webnovel

Tuan Muda

Setiap piring yang terdapat di meja itu telah tandas isinya hanya tinggal hiasannya saja.

Alvin menahan senyumnya melihat Seira yang tampak lahap menghabiskan makanannya. Sepertinya mood gadis itu telah membaik. Alvin tentu tahu apa yang bisa membuat perasaan Seira membaik dengan cepat.

"Hufs. Aku kenyang," ujar Seira setelah meneguk air jus hingga tersisa seperempatnya. Dia menyandarkan punggungnya pada kursi.

Tangan Alvin menopang dagunya di atas meja memperhatikan kegiatan Seira lantas tersenyum lagi.

"Mau tambah? Kudengar mereka menyediakan makanan penutup," tawar Alvin.

Gelengan kepala dari Seira menjawab tawaran Alvin. Gadis itu pasti kekenyangan sampai tak mampu berkata membuat pria itu tertawa kecil.

"Baiklah. Sepertinya kau lebih mengantuk daripada makan lagi, ya, kan?" tebaknya.

Kali ini Seira yang tertawa. "Yup. Kau tahu saja, Al. Kalau begitu, anterin pulang," katanya.

"Siap Nona." Alvin menanggapi dengan gurauan dan keduanya tertawa bersamaan.

Senyum Alvin terlihat berat. Dia paham betul kenapa Seira bersikap begitu. Gadis itu berusaha keras menyembunyikan perasaannya. Alvin tahu ada banyak tanya dalam benak Seira tapi gadis itu tidak bisa mengutarakannya. Maka Alvin harus memikirkan sebuah cara untuk menjelaskannya secara natural nanti.

Hujan masih turun gerimis. Jam di dinding café itu menunjukkan pukul delapan malam. Selama itukah mereka di sana?

"Tunggu di sini bentar. Aku marker mobilnya agak jauh," ujar Alvin pada Seira ketika mereka keluar dari café.

"Ya." Seira mengiyakannya maka Alvin segera berlari menuju mobilnya berapa.

Namun, sepeninggal Alvin, Seira termenung. Dia mengedarkan pandangannya dan melihat ada tempat duduk tak jauh dari sana. Dia masih ada di area kampus.

Tidak ada siapapun di sana selain sepi. Hujan yang turun membuat para penghuni bumi memilih berdiam diri di tempat yang hangat ketimbang berbasah-basahan dengan hujan meskipun turun gerimis. Ini bukan malam minggu juga jadi agak sepi malamnya.

Seira mengeluarkan ponselnya dari tas memeriksa notifikasi tapi sama sekali tidak ada notifikasi dari Arsyid.

"Ada apa dengannya? Apakah dia marah?" gumam Seira sambil menatap layar ponselnya yang menampilkan nama pria itu. "Aku penasaran tapi enggak bisa telepon dia lagi sekarang," katanya.

Ya, lebih baik diam saja setelah mencoba. Setidaknya dia telah mencoba untuk menghubunginya tadi sekarang tinggal menunggu bagaimana kabar Arsyid. Meskipun hatinya resah Seira hanya bisa diam dan menunggu.

"Seira?"

Dia mendongakkan wajahnya ketika seseorang menyebut namanya.

"Oh, hai," balas Seira.

"Sedang apa di sini? Belum pulang?" tanya gadis itu menghampiri Seira.

"Ya. Hari ini agak malam," jawab Seira.

Gadis itu duduk di samping Seira tanpa izin.

"Udah makan?" tanyanya.

"Ya, barusan."

"Terus, lagi apa di sini?"

"Lagi nunggu jemputan. Kenapa kau di sini? Baru selesai kelas?"

"Tidak. Tadi ada urusan. Kelasku selesai siang," jawabanya.

"Amila, jadi makan nggak?" Seseorang bertanya dari kejauhan sedikit berteriak.

"Ya, sebentar. Aku nyusul. Kalian duluan saja," balas gadis yang bernama Amila itu.

"Baru makan?" Seira bertanya.

"Heem. Aku baru selesai rapat sama mereka."

"Kalau begitu, pergilah untuk makan."

"Ya, nanti setelah aku temani kamu disini."

Tawa Seira memecah hening membuat Amila menatapnya heran. Perasaan tidak ada yang lucu.

"Terima kasih udah temani aku padahal enggak usah," kata Seira.

Amila mendesah tak percaya. "Bisa-bisanya kamu … tapi, wajahmu agak pucat, sakit?"

Tangan Seira terangkat untuk menyentuh pipinya mendengar apa yang ditanyaka Amila. Gadis itu menatapnya lamat, menyelidiki Seira yang masih diam.

"Baik aja. Hanya pengen cepet pulang dan istirahat," akunya mencoba menutupi kekhawatiran yang kembali menyapa hatinya.

"Oh. Lantas, pergilah dan istirahat."

"Ya. Baru akan pulang juga." Seira memaksakan senyumnya.

Sebuah mobil silver datang tak lama kemudian. Dari dalamnya Alvin membuka kaca jendela dan menyembulkan wajahnya untuk memanggil Seira. Amila yang melihat itu seketika terdiam. Dia ikut bangkit berjalan mendekati mobil itu.

"Hai, Alvin," sapanya pada pria itu yang dibalas ramah olehnya. "Jemput Sei?" tanyanya.

"Ya. Ayo, Sei, keburu malem dan hujan lagi," kata Alvin pada Seira yang berdiri di belakang Amila. Gadis itu membukakan pintu mobil untuknya.

"Thanks, Am," ucapnya.

"Hati-hati di jalan, Sei, Vil. Sampai jumpa lagi."

Seira hanya mengangguk kecil sebagai tanggapan sedangkan Alvin hanya mengangkat tangannya sesaat lalu mereka pamit meninggalkan Amila yang seketika mengubah raut wajahnya menjadi masam. Tatapan dingin itu tajam mengantar kepergian dua insan berbeda jenis itu seolah dia menyimpan sesuatu.

"Kita lihat saja, aku akan menyingkirkanmu," katanya penuh tekad lalu kemudian berbalik dan berjalan selayaknya model di atas catwalk dengan penuh kemenangan meskipun nyatanya itu hanyalah angan belaka.

Siapa yang tidak tertarik pada Alvin? Sosok yang good looking, bahkan good rekening meskipun masih terbilang mahasiswa. Tapi kekayaan yang dimiliki keluarganya tak jarang menjadi sorotan. Lagi pula, siapa yang tidak tahu tentang Alvin dan keluarganya yang terhormat?

***

"Kau baik aja, Seira?" Alvin bertanya ketika menyadari wajah pucat gadis itu.

Seira meliriknya dan menggeleng. "Dingin," katanya.

Segera saja Alvin menghidupkan pemanas di mobilnya dan mematikan AC agar Seira tidak kedinginan.

"Kau tidak salah makan, 'kan?" tanya Alvin khawatir.

Tangan Seira beraksi di dahi dan nadinya lalu menggeleng. "Aku baik saja, kok, hanya perlu istirahat saja," akunya.

"Yakin? Gak perlu periksa?"

Bukannya menjawab Alvin, Seira malah tertawa.

"Kenapa tertawa? Gak ada yang lucu, Sei! Kau sakit, kan mesti dibawa ke rumah sakit buat periksa," omelnya.

"Aku baik saja, Tuan Muda, enggak usah berlebihan gitu, ah."

Alvin berdecak. Dia tidak suka bila seseorang menyebutnya Tuan Muda. Meski terlahir dari keluarga mapan yang dikenal hampir seluruh negri, bahkan luar negri sekalipun tapi Alvin adalah sosok yang mandiri dan pekerja keras. Dia tidak tinggal di rumah mansion orangtuanya dan memilih rumah sendiri.

Melihat perubahan ekspresi Alvin, Seira berhenti tertawa.

"Maaf," katanya menatap Alvin yang meliriknya sekilas. Pria itu marah rupanya. "aku baik saja, Vin. Makanya jangan berlebihan kalo nggak mau kusebut Tuan Muda. Kau mungkin telah lama tinggal sendiri, tapi sikapmu berlebihan selayaknya Tuan Muda."

"Itu karena dalam diriku ada darah Tuan Muda yang mengalir dengan deras," timpalnya sedikit kesal yang membuat Seira tertawa.

"Iya, iya, sory. Aku akan hati-hati lain kali tapi gak janji."

Lagi-lagi Alvin berdecak yang mengundang tawa Seira membahana di dalam mobil itu. Untunglah hanya mereka berdua di sana jadi tidak perlu khawatir menjadi pusat perhatian.

Bosan. Seira mengotak atik ponselnya bermaksud untuk menyalakan music yang tersambung ke mobil. Biasanya dengan begitu suasana hati Alvin akan baik-baik saja dan berhenti marah padanya. Tidak ada yang berani menyebutnya tuan muda selain Seira yang sering kali menyebutkannya secara sengaja atau tidak, dan itu masuk biasa hanya saja, Alvin yang terlalu berlebihan dalam menanggapinya. Dialah yang tidak terbiasa.