6 Ambisi Ryan

Ryan Prawira, pria tampan, keren dan gagah, usianya sekitar 34 tahun. Sore ini, ia akan menemui rekan bisnisnya di PT. Citra Buana Garment, Arya Erlangga.

Seperti biasa, jika mereka bertemu, tentu Arya akan membicarakan bisnis mereka serta hal-hal lain tentang pekerjaan. Ryan sangat rapi dan wangi, ia mengenakan kemeja lengan panjang hijau tua dan celana panjang hitam.

Penampilan Ryan tampak berbeda pagi itu, wajahnya tampak lebih cerah dan segar. Dia melihat dirinya di cermin, menggumamkan sesuatu.

"Arya, Arya, kamu adalah pria terbodoh di dunia. Sekarang Diana adalah milikku, aku akan mengambil perusahaanmu cepat atau lambat." Ryan tersenyum licik.

Ryan sangat berambisi untuk mengambil semua harta milik Arya, selain memiliki banyak pacar, dia juga serakah dan kejam.

Balas dendam terhadap Arya berlangsung perlahan tapi pasti. Ryan akan melakukan apa saja untuk ayahnya yang telah dibuat miskin oleh ayah Arya.

Selain dendam dan amarah, Ryan sebenarnya juga tertarik dengan kecantikan wajah dan kesempurnaan fisik Diana. Dia ingin menggunakan Diana sebagai senjata untuk menjatuhkan mitra bisnisnya.

Sayang sekali Diana akhirnya berhasil masuk ke dalam jebakan Ryan.

Tepat pukul 9 pagi, Andre dan Martha tiba di RS. Dana Mulia dengan membawa kue brownies kesukaan putri bungsu mereka.

Martha mempercepat langkahnya menuju kamar VIP 1 yang terletak di lantai 3 rumah sakit, ia sudah tidak sabar ingin menemui Diana.

"Ayo Pa, cepat sedikit jalannya."

"Iya, Ma."

Andre berusaha mengimbangi langkah kaki Martha yang sedikit berlari ke arah lift sambil membawa koper berwarna merah milik Diana.

"Ma! Tunggu ...." Napas Andre tersengal-sengal.

Tiba di depan lift Martha segera menekan tombol yang berada di samping kanan lift, ia sangat tidak sabar pagi itu.

Memang selama ini Diana merupakan anak kesayangan Martha sehingga dia menjadi manja dan tidak pernah bersikap dewasa.

Beberapa saat kemudian pintu lift terbuka lalu Martha bergegas masuk ke dalam lift disusul oleh suaminya yang masih tersengal-sengal.

"Martha ... tolong pegang kopernya dulu." Andre memberikan koper Diana pada Martha.

"Kenapa Papa jalannya pelan sekali? Arya dan Diana sudah menunggu dari tadi, aku merasa tidak enak karena sudah merepotkan Arya." Martha menekan tombol angka 3 di lift lalu mengambil koper dari tangan Andre.

"Aku sudah berusaha mengimbangimu, kamu saja yang terlalu cepat," keluh Andre.

"Ya ampun ... Mama sampai lupa membelikan kue untuk Arya, kasihan dia menunggui Diana semalaman."

"Sudah seharusnya Arya menemani putri kita di rumah sakit, sebentar lagi mereka akan menjadi suami istri. Kamu tidak perlu merasa kasihan atau tidak enak kepada calon menantu kita," tukas Andre.

Ting ... lift itu tiba di lantai 3 lalu perlahan-lahan pintunya terbuka.

"Sudah sampai, Pa." Martha berjalan mendahului suaminya.

"Mama, Mama, lagi-lagi Papa ditinggal," gerutu Andre.

Martha seolah-olah tidak mau menanggapi ucapan Andre tadi, terlebih lagi perkataannya tentang Arya yang sedikit menyinggung perasaan Martha.

Ia sedang tidak ingin berdebat dengan Andre, karena di antara mereka selalu saja ada perbedaan pendapat terhadap kekasih Diana.

Untungnya semalam Arya sudah memberitahukan kepada Martha jika Diana dirawat di ruang VIP 1 kamar nomor 3, sehingga Martha tidak kesulitan ketika mencari kamar tersebut.

Dulu waktu Fiona melahirkan anak pertamanya, ia juga menginap di RS. Dana Mulia begitu pula dengan Wina istri Kelvin, mereka berdua sama-sama melahirkan di rumah sakit itu.

******

Di dalam kamar VIP 1, Diana membaringkan dirinya di tempat tidur pasien sambil sesekali berkelakar dengan Arya. .

Hati Diana memang merindukan Ryan, namun pikirannya terbagi dua kepada Arya juga Ryan. Diana tidak peduli walau ia sendiri mengerti bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah pengkhianatan terhadap tunangannya.

"Arya ... sini duduk di sebelah saya," pinta Diana lembut.

"Baiklah, Sayang." Arya tersenyum simpul pada Diana, lalu ia duduk di sampingnya.

"Hmm ... hari ini kamu beda banget dari biasanya. Kamu lembut, manis, juga perhatian sama saya," ucap Diana manja.

"Saya memang manis dan perhatian sama kamu, kok," balas Arya.

"Enggak ah, biasanya kamu kasar dan cuek sama saya. Apalagi kalau kamu sedang marah, kamu berubah menjadi orang lain yang enggak saya kenal," imbuh Diana, ia mengerucutkan bibirnya.

"Masa, sih? Apa kalau saya lagi marah, tampang saya menyeramkan begitu?" tanya Arya mengernyit.

"Menyeramkan banget, hiiyy. Waktu itu kamu kan marah-marah di depan semua orang karena saya menyuruh salah satu staf kamu untuk memarkirkan mobil saya di basement. Kamu tahu gak wajahmu kayak gimana kalau sedang marah?"

"Ya jelas enggak tahulah," jawab Arya.

Saat mereka tengah bercakap-cakap di ruang tersebut, seseorang mencoba membuka pintu kamar itu.

Ceklek ... pintu terbuka lebar, Martha pun melangkah masuk ke dalam disusul Andre dari belakang.

"Arya, Diana," panggil Martha lembut.

"Mama?" Diana memandang ke arah mamanya.

"Selamat Pagi, Om, Tante," ucap Arya sopan dan ramah.

"Pagi Arya," balas orangtua Diana bersamaan.

Kemudian Andre menutup pintu kamar, sementara Martha menghampiri mereka yang sedang duduk di tempat tidur pasien sambil membawa koper dan kue brownies kesukaan Diana.

"Di, ini mama bawakan kue brownies dan baju-baju untuk kamu." Martha menaruh bungkusan berisi sekotak kue di meja kecil yang terletak di samping tempat tidur pasien, lalu menyimpan koper Diana di lantai.

"Thank you buat kuenya, Ma." Diana senang sekali dibawakan brownies coklat kacang yang menjadi makanan favoritnya.

"Sama-sama, Nak." Martha mengelus-elus kepala putrinya setelah meletakkan koper berwarna merah muda di lantai.

"Kamu sudah sarapan, Di?" tanya Andre.

"Sudah, Pa."

"Kamu makan yang banyak, minum obat, istirahat yang cukup biar cepat sembuh, ya," imbuh Martha .

"Iya, saya akan makan yang banyak dan minum obat supaya cepat sembuh," sahut Diana.

"Ngomong-ngomong, kapan kalian akan menikah??" Andre menatap bergantian pada putrinya dan juga pada calon menantunya.

"Mungkin sekitar dua atau tiga bulan lagi, Om," jawab Arya mantap, ia begitu bersemangat ingin menikah dengan wanita cantik nan sempurna di matanya.

Arya dan Diana pun saling berpandangan, lantas pria tampan itu menyunggingkan senyum termanisnya kepada Diana.

"Maaf, Pa, Ma, sepertinya saya belum siap menikah dengan Arya," imbuh Diana sambil menatap tunangannya.

"Lho?? Kenapa kamu belum siap, Di??" Martha mengerutkan dahinya, sedangkan Andre dan Arya tertegun setelah mendengar ucapan Diana tadi.

"Saya belum siap menikah karena ... karena ..."

"Karena apa??" Martha dan lainnya tidak sabar menunggu Diana melanjutkan perkataannya.

"Karena saya takut kalau nanti sikap Arya akan berubah setelah kami menjadi suami istri." Diana mencari alasan agar ia dapat menghindar dari pernikahan yang tidak diinginkannya.

"Kenapa kamu berkata begitu?? Bukankah kemarin malam kamu bilang ingin menikah dengan saya??" tanya Arya bingung.

"Sudah, sudah. Papa dan Mama tidak mau tahu, dan tidak mau mendengar alasan apapun dari kamu," tukas Andre pada putrinya.

"Arya, persiapkan pernikahan kalian dari sekarang. Jangan ditunda-tunda lagi, karena waktu itu kalian su--"

"Saya tahu, Pa. Tolong jangan diungkit-ungkit lagi." Diana memohon, ia tidak ingin Andre mengungkit perbuatannya bersama Arya di masa lalu.

"Maafkan saya, Om, Tante. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi." Arya menimpali.

"Om pegang janji kamu." Andre menatap tajam pada Arya.

Arya mengangguk perlahan, lalu ia menoleh ke arah Diana.

"Jangan khawatir, Di. Saya tidak akan pernah berubah setelah kita resmi menjadi suami istri nanti." Arya meyakinkan Diana.

*****

avataravatar
Next chapter