalu menawarkan hal itu."

"Pembohong besar!"

Sander mendekatkan wajahnya hingga sedikit hidungnya menyentuh telinga Wuri.

"Aku tidak tertarik dengan gadis kecil seperti Ratna. Memuja wanita adalah naluri alami seorang pria, tapi pria dengan selera tidak begitu saja mau merengkuh sembarang wanita. Jika kau yang ada di kamarku malam itu, tentu kondisinya akan berbeda."

Aroma kayu yang muncul dari badan Sander ditambah dengan hembusan nafasnya yang terasa dekat di telinga Wuri membuatnya bergidik ngeri. Wuri beringsut ingin menggeser duduknya, tapi tangan Sander dengan sembunyi mencengkeram lengan Wuri.

"Katakan Wuri, apa yang terjadi dengan Ratna."

Wuri diam seribu bahasa, dilihatnya Darmin yang mulai curiga berjalan menghampiri mereka bersamaan dengan keluarnya seorang dokter dari ruang IGD.

"Siapa keluarga pasien?"

Darmin, Wuri dan Sander bertukar pandang.

"Saya penanggung jawab pasien, Dok." Sander memajukan diri.

"Silahkan masuk ke ruangan saya. Ada beberapa hal yang harus saya jelaskan dan perlu penjelasan juga dari anda."

Menuju ke arah lain dari pintu IGD dokter meminta Sander untuk mengikutinya. Secepat kilat Sander menyambar lengan Wuri untuk ikut serta ke arah yang dokter tunjukkan. Darmin hanya bisa melihat tanpa bergeming.

Mereka duduk di kursi berhadapan dengan dokter yang menangani Ratna di sebuah ruang praktek. Aroma obat menyeruak, berbagai peralatan media tersedia di ruangan itu. Dominasi warna putih khas rumah sakit membuat ruangan itu terkesan steril.

"Nama anda, Pak?" Dokter mengawali pembicaraan dengan meminta identitas Sander, sambil membuka sebuah map di hadapannya.

"Sander Brandt."

Dengan pandangan curiga dan kening berkerut dia menatap Sander, menutup kembali map di tangannya.

"Anda keluarga pasien?"

Sander menoleh pada Wuri yang terlihat gugup dan tegang.

"Saya, tamu yang sedang bertandang ke rumah pasien. Saya yang akan bertanggung jawab atas pengobatan pasien."

"Dan anda?" tanya dokter pada Wuri.

"Saya Wuri Alamsyah, saya bidan yang praktek di desa tempat pasien tinggal."

Wajah dokter itu terlihat sangat serius, "Ratna mengalami infeksi bagian kewanitaan yang cukup parah. Sekilas memang tidak tampak dari luar. Infeksi yang terjadi ada di jaringan bagian dalam. Sehingga indikasi yang bisa di perlihatkan oleh tubuh hanyalah demam. Dalam tempo lama infeksi ini bisa menjalar ke rahim dan mengakibatkan hal lain yang lebih parah."

Wuri mendengus kesal, tepat seperti dugaannya. Lirikan tajam Sander membuat dokter semakin curiga.

"Anda seorang bidan, tentu anda tahu penyebab utama seorang wanita menderita penyakit ini. Saya tidak tahu, apakah pasien memang terlibat pergaulan bebas atau pasien adalah korban pelecehan seksual. Bukan wilayah saya untuk bertanya tentang hal itu. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah membuat penyebaran infeksinya berhenti dengan pengobatan total. Pasien harus di rawat intensif di rumah sakit ini paling tidak tujuh hari."

Penuh kecemasan Wuri melihat ke arah Sander. Namun Sander mengangguk pada dokter itu dengan tenang dan mantap.

"Lakukan yang terbaik, kirimkan semua tagihannya kepada saya. Ini nomor telepon dan alamat saya."

Sander mengulurkan sebuah kartu nama. Sekilas Wuri membaca tulisan di kartu nama Sander. Logo media yang sangat terkenal di Indonesia 'Media Terkini'. Dia melotot ke arah Sander.

"Baik, kami akan segera memindahkan pasien ke ruang rawat inap. Jika ada perkembangan kami informasikan kepada anda, Tuan,…." Dokter melirik lagi ke kartu nama di tangannya, "Sander Brandt."

Sebuah anggukan dari Sander menutup pembicaraan mereka. Sander pun berjalan keluar, Wuri berjalan di belakangnya dengan diam seribu bahasa.

"Kau pasti punya tujuan datang ke desa kami. Siapa kau?"

Kilatan kemarahan terbersit jelas di wajah Wuri.