Kanza dan Fira masih menyantap makan siangnya di restorant. Terakhir Kanza melemparkan pertanyaan pada Fira. Belum sempat gadis itu menjawabnya, tangan Kanza tanpa sengaja menyenggol gelas yang ada di sisinya hingga terjatuh ke lantai.
Kanza syok menatapi pecahan beling yang berserakan di lantai, perlahan firasat tidak baik kembali menyergapnya. Sesuatu kembali membayang di benaknya.
Kanza teringat kejadian tadi pagi saat Gio dan Putri hendak berangkat ke kantor bersama.
Saat berbalik masuk ke dalam kost'an, Kanza langsung berjalan menuju dapur bermaksud mengambil sesuatu di dalam kulkas. Namun pandangannya terhenti pada secarik kertas yang sengaja di tempel di pintu lemari pendingin tersebut. Perlahan tangannya bergerak meraih benda itu dan mulai membacannya.
"Maaf ya kalo selama beberapa hari ini gue diemin lo. Gue enggak maksud gitu. Oiya...Gue enggak tega bangunin lo pagi ini. Gue tadi bikin jus jambu kesukaan kita, gue juga udah sisain buat lo di kulkas, jangan lupa di minum, ya? Siang ini gue mau mampir ke apartement Gio. Dan mungkin gue bakal pulang telat, enggak perlu khawatirin gue, ya? Sekali lagi sorry, gue cuma bisa ngomong lewat surat ini, anggap aja kita udah baikan, yach, peace... Hehe."
Kanza seperti baru menyadari sesuatu, menerka-nerka apakah surat kecil itu sebuah petunjuk. Wajahnya pun berubah semakin khawatir.
"Fir... Sorry, gue kayaknya harus cabut sekarang." Khanza segera beranjak, menyambar tasnya yang sejak tadi di letakkan di kursi sebelah.
Fira menatap bingung. "Loh... Kanz, mau kemana? Buru-buru banget?"
"Sorry, tapi gue beneran harus pergi sekarang, bye..." Teriak Kanza sambil lalu.
***
Tubuh Putri gemetaran, seolah tak bisa menyembunyikan rasa takutnya lebih lama lagi. Meski begitu, ia tidak ingin kehilangan seluruh kesadarannya. Tangannya diam-diam meraih spatula di meja dapur yang ada di belakangnya. Dia berpikir itu mungkin bisa di jadikan senjata. Kemudian menyembunyikan benda tersebut di balik punggungnya. Sedangkan matanya menatap waspada ke arah Gio dan juga sebilah pisau yang ada di salah satu tangan cowok secara bergantian.
Gio tersenyum santai. "Kamu kenapa? Kok tiba-tiba kayak ketakutan gitu?"
Putri menggeleng cepat, wajahnya masih terlihat pucat dan tegang. "Enggak apa-apa kok." Memaksa tersenyum meski ia merasa sedang tidak aman. Ia tidak ingin Gio mencurigainya.
Gio terkekeh. "Kamu takut gara-gara aku pegang pisau ini? Tetangga aku baru aja balikin pisau ini ke aku, yang tiba-tiba pencet bel tadi." Kelasnya seraya mengangkat pisau tersebut ke udara.
Tenggorokan Putri seketika terasa makin kering. Susah payah ia m menelan salivanya untuk mengurangi rasa gugupnya.
"Gio... Gue kayaknya harus buru-buru balik ke kantor, deh." Ucap Putri dengan bibir sedikit gemetar.
Raut wajah Gio seketika berubah dingin. "Kenapa tiba-tiba berubah pikiran. Kata kamu mau sampai malam menghabiskan waktu kamu di sini sama aku." Kini perlahan melangkah mendekat ke arah Putri.
Putri mematung di tempat, seluruh tubuhnya terasa lunglai hingga sulit untuk di gerakkan. "Tadi atasan a-ku... Nel-nel-pone... Katanya tiba-tiba ada meeting mendadak." Ujarnya makin gugup. Sedangkan Gio makin dekat ke arahnya, bahkan kini sudah berdiri tepat di hadapannya.
Dug... Dug... Dug...
Jantung Putri berdentang tak beraturan, rasanya ingin melompat dari tempatnya. Entah apa yang akan di lakukan Gio terhadapnya, ia tidak bisa membayangkannya.
Sekali lagi, Gio mengangkat pisaunya ke hadapan Putri.
***
Kanza baru saja turun dari motor dan membayar ongkos ojeknya. Tukang ojek pun berlalu. kini mata Kanza mendongak ke atas, menatapi bangunan tinggi yang ada di hadapannya. Apartement tempat tinggal Gio.
Tling... Tling... Tling....
Kanza tersentak, ponselnya tiba-tiba berdering. Buru-buru ia meraih benda pipih itu di dalam slingbag-nya.
"Halo..." Sahutnya setelah berhasil menekan tombol hijau di layar, sedangkan matanya masih mengawasi bangunan di hadapannya.
"Hei... Kamu lagi dimana? Kok suaranya kayak gemetaran gitu?" Balas suara di seberang sana. Rega sedang menelpon tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop di hadapannya.
"Aku... Lagi... Di...," Kanza menjeda kalimatnya, merasa ragu untuk mengatakannya.
Rega menghentikan aktivitasnya di depan layar laptop. Kemudian memberi perhatian penuh pada Kanza. "Kamu ngomong aja lagi ada dimana? Apa lagi ada masalah?" Desak Rega khawatir.
"Aku lagi di apartement Gio, dan aku takut terjadi sesuatu sama Putri." Jawab Kanza sedikit panik.
"Oke, jangan khawatir, kamu share lokasinya, biar aku dateng kesana, jangan lakuin apapun dulu, tunggu aku dateng, oke...!" Tegas Rega dengan wajah khawatir. Mematikan ponselnya, dan segera menyambar kunci mobil yang tergeletak tak jauh darinya. Kemudian buru-buru berjalan keluar meninggalkan ruangannya.
Rega baru saja membaca berita kriminal di laptopnya, berita tentang wanita hilang yang beberapa hari ini belum juga di temukan. Karena hal itu ia jadi merasa khawatir pada Kanza.
***
"Oke..." Kanza menarik ponsel dari telinga dan mematikannya.
Detik berikutnya terdengar notifikasi dari ponselnya. kanza menilik layarnya, mengklik notifikasi berita yang di ikutinya.
"Seorang gadis di kabarkan menghilang dan belum ditemukan jejaknya." Eja Kanza perlahan. Lalu menghela nafas berat, firasatnya semakin tidak enak.
"Gio... Gio...! Kamu mau bawa aku kemana?!" Tangan Putri di tarik Gio ke suatu tempat.
Cowok itu memasukkannya ke sebuah ruangan gelap yang hanya di terangi cahaya lampu remang-remang, tepatnya seperti studio percetakan foto secara manual milik pribadi. Banyak foto yang di tempel di dinding.
Nafas Putri makin pendek-pendek merasa ketakutan melihat ke sekeliling. Foto para wanita yang terpajang di dinding itu mungkin adalah korban Gio. Gio adalah seorang foto grafer. Dan tidak di sangka dia juga seorang shycopat.
"Kamu mau a--pa? Emangnya aku salah apa sama kamu?" Bibir Putri makin gemetar. Ia melangkah mundur mencoba menghindari Gio.
Gio menyeringai, "jadi kamu mau tahu salah kamu apa? Kamu udah bikin rencana aku berantakan ngerti!" Sentaknya dengan wajah penuh kemarahan.
Putri menatap Gio bingung. "Maksud kamu apa? Dari awal kita baik-baik aja, kan?" ujarnya dengan nada hati-hati. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang membuat cowok itu jadi marah padanya.
"Baik-baik aja katamu? Kamu udah ngerusak rencana aku buat dapetin Kanza. Dan kamu udah bikin Kanza kesayangan aku sedih, dan siapapun yang melukain Kanza, sedikiiiitttt aja, dia bakalan mati di tangan aku."
Putri menggeleng pelan. "Kamu sakit, Gio. Gila kamu!"
Gio terbahak. Kemudian tersedak oleh air liurnya sendiri. "Memangnya kenapa kalo aku gila." Matanya kini menyorot tajam ke arah Putri.
Putri menurunkan intonasi suaranya kembali. "Gio... Kamu enggak bakal bunuh aku, kan? Kamu bisa di penjara loh gara-gara kasus ini? Jangan nekad Yach... Yach... Anak baik enggak boleh pegang pisau." Bujuk Putri seperti sedang membujuk anak kecil.
"Kamu pikir itu lucu?" Gio terbahak. "Jelaslah aku bunuh kamu."
Ya... Tuhan, tolong lindungi aku, aku harus bisa ngulur waktu sampai ada yang datang buat nyelametin aku, semoga Kanza tadi baca pesan aku dan dia tau aku ada disini dalam bahaya. Rasanya nyesel juga enggak mau dengerin Kanza Dari awal. Batin Putri.
"Eh... Gio, sebelum kamu bunuh aku, boleh enggak aku minta minum dulu gitu. Hehe."
Gio menyeringai. "Oh... Jadi kamu haus?"
"Iya... Boleh ya... ya, aku haus banget l, nih."
Gio tersenyum, namun sesaat kemudian menyeringai. "Kamu pikir aku bego apa, HAH?!! Kamu pikir aku enggak tahu kamu cuma mau ngulur waktu!"
Putri tersentak kaget.
Anjir, ternyata si sycho ini pinter juga ternyata. Putri benar-benar tak habis pikir.
Mobil Rega terhenti tepat di sisi Kanza, ia segera turun dari mobil dan menghampiri gadis itu. "Hai, kamu enggak kenapa-kenapa kan?" Wajahnya terlihat khawatir. Kanza mengeleng lemah. Kemudian menatap ke atas bangunan di hadapannya. Rega turut melakukan hal yang sama.
"Tenang, tadi aku sempet hubungin polisi buat jaga-jaga, mereka bentar lagi juga nyampe, kok."
Kanza menghela nafas lega. "Aku takut banget bakalan terjadi sesuatu sama Putri." Ucapnya gemetaran.
Rega menarik Kanza dalam pelukannya. "Kamu yang tenang, ya? Putri pasti baik-baik aja."
Semoga saja, batin Kanza penuh harap.
Bersambung