Keesokan harinya
Tepat setelah sarapan bersama papa, aku dan Lily kembali ke Istana Emerald untuk bersiap-siap. Di sepanjang jalan, Lily bercerita pada ku bahwa malam hari Felix datang meminta Lily untuk membawa gaun tidur ku. Lily bilang kalau dia sangat bingung saat itu. Namun, dia hanya mengangguk dan melaksanakannya.
Aku terkekeh geli mendengar cerita Lily. Ketika kami sampai di Istana Emerald, aku segera menuju kamar mandi. Lily dan Hannah membantu ku bersiap-siap.
"Anda mau memakai gaun apa Tuan Putri?" Hannah membuka lemari pakaian ku.
"Karena hari ini Athy akan menghabiskan waktu dengan papa, Athy mau memakai gaun dari papa."
Hannah menatap ku bingung. Dia bertanya pada ku bukankah semua gaun Tuan Putri itu dari Yang Mulia, begitu. Aku terkekeh pelan, Hannah belum tahu cerita ini ya?
"Tidak semua gaun di sana dari Yang Mulia, Hannah."
Hannah diam mendengar perkataan Lily. Lily tersenyum, "beberapa di antaranya hadiah dari Tuan Penyihir."
"He? Dari Tuan Penyihir?" Hannah setengah berteriak tidak percaya.
Kenapa dia setidak percaya itu sih? Bukannya pandangan warga istana tentang Lucas itu sangat baik ya? Lagipula yang tahu bahwa sikap Lucas kurang ajar dan narsis hanya aku dan Seth.
Aku menghampiri Hannah dan melihat isi lemari ku. Aku tersentak kaget, lemari ku hampir penuh. Aku menoleh ke arah Lily yang tersenyum.
"Lily. Sudah berapa kali Lucas mengirim gaun?" aku sungguh bingung saat ini.
"Kalau dengan pagi ini, sepertinya sudah dua puluh kali. Pagi ini beliau mengirim dua gaun."
Aku dan Hannah melongo. Lucas kalau memberi ku hadiah tidak main-main. Sebelas-dua belas dengan papa.
Aku mengambil gaun pemberian papa dan memberikannya pada Lily. Tanpa buang waktu, mereka berdua membantu ku memakai gaun tersebut.
"Tuan Putri cantik sekali," Hannah terharu melihat ku.
Aku melihat pantulan diri ku di cermin. Wouh! Aku terlihat cantik! Gaun berwarna peach dengan renda dan lapisan kain berwarna putih ditambah rambut ku yang dikuncir satu dengan pita peach benar-benar pas untuk ku. Aku berbalik, menatap Lily dan Hannah.
Aku tersenyum, "Terima kasih bantuannya Lily, Hannah!"
"Sama-sama Tuan Putri."
Aku mengecup pipi mereka secara bergantian dan pergi ke luar kamar. Felix yang berdiri di sebelah pintu tersenyum melihat ku. Kami bertukar sapaan dan pergi ke taman Istana Garnet.
Di perjalanan, aku dan Felix bermain tebak kata. Sesekali kami tertawa ketika jawabannya salah atau terdengar aneh. Tanpa terasa, kami sudah sampai di taman. Ku lihat papa sudah menunggu sambil menyeruput tehnya.
"Papa! Athy sudah datang!"
Aku berlari menghampiri papa. Papa sudah berdiri dan siap-siap menangkap ku kalau aku melompat.
"Sudah ku bilang jangan lari-lari, Athy."
Aku berhenti. Barusan papa memanggil ku apa? Athy? Bukan Athanasia? Biasanya kan Athanasia. Aku tersenyum senang. Papa memanggil ku Athy! Nama panggilan ku!
"Kenapa?" papa bertanya.
Aku berlari lagi sambil tersenyum, "Athy senang!"
Aku melompat dan masuk ke dalam pelukan papa. Ku peluk lehernya dan mencium pipinya.
"Kau ini kenapa?"
"Athy senang karena papa memanggil Athy dengan nama panggilan!"
Papa tersenyum tipis dan mengusap kepala ku, "dasar aneh."
Kau mengatai ku aneh tapi tersenyum lembut pada ku. Yang aneh itu bukannya papa? Aku terkekeh pelan dan duduk di hadapannya.
Seperti biasa, kue sudah tersaji di hadapan kami. Aku segera mengambil kue cokelat dan melahapnya. Kue cokelat memang yang terbaik.
Aku melahap kue ku dengan perasaan gembira. Namun, aku merasa seperti diperhatikan hingga membuat ku tak nyaman. Aku menatap ke depan. Papa memperhatikan ku, lebih tepatnya melamun sambil menatap ku.
"Papa?"
Papa tersentak pelan dari lamunannya dan menatap ku.
"Ada apa, papa?"
Papa menggeleng pelan dan menyeruput tehnya. Tiba-tiba aku tertarik dengan sesuatu. Aku mengambil cangkir dan menatap papa sambil tersenyum.
"Papa! Apa Athy boleh minum teh yang sama dengan papa?"
"Tuan Putri yakin? Bau nya terlalu kuat untuk Tuan Putri," Felix memberi tahu dengan nada khawatir.
Terlalu kuat? Memangnya teh apa yang papa minum? Tapi kalau dipikir-pikir, memang harum tehnya tercium sampai sini. Kalau aku sedang minum teh dengan Lucas saja, harum tehnya tidak sekuat ini. Apa jenis tehnya berbeda?
"Biarkan saja Felix," papa menuangkan teh dalam cangkir ku.
Aku berterima kasih pada papa dan menghirup aroma teh tersebut. Baunya memang kuat, tapi terasa menenangkan. Teh jenis apa ini? Aku menyeruput teh ku dan tertawa pelan.
Papa dan Felix menatap ku bingung. "Athy merasa seperti ada bunga yang mekar di mulut Athy!"
Mereka berdua masih menatap ku, kali ini dengan tatapan kaget. Hm? Ada apa?
"Kau mirip dengan wanita itu," papa bergumam pelan, "Diana."
Kini giliran aku yang menatap bingung ke arah papa dan Felix. Papa mengalihkan pandangannya ke arah lain, sedangkan Felix tersenyum pada ku.
"Nona Diana pernah mengatakan hal yang sama saat meminum teh ini, Tuan Putri. Teh ini bernama Teh Lippe, dari Siadona. Yang Mulia menyukai teh ini karena Nona Diana."
Aku menatap papa setelah mendengar perkataan Felix. Aku mengatakan hal yang sama seperti mama? Aduh, gawat! Bagaimana kalau papa marah? Aku baru saja mengingatkannya pada mama.
"Felix, Kau hari ini berisik ya. Mundur sepuluh langkah."
Felix segera mundur sepuluh langkah. Papa menyeruput tehnya tanpa bicara apa-apa. Hening menyelimuti kami.
"Kau kenapa diam?" papa bertanya.
GLEG!
Aku menelan ludah, "apa Papa tidak marah pada Athy?"
Papa menatap ku terkejut. Namun dengan hitungan detik, menutupinya dengan wajah datarnya.
"Untuk apa aku marah?"
Aku meletakkan cangkir ku dan menunduk, "Athy baru saja mengingatkan papa pada mama."
Aku masih menunduk, tidak berani melihat apa yang terjadi. Aku takut papa marah pada ku, lebih tepatnya membenci ku. Aku secara tidak sengaja membuka topik terlarang saat bersama papa.
Tapi memangnya ini salah ku? Aku saja tidak tahu mama pernah berkata begitu. Tolong aku! Aku mohon!
PUK!
Aku merasakan sesuatu yang berat di atas kepala ku. Secara refleks, aku mendongak. Aku tersentak kaget saat mendapati papa di hadapan ku. Dia berlutut untuk menyamakan tinggi.
Mata kami saling tatap untuk beberapa saat. Aneh...aku tidak melihat rasa benci dan marah dari matanya, tetapi rasa hangat seorang ayah. Apa papa tidak marah?
"Aku tidak marah."
Papa mengusap-usap kepala ku dengan lembut. Apa papa, berusaha menghibur ku?
"Setiap kali melihat mu, Kau selalu mengingatkan ku pada Diana. Jadi untuk apa aku marah kalau Kau baru saja mengingatkan satu hal kecil? Aku tidak bisa marah karena hal sepele pada putri ku sendiri."
Aku bungkam. Apa kau benar-benar menghibur ku saat ini? Ah, kenapa kau berbeda dengan yang di novel sih? Aku tidak membencinya, aku justru menyukainya.
Aku menyukai sikap hangat mu ini. Saking menyukainya, aku takut suatu hari nanti semuanya akan menjadi milik Jennette. Aku tidak mau hal itu terjadi.
TES!
TES!
TES!
"A...Athy?" papa menatap ku terkejut.
Ah, mata ku terasa panas. Aku pasti baru saja menangis. 'Dasar cengeng! Berhentilah menangis!' aku mengutuk diri ku sendiri. Dengan sedikit kasar, aku mengusap air mata dengan lengan gaun ku.
TES!
Tidak mau berhenti. Ku mohon berhentilah! Aku mohon!
GREP!
Aku masuk ke dalam pelukan papa. Dapat ku rasakan dada bidang papa di kepala ku. Ah, pelukan yang hangat. Kau malah akan membuat ku menangis lebih karas, papa.
"Aku tidak marah, Athy."
"HUWAAAA!"
Tangis pecah tanpa aba-aba. Memalukan! Sangat memalukan! Kenapa aku selalu menangis tiap kali kau bersikap manis dan hangat pada ku papa?
***
Claude POV
"Apa Tuan Putri sudah tidur Yang Mulia?" Felix bertanya dari balik tirai.
"Hm," jawab ku singkat.
Saat ini aku dan Athanasia sedang istirahat di tempat tidur yang ada di balik tahta. Aku sengaja membuat ini agar bisa istirahat sesegera mungkin setelah mendengar gonggongan tak berguna bangsawan-bangsawan itu.
Setelah menangis tanpa henti di acara minum teh tadi, Athanasia kelelahan dan tertidur. Dari pada membawanya ke kamar, lebih baik kemari. Sebentar lagi aku juga punya jadwal bicara dengan seorang bangsawan.
"Saya yakin bahwa Yang Mulia menyayangi Tuan Putri. Namun, saya tidak menyangka Yang Mulia akan mengatakan itu."
Apa katanya? Memangnya salah mengatakan itu?
"Felix. Akhir-akhir ini Kau kurang ajar ya," ucap ku datar.
Dari balik tirai, aku mendengar Felix terkekeh pelan. Itu bukan pujian, bodoh. Kapan kau bisa membedakan antara pujian dan sindiran? Kau tidak pernah berubah dari dulu.
Aku menoleh ke arah Athanasia. Dia tidur dengan sangat nyenyak. Apa itu karena kasurnya? Atau karena dia mimpi indah?
Kalau itu karena mimpinya, aku harap itu aku. Tapi kali ini, biarkan Diana yang mengisinya.
TUK!
Aku menyentuh pelan dahi Athanasia, memberinya memori tentang Diana. 'Tidurlah Athanasia, jenguklah Diana. Kau merindukannya kan?'
Clude POV end
***
Sore harinya
"Jadi itu sebabnya mata mu bengkak?" Lucas mengambil kue kering dan memakannya.
Aku mengangguk dan menatap ke arah lain. Ugh! Memalukan! Aku mengingat lagi kejadian pagi ini juga siang ini dengan saksama.
Tadi setelah kelelahan menangis, aku tertidur. Saat bangun, aku ada di sebuah kasur yang terletak di belakang tahta. Ku pikir papa ada di kursi tahta berbincang dengan Felix, jadi aku langsung menghampiri papa dan memeluknya tanpa lihat situasi.
Namun saat melihat papa cepat-cepat memangku ku, aku sadar akan sesuatu. Papa tidak sedang bicara dengan Felix, tapi seorang bangsawan! Aku yang tidak bisa mengelak atau kabur akhirnya membenamkan wajah ku di boneka kelinci yang Felix berikan saat itu juga. Ugh, memalukan! Untung saja ada boneka kelinci!
Lalu saat bangsawan tersebut pulang, papa yang mengantar ku sendiri ke Istana Emerald, tentu saja dengan Felix di belakangnya. Papa bilang mata ku bengkak jadi butuh istirahat lebih. Aku hanya diam di sepanjang jalan karena tidak tahu harus membicarakan apa. Aku masih malu karena menangis tadi.
Saat kami sampai, Lily terkejut melihat ku dan tiba-tiba jadi over protective. Tapi setelah Felix menjelaskan semuanya, Lily terlihat lebih tenang. Bagi Lily, seorang anak menangis karena hal yang bersifat kekeluargaan adalah hal wajar.
Lily berterima kasih pada papa karena sudah mengantarkan jauh-jauh dan mengantarkan ku ke kamar. Aku istirahat di kamar sampai sore. Lalu Lucas datang tiba-tiba saat aku bergumam sedang bosan.
Aku heran kenapa dia bisa muncul setiap kali aku bosan. Apa dia tidak ada kerjaan? Padahal menurut penuturan Seth, Lucas baru pulang saat sore hari bahkan tengah malam. Kalau sedang tidak ada tugas, dia bisa pulang kapan saja. Duh, kenapa malah membicarakan Lucas sih?
"Ternyata raja itu bisa bilang begitu ya? Aku tidak menyangka."
"Jaga ucapan mu, Lucas! Meskipun Kau lebih tua dari papa ku, dia tetaplah raja mu!" aku setengah berteriak.
Lucas mengangguk malas dan mengunyah kue kering lagi. Dasar, Lucas!
Aku menatap ke arah jendela dan tersenyum. Siang ini aku memimpikan mama berkat papa. Yah, meskipun hanya melihat potongan memori milik papa. Tapi aku tetap senang bisa memimpikan mama.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu, "Lucas!"
Lucas menaikkan sebelah alisnya dan menghentikan tangannya yang siap mengambil sepotong kue kering lagi.
"Apa Kau pernah bertemu dengan mama ku?"
"Pertanyaan itu lagi? Kau gila ya? Kau itu orang pertama yang ku temui setelah tidur ratusan tahun."
Aku menggembungkan pipi ku. Aku tahu itu, tapi kan tidak usah mengatai ku gila juga dong. Harga diri ku tersakiti di sini.
"Apa sih yang mau Kau tanyakan?" Lucas menautkan alisnya.
Aku menghela napas dan mulai menjelaskan tentang mimpi di mana aku berbicara dengan mama. Lucas menatap bingung ke arah ku setelah mendengar cerita ku. He? Kau juga tidak tahu? Lalu aku harus tanya ke siapa?
"Fenomena apa lagi itu?"
Aku menggidikkan bahu. Kalau Kau saja bingung, aku apalagi. Lucas menjentikkan jarinya dan sebuah buku muncul. Lucas membaca buku tersebut dengan serius. Aku hanya diam karena tidak mau mengganggu.
Beberapa menit berlalu dan Lucas kembali menjentikkan jarinya. Dia terlihat kesal dan kecewa. Apa dia tidak menemukan sesuatu?
"Sepertinya itu fenomena baru."
"Lalu bagaimana caranya untuk mencari tahu?"
"Melakukan percobaan tentu saja. Nah sekarang, tidur sana!"
Tepat setelah Lucas mengatakan itu, dia menggerakkan jarinya. Aku tiba-tiba berdiri dan melangkah ke arah kasur. Lho, sihir lagi! Curang!
"Bagaimana dengan makan malam ku dengan papa?"
Lucas berhenti, "Kau lapar?"
"Tidak juga," aku menggelengkan kepala.
"Aku akan bilang kalau Kau sakit. Papa mu pasti bisa mentoleransi hal itu."
Ha? Kita mau membohongi papa? Memangnya dia percaya nanti? Lucas melanjutkan sihirnya dan kini aku sudah dalam posisi tiduran dengan selimut yang melingkup di atas tubuh ku. Aku menyibakkan selimut dan turun.
"Aku belum ganti pakaian, bodoh!"
"Ck," Lucas berdecak kesal dan menjentikkan jarinya.
CTAK!
Pakaian ku sudah berganti menjadi gaun tidur ku yang biasanya. Aku naik lagi dan memakai selimut. Ini masih sore, bagaimana aku bisa tidur?
Lucas mengambil kursi dan meletakkannya di sebelah kasur ku. Dia duduk di situ dan menatap ku.
"Kenapa belum tidur?"
"Dasar bodoh! Kau pikir aku bisa tidur sore-sore begini ditambah Kau yang menunggui ku begitu?"
Lucas menghela napas dan mengacak rambutnya. Dia menjentikkan jarinya sekali lagi dan alunan musik terdengar. Ini lulaby kan?
Aku merasa mengantuk. Aneh, padahal baru beberapa detik. Apa ada sihir tidur di lagunya? Tepat sebelum aku pergi ke dunia mimpi, aku menggenggam tangan Lucas. Setelah itu, semuanya hitam.
***
Oh! Taman bunga! Aku celingak-celinguk menatap sekitar. Ini di mana? Ini sepertinya bukan taman Istana Ruby deh.
Ya, ini bukan taman Istana Ruby, tapi Istana Emerald. Ini taman bunga mawar milik ku. Aku menyusuri tanaman mawar ku. Aku berhenti di depan sebuah pohon besar. Sepertinya ini memang mimpi seperti waktu itu.
"Athy?"
Aku berbalik dan terperangah. Gah! Ini benar-benar mimpi seperti waktu itu! Aku berlari ke arah mama dan memeluknya.
"Mama! Athy senang bisa bertemu mama lagi!"
Mama tersenyum. Aku menatap mama dari atas sampai bawah. 'Memang seperti peri.'
"Apa yang Athy lakukan di sini?"
Aku terkekeh pelan, "Athy mau bertemu mama."
Ini mimpi, tapi terasa nyata. Aku merasa sesuatu menyentuh belakang kepala ku, ternyata mama membelai kepala ku.
Kami diam beberapa saat sampai aku tiba-tiba menyadari sesuatu. Ini adalah sebuah mimpi, kenapa pelukan mama terasa hangat? Maksud ku bukan hangat perasaan, tapi hangat sungguhan.
"Apa ini mimpi sungguhan?" aku bertanya pada mama.
"Kenapa Athy bertanya begitu?" mama bertanya balik.
"Pelukan mama terasa benar-benar nyata untuk Athy. Kalau ini mimpi, Athy tidak akan merasa seperti ini."
Aku menatap mama, sedetik kemudian aku terdiam. Kenapa ekspresi wajah mama tampak terkejut begitu? Apa aku salah bicara?
"Mama?"
Mama tersenyum kecut dan mencium kening ku. "Tidurlah Athanasia."
Kesadaran ku menipis. Aku jatuh terduduk di pangkuan mama. Mata ku terasa sangat berat. Kenapa ini?
"Jangan pergi kemari lagi, Athanasia. Mama mohon pada mu."
Ugh! Kenapa mata ku terasa sangat berat? Aku tidak boleh kembali sekarang! Aku harus mencari tahu dulu tentang mimpi ini!
"Meskipun mama sangat ingin bertemu dengan mu lewat mimpi ini, tolong jangan datang lagi. Ku mohon pada mu, Athy."
TES!
TES!
Air mata mengalir dari mata merah muda indah milik mama. Kenapa kau menangis mama? Kalau kau ingin bertemu dengan ku, aku akan selalu datang kemari. Kenapa kau malah melarang ku?
"Kenapa aku tidak bo-"
DEG!
Pandangan ku kabur dan keadaan sekitar mulai meredup. Semua terjadi begitu cepat. Dalam hitungan detik, semuanya gelap. 'Ugh, sial! Gelap lagi!'
***
Author POV
KRIEET!
Sebuah pintu terbuka. Seorang pria dan seorang anak laki-laki masuk. Sang pria dengan segera menghampiri sebuah kasur. Di kasur tersebut, tampak seorang anak perempuan tengah tertidur dengan tenang.
Mungkin seharusnya pria itu senang karena gadis itu tidur dengan tenang, tapi pria itu tidak merasa senang sedikit pun. Justru pria itu merasa takut.
"Sejak kapan dia sakit?" tanya pria itu pada anak laki-laki di belakangnya.
"Sejak tadi sore, Yang Mulia," anak itu diam sebentar, entah kenapa perasaannya tidak enak, "maaf Yang Mulia. Izinkan saya memeriksa keadaan Tuan Putri."
Pria yang dipanggil 'Yang Mulia' itu menyingkir tanpa banyak bicara. Dengan segera, anak itu mendekati gadis yang dipanggil 'Tuan Putri' tersebut dan memeriksa kondisinya dengan sihirnya.
DEG!
'Ti...tidak mungkin! Bagaimana ini bisa terjadi?' anak itu syok. Dia menatap gadis di hadapannya dengan tatapan tidak percaya.
"Bagaimana kondisi putri ku?" pria itu bertanya lagi. Dia sadar dengan suasana yang baginya terasa tidak mengenakan.
Anak itu berdiri dan berbalik, namun masih menundukkan kepala. "Hei, bocah! Katakan pada ku bagaimana kondisi Athanasia!"
"Yang Mulia. Kondisi Tuan Putri sedang kritis."
DEG!
Pria itu diam. Dia tidak bisa bereaksi apa-apa. 'Kenapa ini terjadi lagi?' batinnya dalam hati. Dia menatap tajam ke arah anak laki-laki itu seraya mengancamnya.
"Sembuhkan putri ku! Kalau dia mati," ada jeda di kalimatnya, "Kau juga mati!"
Setelah mengucapkan itu, pria tersebut keluar dari ruangan. Dia memerintahkan agar tidak ada siapapun yang masuk ke dalam kecuali dirinya dan anak laki-laki tersebut.
Di sisi lain, di kamar gadis tersebut, anak laki-laki tersebut jatuh berlutut di samping kasur. Dia memandang gadis yang tertidur dengan tatapan yang tak bisa diartikan.
Dia menggenggam tangan gadis itu seraya berkata lirih, "apa yang sebenarnya terjadi pada mu, Athanasia? Mimpi apa yang sebenarnya coba Kau cari tahu itu?"
Author POV end
***