webnovel

Tidak Tahu Malu

"Dari siapa?" tanya Mika kepada salah seorang temannya yang baru saja memberinya sekotak coklat.

"Nggak tahu namanya gue, yang jelas dia ganteng!" jawab gadis itu singkat. Ia pun berlalu meninggalkan Mika dan Jessi yang tengah bersantai di kafetaria kampus.

Jessi merebut kotak coklat tersebut dari tangan Mika, lalu bergegas membukanya.

Persetan dengan coklat, ia hanya penasaran jika saja sang pengirim menyelipkan surat cinta di dalam kotak tersebut.

"Santai aja dong bukanya!" seloroh Mika sambil menggelengkan kepalanya pelan.

"Diem! Emang lo nggak penasaran, kali aja ada surat cinta di dalemnya!" sahut Jessi yang masih berusaha membuka kotak tersebut.

Mika langsung mendekat ke arah Jessi, ketika gadis itu mengeluarkan selembar kertas catatan kecil berwarna putih.

"Nggak seru!" komentar Jessi setelah ia membaca isi dari surat tersebut.

Mika sendiri langsung berpikir keras. Apa maksud dari kata maaf yang tertulis di kertas itu?

"Menurut kamu, dari siapa ya, Jess?" tanya Mika sambil mencomot satu buah coklat dari dalam kotak.

"Nggak tahu, gue! Tadi dia bilang ini dari cowok ganteng ya, 'kan? Nah, lo pikir-pikir lagi, deh! Cowok ganteng mana yang abis bikin salah sama lo!"

"Mas Arga? Tapi gak mungkin sih kayaknya. Daripada nitipin ini ke orang, kalau emang dia yang ngasih, pasti langsung dikasih ke aku."

Jessi mengangguk-anggukan kepalanya pelan.

"Bener juga ya. Ya terus siapa? Gak mungkin Rian, 'kan?"

"Kenapa kamu kepikiran sama Rian?"

"Ya secara nggak langsung, lo terlibat scandal pacaran kemaren kan karena dia! Mungkin dia ngerasa gak enak, terus ngasih ini ke lo!"

Mika menggeleng pelan. Ia sangat meragukan ucapan Jessi. Sepertinya, Rian juga bukan orang yang akan ngirim sesuatu seperti ini untuk meminta maaf.

"Dahlah, siapa pun itu terserah, soalnya coklatnya enak!" celetuk Mika sambil memasukkan kembali sepotong coklat ke mulutnya.

***

Mika meminta Jessi untuk menunggunya di kamar, saat ia melihat sesosok makhluk yang paling dibencinya tengah duduk dengan santainya di ruang tamu. Ah, tak lupa juga seseorang yang ia tahu adalah kaki tangan ayahnya yang dipercayakan untuk mengurus perusahaan untuk sementara waktu hingga Mika cukup mampu untuk mengambil alih.

"Untuk apa Tante ke sini?!" seru Mika dengan sangat tidak ramah.

Yunita, wanita yang belum terlalu tua dengan perawakan bak wanita bangsawan itu menoleh dengan angkuhnya ke arah Mika.

"Kenapa lama sekali? Tante sudah menunggu kamu untuk waktu yang cukup lama di sini!" ketus Yunita.

Mika menghela napas berat, ia lalu melemparkan dengan asal totebag yang ia tenteng sebelumnya, kemudian duduk berhadapan dengan tantenya itu.

"Langsung aja Tante, soalnya Mika males lihat muka Tante!"

Yunita menganga tak percaya mendengar ucapan frontal Mika. Tapi, ia tak bisa memaki gadis itu mengingat ada Andriyes di sana.

"Begini, Mika ... em, biar om yang jelaskan sama kamu. Rapat pemegang saham baru saja dilakukan, dan para petinggi di perusahaan menginginkan pemimpin tetap untuk mengurus perusahaan menggantikan ayah kamu."

"Lalu?" sahut Mika datar.

"Karena ayah kamu adalah pemilik perusahaan, para petinggi perusahaan sudah sepakat untuk menjadikan Nyonya Yunita untuk menggantikan posisi ayah kamu, untuk sementara sampai kamu cukup mampu untuk mengambil alih!"

"Kenapa dia?"

"Karena dia satu-satunya saudara ayah kamu, dan dia juga mampu untuk memegang kendali perusahaan!"

Mika melirik tajam Yunita yang tengah tersernyum penuh arti ke arahnya.

Tidak, tentu saja ini tidak bisa dibiarkan. Setelah wanita itu menggantikan ayahnya, ia akan melakukan segala macam cara untuk mengambil alih perusahaan yang sudah setengah mati didirikan ayahnya.

"Mika menolak! Dia ini sudah menghianati keluarga kami, dia bukan bagian dari keluarga kami! Konyol jika kalian memilih dia! Om kan lebih mampu dari dia, kenapa enggak Om saja?"

"Karena Om hanya orang luar, Mika," ucap Andriyes dengan begitu lembut.

"Kamu tidak memiliki pilihan lain, sayang! Tenang saja, Tante akan menjaga perusahaan ayah kamu dengan sebaik mungkin!"

Mendengar suara Yunita saja, langsung membuat darah Mika mendidih.

"Om, seandainya Mika punya suami, bisa nggak suami Mika yang gantiin posisi ayah?" tanya Mika tiba-tiba.

Bukan hanya Yunita, namun Andriyes pun cukup terkejut mendengar pertanyaan yang gadis baru masuk universitas itu ajukan.

"Gimana, Om?" desak Mika.

"Tentu bisa, hanya saja, suami kamu harus benar-benar layak dan mampu untuk memimpin perusahaan." jawab Andriyes tanpa ragu.

Mika tersenyum lebar. Setidaknya, masih ada harapan untuk menghentikan niat buruk tantenya itu.

"Mika, kamu pikir, mencari suami yang bisa memimpin perusahaan itu mudah? Kalau kamu hanya asal pilih suami, itu tidak akan berhasil! Para petinggi perusahaan tidak akan membiarkan itu terjadi!" sahut Yunita dengan smirk menyebalkan.

Mika tersenyum miring.

"Kita lihat saja nanti!" seru Mika dengan penuh percaya diri.

"Tapi, Mika ... kita tidak memiliki banyak waktu untuk itu ..." sela Andriyes.

"Om jangan khawatir, pernikahan Mika tidak lama lagi. Om hanya perlu meyakinkan para petinggi, pemegang saham, atau siapa pun itu, untuk sedikit bersabar menunggu suami Mika datang!"

"Kamu jangan sembarangan Mika! Kamu itu masih terlalu muda untuk menikah! Pria mapan mana yang mau menikahi anak bau kencur seperti kamu?!"

"Ya adalah! Tante nggak perlu tahu sekarang! Tante tunggu aja!"

Setelah perdebatan melelahkan antara tante dan keponakannya itu, Andriyes pun memilih untuk menarik pergi Yunita dari tempat itu.

Dan setelah Mika benar-benar sendiri di ruang tamu, ia menunduk lesu.

Belum tentu Arga mau melakukan ini untuknya, mengingat ia juga memiliki perusahaan besar yang harus ia pimpin.

Bagaimana ini?

"Tadi aja pede banget, sekarang jadi ciut! Payah, lo ah!" celetuk Jessi yang baru masuk ke dalam ruang tamu, dan duduk tepat di hadapan Mika.

"Gila nggak tuh?! Gimana kalau Mas Arga nolak?!" tanya Mika dengan tatapan penuh kekhawatiran.

Jessi menggeleng pelan.

"Nggak usah terlalu dipikirin! Untuk sekarang, jalani aja dulu! Ngomong sama Arga, nah kalau dia udah bilang nggak mau, baru deh lo pikirin gimana caranya ngatasin itu nenek sihir!"

Mika mempoutkan bibirnya. Benar apa yang diucapkan Jessi, daripada berpikir keras, lebih baik ia langsung saja mendiskusikan ini dengan Arga.

Terkadang, aksi itu lebih penting daripada beribu perencanaan.

"Tapi heran gue, itu Tante lo nggak tahu malu banget, sumpah! Waktu pemakaman bokap lo aja dia nggak dateng, eh tiba-tiba dia dateng mau ngambil alih posisi bokap lo di perusahaan." gerutu Jessi panjang pendek.

"Ya kamu tahulah! Kami emang nggak pernah menganggap dia sebagai keluarga lagi sejak kejadian penghianatan dulu! Tapi mau gimana lagi, dia emang adeknya ayah, 'kan?!" sahut Mika yang mendadak lemas.

"Udahlah Mi, nggak usah khawatir, gue yakin semua akan berjalan dengan baik, tuh nenek sihir nggak akan dapet apa-apa!"

"Iya, Jes! Aku nggak akan biarin dia bikin ulah lagi! Eh, ngomong-ngomong kok aku laper, ya?"