webnovel

Gue Percaya Lo Bisa

Ruang itu gelap seolah tidak ada pemiliknya. Cahaya dari luar menerobos masuk gorden jendela yang terbuka. Tampak rapi tapi bukan berarti tidak ada pemiliknya, bukan? Sosok itu sedang diam di salah satu sudut kasurnya, termenung.

"Sepertinya dia masih di pesawat," katanya bergumam kepada heningnya malam.

Jam menunjukan pukul sepuluh malam. Dia sedang membandingkan dengan apa? Ah, tidak lupakan.

"Dia pergi mendadak, lalu gue dapat titipan mendadak. Dasar sialan, lo, Ar! Kenapa mesti ngulur waktu buat kasih tau apa yang terjadi," ceracaunya sambil menatap layar ponsel yang hanya menampilkan wallpaper utamanya.

Dia membuang napasnya kasar. Melempar ponselnya ke sisi tubuhnya lalu berbaring asal. Pandangannya lurus ke langit kamar.

"Gue mesti jelasin apa ke Seira?" tanyanya lalu mendesah. "Dahlah. Gue mau tidur dulu, besok baru pikirkan lagi."

Entah dengan siapa dia berkata, ngedumel sendiri tanpa seseorang yang menemani. Aneh, bukan? Tapi begitulah adanya bila seorang Alvin sedang kesal saat sendirian. Luar biasa, bukan? Tapi, setiap orang pasti punya sisi lain yang tak terduga.

***

Siang adalah waktunya para makhluk bumi itu sibuk dengan berbagai aktivitas. Mengerjakan apapun seperti kesehariannya. Begitu pula dengan para mahasiswa.

Jam menunjukan pukul sepuluh pagi ketika ponsel Alvin bergetar di saku celananya. Dia sempat terkejut karena tengah asyik menyimak penjelasan dosen di depan kelasnya.

"Baik. Pelajaran sampai di sini dulu hari ini, sampai jumpa lagi," tutup sang dosen tak lama kemudian.

Saat itulah Alvin mengintip siapa yang mengejutkannya lewat sebuah panggilan. Pupil matanya sempat melebar, kedua bibirnya bergerak, menggumamkan sebuah umpatan tanpa suara. Dia kemudian melirik jam di tangannya, pukul sepuluh. Seketika otaknya bekerja, membandingkan perbedaan waktu antara dia dan si penelepon.

Para mahasiswa di kelas itu bubar, hari ini kelasnya hanya sampai jam sepuluh. Meski begitu, Alvin selalu pulang sore. Dia membawa langkah kakinya keluar dari kelas sambil menenteng tas ransel setelah memasukan barangnya secara asal. Siapakah gerangan yang menghubunginya sehingga dia tampak terburu kemudian?

Seseorang memperhatikan di tempatnya. Gerak-gerik Alvin yang tak biasa mengundang rasa penasarannya tetapi dia tak mampu untuk bergerak, melangkahkan kakinya mengikuti pria itu. Pada akhirnya dia hanya mampu mendengkus kesal.

"Ami, kita ke kantin dulu, yuk, laper nih," ajar seorang temannya.

Amila, dia adalah gadis yang memperhatikan Alvin itu. Dia menoleh dan mengubah raut wajahnya menjadi secerah biasanya. Sosok yang dikenal ramah dengan senyum menyenangkan. Amila cukup terkenal di kampus. Wajahnya pun manis jadi tak heran menjadi poin tambahan untuknya mendapat keberuntungan di kampus itu.

"Baiklah, ayo." Dia membalas dengan senyuman riang. Meraih tasnya lantas bergerak mengikuti langkah kaki teman-temannya yang tampak berisik. Gadis itu sempat menimpali obrolan temannya sebelum pandangannya menatap pada satu arah dan tajam menatap tempat itu seolah dia hendak memergoki kekasihnya.

Sementara itu, Alvin sampai di tempat yang sepi dan segera menggeser tombol hijau yang ada di layar ketika sebuah panggilan dari nomor yang sama kembali menghubunginya.

"Halo? Sorry, tadi lagi ada kelas," jawabnya begitu sambungan terhubung.

"Enggak apa-apa. Sorry juga hubungi lo tiba-tiba," aku si penelepon.

"Tak apa. Sekarang aman. Kenapa? Eh, bukannya di situ masih dini hari?" Tapi kemudian Alvin terdiam ketika ingat bahwa lawan bicaranya itu sedang tidak di tempat yang sama. "Kapan sampe?" tanyanya kemudian.

"Satu jam lalu," jawabnya dengan nada suara yang lelah. Kening Alvin mengerut menyadarinya.

"Semua baik, 'kan?" tanyanya lagi dengan nada khawatir.

"Ya, baik. Syukurlah. Begitu tiba, dokter mengatakan kalau masa kritisnya telah lewat. Jadi sekarang aman."

Alvin mengembuskan napasnya lega. Matanya terpejam sesaat lalu menyandarkan punggung pada tembok. Dia seperti seorang kekasih yang mendengar kabar dari kekasihnya. Ah, ayolah, segood looking apapun Alvin, dia tetap jomlo. Catat, jom-lo! Tapi entah kenapa, enggan untuk menjalin hubungan lagi dengan alasan, 'trauma'.

"Kalo kondisi udah baik, kau tidurlah. Kayanya belum tidur, nih?"

Tidak ada tanggapan untuk beberapa saat, hanya hening panjang yang terjadi antara mereka. Alvin pasti paham apa yang dilalui lawan bicaranya itu.

"Kayanya kau butuh istirahat, Ar. Nanti aku hubungi lagi kalo kau udah lebih baik," katanya.

Terdengar geraman pelan sebagai tanggapan. Jelas saja lawan bicaranya itu sedang lelah.

"Gimana dia?" tanyanya sebelum memutus sambungan sehingga menghentikan Alvin yang hendak menutup sambungan sepihak.

Alvin tidak menjawab. Dia tahu siapa yang ditanyakannya.

"Alvin?" panggil suara itu dari sambungan tapi Alvin tetap diam. "Al. Alvin?" panggilnya lagi dengan tidak sabar.

"Kau emang gila, Ar!" kata Alvin, mengumpat kemudian. "Jika sekhawatir itu, kenapa gak kasih tau dia jauh hari sebelum kejadian mendadak kaya semalam. Harusnya kau tanya dia langsung jika memang khawatir alih-alih ke aku, dan kelabakan sendiri harus jelasin ke mana kau pergi tiba-tiba gitu. Kau pikir, aku bisa jagain dia tanpa khawatir. Yang benar saja!"

Dia akhirnya meluapkan kekesalannya yang dipendam sejak kemarin. Napasnya juga tampak memburu menandakan bahwa dia tengah meluapkannya. Tidak apa orang mengira apa, yang penting dia merasa lega setelah mengatakannya pada sosok yang membuatnya uring-uringan tak jelas. Mengumpat tanpa sebab.

Bukannya simpati pada Alvin, sosok itu justru tertawa lebih dari sambungan yang membuat Alvin semakin gondok saja. Seorang Alvin yang dikenal baik, ramah, dan perfeksionis mengumpat? Rasanya sulit dipercaya, bukan? Jika ada penggemarnya tahu soal ini, bisakah dia bertahan dengan kekagumannya pada seorang Alvin?

"Sialan kau, Ar. Malah ketawa!" katanya.

"Sorry. Tapi, sungguh, lo itu aneh. Meski ngomel. Ngeluh dan lainnya kaya gini, nyatanya tetep jagain dia."

"Sok tau!"

"Gue bener, 'kan? Lo pada akhirnya tetep diem ditanya berulang kali pun. Itu sebabnya, gue percaya lo bisa jagain Seira tanpa ada gue," katanya yang membungkam Alvin. Tak dipungkiri ada rasa senang menyusup hatinya.

"Lalu, kenapa nanya ke aku, bukannya ke Seira sendiri? Dia khawatir banget. Dari kemarin nanyain terus," kata Alvin.

Hening.

"Ar. Arsyid?" panggilnya.

"Gue …."

"Alvin!" seruan seseorang diiringi tepukan di pundak Alvin membuat pria itu terkejut bukan main begitu menoleh. Dia bahkan tak sengaja kepalanya terbentur tembok saking kagetnya mendapati sosok yang memanggil namanya itu.

"Lah. Aku manggil juga biasa aja, kenapa reaksinya kaya liat hantu aja padahal masih terbilang pagi," jelasnya protes dengan reaksi Alvin yang menurutnya berlebihan. "Lagi telepon siapa, sih? Serius amat. Orang lain pasti ngira kamu ketahuan selingkuh," cerocosnya kemudian.

Tapi Alvin hanya diam, dia gugup. Menyembunyikan ponselnya di belakang tubuh agar Seira tidak bertanya lagi.

"Apaan, sih? Aku jadi penasaran."

Rupanya Seira mengendus suatu gelagat dari Alvin. Memang tingkahnya mirip orang ketahuan selingkuh jadi siapapun yang melihatnya pasti curiga.

Alvin tetap bertahan, menyembunyikan ponselnya di belakang tubuh dengan kepala menggeleng saat mendeteksi pergerakan Seira. Oh, gadis itu pasti akan beraksi.

Hap!

Gerakan pertama terbaca oleh Alvin sehingga dia bisa menjauhkan ponselnya dari jangkauan Seira dengan cepat. Namun sayangnya, Alvin belum mematikan sambungan ponselnya.

"Kamu ngapain, sih, Sei?" tanyanya mengangkat satu tangannya agar Seira tidak meraih benda pipih itu.

"Mau ambil ponselmu."

"Kenapa?"

"Penasaran. Punya pacar gak bilang-bilang," tuduhnya dengan kedua bibir terkatup dan maju beberapa centi. Seira cemberut dengan sorot mata tertuju pada wajah Alvin. Seketika dia makin gugup.

Hap!

Gerakan kedua juga berhasil dihindari Alvin. Dia kembali membawa ponselnya ke belakang tubuh. Namun, gerakan itu membuat jarak keduanya menjadi dekat, dan saling terdiam.

"Kamu aneh belakangan ini, Alvin," kata Seira. Alvin menatapnya, penasaran. "Kamu kaya sembunyiin sesuatu dariku, Arsyid juga dan itu bikin aku merasa terasing," aku Seira.

Baik Alvin dan Arsyid yang masih terhubung lewat sambungan ponsel itu terdiam. Ada sebuah detak tak enak dalam jantungnya seolah mengirim sinyal yang entah apa artinya.

Hap! Dapat!

Senyum senang penuh kemenangan terpatri di wajah cantik Seira. Dia dengan cepat mengambil langkah agar Alvin tidak mengambil ponselnya.

Gawat! Alvin sadar sambungan masih terhubung. Dia refleks melangkah untuk merebut kembali benda itu di tangan Seira tapi terlambat. Gadis itu menamengi tangannya dengan tubuh sehingga Alvin membentur punggungnya. Orang lain bisa salah paham melihat posisi mereka yang terlihat begitu mesra seolah Alvin tengah memeluk Seira dari belakang, seperti kacamata seorang Amila yang berdiri di lorong tak jauh dari tempat kedua insan itu berada.

"Sei, kembaliin," pinta Alvin.

Namun, Seira jahil justru menekan tombol hidupkan layar dan seketika terdiam saat nama Arsyid terpampang di layar. Keduanya bungkam. Alvin harus menjelaskannya setelah ini, begitu juga Arsyid.