webnovel

Orang Baik

Selena terkejut saat membuka hadiah dari Mentari, sepatu bermerek berwarna putih yang sudah sangat lama dia idamkan.

Melihat harganya yang mahal mungkin saja Mentari sengaja menabung untuk membelikannya sepatu ini.

Ada sepucuk surat didalamnya yang berisi tentang ucapan selamat dan beberapa doa dari Mentari, ada satu hal yang cukup menarik perhatiannya. "Semoga cepet dapet jodoh."

"Ini maksudnya apa coba?" Selena sedikit tersenyum dengan ulah adiknya itu.

Mengingat Selena yang sudah 17 tahun dan memiliki paras cantik terkadang membuat Mentari heran kenapa kakaknya tidak kunjung punya pacar.

Perbedaan umur dua tahun membuat hubungan Selena dan Mentari seperti teman, Mentari juga sering sekali curhat pada Selena tentang masalah percintaannya.

Namun berbeda dengan Selena yang tidak pernah sekalipun menyinggung tentang cowok manapun.

Selena beralih mengambil kotak pemberian dari papanya, dilihat dari bungkusnya sama sekali tidak menarik. Walau begitu ini adalah hadiah pertama setelah hampir sembilan tahun yang lalu.

Dengan semangat Selena membuka kotak itu, besarnya hanya seukuran kotak makan. Tapi isinya sangat berbeda dengan apa yang ada dipikiran Selena, terdapat satu kotak yang lebih kecil lagi didalamnya.

Setelah dibuka kotak kecil itu ternyata berisi kalung emas yang tidak terlalu besar, sama seperti hadiah dari Mentari ada secarik kertas yang menempel di kalung.

"Bunda." Satu kata tapi membuat Selena jadi membeku.

Sudah sangat lama dia tidak mendengar kata "Bunda" mungkin semenjak kehilangannya sosok tersebut.

Tidak terasa air matanya kembali menetes mengingat bundanya yang telah lama pergi, sudah sejak berumur 3 tahun ibunya pergi.

Selena tidak ingat betul apa yang sedang terjadi waktu itu, yang masih ada dipikirannya adalah ketika dia berteriak memanggil bundanya yang pergi entah kemana.

Kenangan itu adalah hal paling terburuk dalam hidupnya, berkali-kali Selena mencoba melupakan semua itu. Tapi setiap kali melihat tanda lahir di tangannya yang sangat mirip dengan bundanya, Selena selalu teringat akan kejadian itu.

"Kenapa kalung bunda masih papa simpan?" Selena memegang erat kalung ditangannya.

Sudah banyak kejadian hari ini yang menguras tenaganya, sampai Selena harus tertidur dengan tangan yang masih memegang kalung juga sepatu pemberian Mentari.

***

Pagi ini Selena terbangun dengan kondisi badan yang pegal-pegal, mungkin karena posisi tidurnya tadi malam yang tidak teratur membuatnya jadi pegal-pegal.

Selena terlebih dulu menyimpan kalung juga sepatunya, lalu setelah itu dia baru mandi dan bersiap untuk bersekolah.

Sebagai siswa kelas 12 Selena mulai disibukkan dengan berbagai acara persiapan ujian, di sekolahnya bahkan sudah melaksanan les tambahan. Hal ini sebenarnya cukup membantu Selena dalam proses belajarnya, tapi terkadang memang jam pulang yang lebih telat membuatnya tidak mendapat jemputan saat pulang.

Kemarin sore Selena sudah bernegosiasi dengan Pak Mamat satpam dirumahnya, Pak Mamat setuju kalau Selena menggunakan motornya. Lagian juga kalau Selena pulang sampai malam, ibunya tidak akan membiarkan sopir menjemputnya. Jadi lebih baik jika Selena membawa kendaraan sendiri.

Setelah menggunakan seragam SMA Taruna, Selena bergegas menyiapkan buku-buku yang hendak dibawanya. Ada banyak buku yang harus dibawanya, apalagi dengan tambahan materi les yang tidak sedikit.

Untuk mengantisipasi supaya tali tasnya tidak cepat putus, Selena selalu membawa tas kecil yang digunakan untuk membawa buku-buku paket.

Selena mengambil ponselnya yang masih tersambung cas sejak semalam, ternyata ada satu panggilan tidak terjawab dari Kalani temannya disekolah.

"Tumben banget Kalani nelpon, ada apa ya?" Karena penasaran Selena menghubungi nomer itu balik, tapi tidak ada jawaban.

Berkali-kali Selena menghubungi ulang tapi ternyata tetap tidak ada respon dari Kalani. Tidak ingin membuang waktu lagi Selena segera turun kebawah untuk sarapan.

Biasanya dimeja makan sudah ada berbagai macam makanan yang dimasak oleh para koki disini. Begitu juga pagi ini, meja makan tertata rapi dengan berbagai jenis hidangan yang menggugah selera.

Di meja makan sudah ada Papanya, Yuanita juga Mentari yang sama-sama baru bergabung.

"Eh sayang duduk sini!" Yuanita menyuruh Mentari untuk duduk diantara mama dan papanya.

Sebelum itu Mentari terlebih dulu menatap Selena, mengetahui Mentari sedang meminta izin padanya jadi Selena mengangguk kearahnya.

Selena juga ikut bergabung di kursi seberang papanya, dia ikut makan bersama dengan mereka. Walaupun sejak tadi Yuanita menatapnya, Selena berpura-pura tidak melihatnya supaya tidak menimbulkan masalah baru lagi.

Tepat di depannya Mentari mendapat perlakuan istimewa dari kedua orang tuanya, mamanya mengambilkan ayam untuknya. Hal yang tidak disangka, Mentari justru memberikan kembali ayam goreng itu di piring Selena.

Sempat melirik kearah Yuanita, Selena langsung mendapat pelototan tajam darinya. Mentari yang duduk didepannya langsung tersenyum dan menyuruh Selena agar segera menghabiskan ayamnya.

Setelah sarapan keluarga tadi, Selena langsung menemui Pak Mamat untuk meminjam motor darinya. Dengan senang hati Pak Mamat langsung menyerahkan kunci motornya hanya dengan satu syarat.

"Pokoknya pulang harus selamat dan nggak ada yang lecet sama sekali, mau itu motornya atau orangnya!"

Selena mengangguk paham, "Baik Pak."

Sepertinya Pak Mamat tahu kalau kemarin Selena terjatuh dari motor, mungkin saja ada bekas baret di badan motornya. Selena jadi merasa bersalah karenanya motor Pak Mamat jadi tergores.

"Udah mbak langsung berangkat aja! Kok malah bengong disini, emang lagi mikirin apa?" Pak Mamat memecah lamunan Selena.

"Pak, aku minta maaf ya." Merasa bersalah Selena langsung meminta maaf padanya.

"Minta maaf soal apa mbak?" Pak Mamat memandanginya lekat seolah menunggu jawaban darinya.

"Maaf gara-gara aku motornya jadi lecet." Selena menunduk tidak berani menatap wajah Pak Mamat.

"Oh soal itu, sebenarnya sih nggak apa-apa kalau lecet. Motor Pak Mamat juga sudah jelek, tapi kenapa Mbak Selena jatuh dan terluka nggak mau bilang?"

"Soalnya aku memang nggak terluka Pak."

"Kemarin tak lihat kakinya memar, terus hari ini jalannya juga pincang kan. Mbak mending bilang aja kemarin, soalnya saya punya kenalan tukang urut paling manjur. Siapa tahu kan Mbak Selena bisa sembuh tuh."

Selena tersenyum melihat wajah Pak Mamat yang sepertinya khawatir dengannya.

"Iya terima kasih Pak udah khawatir, tapi ini nggak apa-apa kok."

"Nggak apa-apa gimana? Itu kalau nggak segera diobati bisa makin parah mbak. Pokoknya nanti sepulang sekolah harus diurut ya?"

"Iya Pak." Selena mengangguk padanya.

Setelah itu Selena berpamitan pada Pak Mamat seperti orang tuanya sendiri, karena selain Bi Lastri yang baik padanya ada juga Pak Mamat yang selalu membantunya.

Selena dan Mentari bersekolah ditempat yang berbeda. Mentari sekolah di salah satu sekolah elit di Jakarta yang bernama SMA Kusuma Jaya, sedangkan Selena sekolah di SMA Taruna yang merupakan sekolah negeri biasa.

Sebenarnya Selena juga tidak protes dengan hal itu, menurutnya disekolahnya juga merupakan sekolah yang bagus. Apalagi disana Selena mendapat perlakuan yang baik dari teman-temannya.