webnovel

8. Kesepakatan

“Gawat!” desah Max sembari memindahkan tubuh yang terkulai lemas itu ke atas ranjang.

“Bibi! Bibi ...!”

Sementara tangannya mencari kontak dokter, matanya sesekali memeriksa ke arah pintu. Begitu si kepala pelayan muncul, Max langsung memberi instruksi.

“Tolong carikan pakaian untuk gadis ini, Bi. Ah ya ... dan bawakan sebaskom air hangat dan handuk kecil.”

“Apakah Tuan mau saya membersihkan Nona ini?”

Max menggeleng cepat. Ia takut bukti kebrutalannya semalam terlihat oleh si pelayan.

“Tidak. Biar aku saja.”

Kedipan mata wanita paruh baya itu berubah kaku. “Tuan yakin?”

“Ya.” Max mengangguk sambil mempertahankan ekspresi. Si pelayan sampai terheran-heran mendengar jawabannya. “Baskom dan handuknya, Bi.”

“Ah, ya. Tunggu sebentar, Tuan.”

Begitu mendapatkan barang-barang yang diminta, Max segera menutup pintu dan menyeka wajah Gabriella. Ia tidak sempat memikirkan rasa enggan atau keterpaksaan. Otaknya terlalu sibuk menyingkirkan rasa bersalah.

“Cih, wanita ini .... Kenapa dia begitu egois? Dia sedang berusaha menjatuhkanku, tapi sekarang malah meminta perhatian dariku? Naif.”

Handuk di tangan Max terus mengusap leher yang diwarnai dengan sedikit lebam. Ketika tiba gilirannya menyeka bagian dada, sang CEO mengernyit.

“Kenapa aku bisa lepas kendali seperti tadi malam?” gumamnya seraya memperhatikan banyaknya tanda yang ia tinggalkan. Dirinya yang di bawah pengaruh obat pasti sangat girang menikmati Gabriella.

“Ck, itu tidak boleh terulang,” batinnya memperingatkan diri sendiri.

Usai menyeka tangan sang gadis, Max beralih ke area bawah. Begitu hendak menyingkirkan gaun yang menumpuk di atas perut Gabriella, sang CEO mendadak bergeming. Seluruh perhatiannya tersita oleh noda merah pada sobekan gaun kuning itu.

“A-apa ini?” Max mengangkat kain dan mendekatkan noda itu pada matanya. “D-darah?”

Pupil mata sang CEO mulai bergetar. Ia ingat bahwa gaun itu memang mengalasi ranjang saat dirinya pertama kali menembus sang gadis.

Setelah menelan ludah dan menghela napas singkat, ia melirik ke arah wajah pucat Gabriella.

“Ternyata, kau memang masih perawan sebelum aku menidurimu?”

Max termenung sesaat. Perasaannya mulai dihantui oleh penyesalan.

“Apakah aku sudah terlalu keras kepadanya? Bagaimana kalau ternyata gadis ini memang polos? Bagaimana kalau dia bukanlah perempuan bayaran seperti yang kuduga?”

Tiba-tiba, ponsel di sakunya berdenting. Lamunan Max pun buyar berganti dengan fokus pada pesan yang masuk.

“Max Evans, CEO sukses yang selalu berada di puncak akhirnya jatuh karena seorang gadis. Jadi, bagaimana rasa perempuan itu, Tuan? Apakah nikmat? Semoga kepuasan itu mampu menghibur Anda selama masa-masa kelam ini.”

Napas Max seketika menderu. Tangannya terkepal erat tanpa peduli dengan ponsel dalam genggaman. Sorot mata yang sempat mengendur kini sudah kembali tegang. Tatapan sang CEO kepada Gabriella tidak lagi menyiratkan iba.

“Apa yang baru saja kupikirkan? Aku tidak boleh melunak. Gadis seperti ini bisa berbahaya jika diberi hati.”

Tak lama setelah Max memakaikan Gabriella baju, seorang dokter akhirnya tiba.

“Siapa perempuan ini, Tuan?” tanya pria tua berkacamata tersebut setelah selesai memasang jarum infus.

“Saya menemukannya tak sadarkan diri di jalan,” bohong sang CEO tak ingin menguak kebejatannya. “Ada apa, Dok?”

“Perempuan ini dehidrasi. Mungkin, ada orang jahat yang mencekokinya dengan miras lalu tidak memberinya makan ataupun minum selama beberapa waktu.”

Pelupuk Max berkedip kaku. Setelah menggaruk ujung hidung, ia memiringkan kepala dan menampakkan raut lugu.

“Lalu, bagaimana keadaan perempuan ini sekarang?”

“Anda tidak perlu khawatir, Tuan. Perempuan ini akan segera siuman setelah tubuhnya menyerap cairan infus.”

Max mengangguk-angguk sebelum menyunggingkan senyum kecil. “Terima kasih, Dok.”

“Saya senang dapat membantu Anda, Tuan. Sekarang, menurut Tuan, apakah kita perlu melaporkan hal ini kepada polisi? Dia sepertinya telah mengalami pelecehan.”

Alis Max spontan berubah kaku. Dengan kedipan tegang, pria itu menatap sang dokter penuh tanya. “Pelecehan?”

“Ya, coba Tuan perhatikan. Terdapat tanda mencurigakan di leher dan juga lebam di pergelangan tangan perempuan ini.”

Sang dokter mengangkat tangan Gabriella yang terhubung dengan selang. Di sekeliling titik nadi memang terdapat memar.

“Seseorang telah menekan tangannya dalam waktu yang cukup lama,” jelas pria tua dengan tampang polos itu. Ia sama sekali tidak sadar bahwa ekspresi sang CEO telah menegang.

“B-benarkah? Kalau begitu, nanti akan saya pastikan jika wanita ini sudah sadar.”

Sang dokter mengangguk setuju. Sambil menatap Gabriella dengan alis terkulai, ia berkata, “Malang sekali gadis ini.”

“Malang?” batin pria yang hampir saja mendengus. Semakin besar rasa bersalah yang berusaha ia pungkiri, semakin besar pula kekesalannya pada gadis itu.

Setelah sang dokter meninggalkan ruangan, Max terus mengamati gadis yang berbaring di hadapannya. Sesekali, sudut bibir sang CEO terangkat sebal.

“Gadis ini ... wajahnya saja yang polos. Padahal, kelakuannya tidak. Jika memang dia perempuan baik-baik, mana mungkin dia mau masuk ke kamar pria yang tidak dikenal?”

Semakin lama menatap Gabriella, semakin geram hati sang pria.

“Ck, sandiwara gadis ini harus dihentikan. Dia tidak boleh membuatku terus disalahkan.”

Ketika malam datang, pelupuk Gabriella akhirnya terangkat. Setelah meringis dan memeriksa apa yang terasa sakit di tangannya, gadis itu menoleh memeriksa keadaan sekitar.

Hal pertama yang ia temukan adalah seorang pria yang duduk dengan tangan terlipat di depan dada.

“Ah, akhirnya kau sadar. Aku sudah menunggumu sejak tadi,” sambut Max dengan lengkung bibir misterius.

Tanpa menunggu perintah, Gabriella berusaha mengangkat badan yang terasa sangat berat. Setelah berhasil duduk, ia pun memandang Max dengan tampang pucat dan tak bersemangat.

“Kenapa kau menolongku? Kenapa tidak kau biarkan saja aku mati?” tanya Gabriella dengan suara serak dan mencekik. Hati Max tanpa sadar bergetar karena kesan sedihnya. Akan tetapi, pria itu masih mempertahankan tampang dingin dan tak acuh.

“Sudah kubilang, aku ini bukan orang jahat. Aku tidak mungkin membiarkan seseorang mati di dalam kamarku. Dan, karena aku ini pria yang baik hati, aku ingin menawarkanmu sebuah kesepakatan.”

"Baik? Kalau kau memang pria baik, kau tidak akan membicarakan tentang kesepakatan sekarang. Aku ini baru saja bangun dari tidur panjang."

Tiba-tiba, terdengar bunyi pintu diketuk. “Makan malam, Tuan,” seru seorang wanita dari luar.

“Masuklah!”

Seorang pelayan yang masih muda masuk sambil membawa sebuah meja kecil lengkap dengan piring-piring makanan, sementara rekannya yang tampak lebih tua membawa baki berisi teko dan gelas.

“Letakkan di kasur!” perintah Max sambil menunjuk ke arah Gabriella.

Sang gadis sontak terheran-heran menyaksikan pelayan menempatkan meja kecil di depannya.

“Apa ini? Kau mau meracuniku?”

Helaan napas keluar tanpa ragu dari mulut sang CEO. Setelah mengucapkan terima kasih dan mengizinkan pelayannya pergi, Max beranjak dari kursi dan duduk di tepi ranjang, di sisi kanan sang gadis.

“Apa maumu?” gumam Gabriella sambil bergeser menjauh. Getar bola mata dan kepalan tangannya menyiratkan kewaspadaan.

“Aku mau memastikan kau makan dengan benar. Jangan sampai kau pingsan lagi. Aku tidak mau direpotkan.”

Max menusuk sepotong melon dan membawanya ke depan mulut sang gadis. Alih-alih menyambut, Gabriella malah menepis suapan itu.

“Aku tidak mau. Kau pasti telah memasukkan sesuatu ke dalam makanan ini.”

Max berdecak kesal.

“Memasukkan apa? Obat tidur? Untuk apa? Bukankah kau sudah tidur selama berjam-jam? Atau racun? Jika memang benar ini mengandung racun, lalu kenapa kau ragu? Bukankah kau sudah dua kali memintaku untuk membunuhmu?”

Gabriella terdiam sesaat. Usai bergetar selama dua detik, bibirnya kembali mengucap kata. “Apa yang kau inginkan dariku? Kau baik pasti karena ingin meminta sesuatu.”

Senyum Max otomatis terlukis sempurna.

“Tepat sekali. Ternyata, kau ini memang cerdas.”

Pria itu meletakkan potongan melon kembali ke piring, lalu mengambil sebuah map dari meja samping.

“Aku ingin kau menandatangani kontrak jual beli lahan ini. Dengan begitu, kau tidak perlu mempermasalahkan hancurnya rumahmu lagi. Kau akan menerima kompensasi sebesar lima kali lipat dan bebas dari sini.”

Gabriella menerima map itu dan langsung melemparnya hingga kertas-kertas berserakan. Menyaksikan respon yang tak terduga itu, sang CEO hanya mampu ternganga.

“Kau pikir, segala sesuatu di dunia ini bisa diganti dengan uang?”

Air mata mulai terbentuk di tepi pelupuk sang gadis. Pundaknya naik turun dengan cepat mengimbangi kerja paru-paru yang meningkat drastis.

“Lalu, apa yang kau mau? Hah?”

“Akui kesalahanmu dan minta maaf kepadaku!”

Max mendongak melepas udara yang terasa berat dalam dadanya.

“Kesalahan?” Ia benar-benar muak dengan kata-kata itu. “Sudah kubilang, aku tidak bersalah. Bukan aku yang merobohkan rumahmu.”

“Ya, memang bukan kau, tapi anak buahmu. Mereka yang meruntuhkan tempat tinggalku atas perintahmu.” Gabriella berusaha bicara tegas meski suaranya semakin hilang.

“Itu tidak benar! Seseorang telah meretas emailku dan mengirimkan perintah yang salah.”

Sang gadis menggeleng sambil mendesah. “Kalau begitu, jangan harap aku mau menyetujui permintaanmu.”

Mata Max terpejam menahan marah. Gadis di hadapannya benar-benar keras kepala.

“Oke, berarti kau sepakat untuk terus mendekam di kamar ini. Selama kau tidak menyetujui kontrak dariku, kau tidak akan bisa menjejakkan kaki keluar dari rumah ini, termasuk di panggung kompetisi minggu depan.”

Raut kukuh sang gadis mendadak luntur. Kata kompetisi telah mengetuk pikiran, menyapa impian untuk bangkit dari bawah puing-puing rumah kecilnya.

Sebutir air mata pun mengalir tanpa aba-aba. Begitu sadar, Gabriella langsung tertunduk dan menyekanya.

“Aku sudah tidak punya harapan untuk menang,” gumamnya pelan.

Mendengar keputusasaan sang gadis, sudut bibir Max melengkung naik. Ini adalah kesempatan yang tepat untuk mendobrak pertahanan Gabriella. Setelah berdeham kecil, ia beranjak dan mulai memungut kertas-kertas di lantai.

“Sayang sekali kau menolak perjanjian jual beli ini. Seandainya kau sepakat, kau bisa mendapat tempat tinggal dan juga piano baru. Kau bisa kembali berlatih dan mengikuti kompetisi,” tutur Max melempar pancing. Diam-diam ia melirik ke arah sang gadis, memeriksa apakah ada perubahan ekspresi pada wajah yang tertunduk itu.

“Biar kutanya sekali lagi. Apakah kamu benar menolak kontrak ini dan segala keuntungan yang ditawarkan?”

Max mengangkat sebelah alis sambil menggerakkan kepala.

“Coba kau pertimbangkan mana yang lebih bijak. Menyetujui kontrak dan kembali mengejar impian ... atau mengurung diri di sini bersama kenangan buruk tanpa menghasilkan apa-apa?”

Gabriella menelan ludah. Kedipan matanya menyiratkan keraguan.

“Apakah ibumu akan bangga jika melihat anaknya menyerah?” bisik Max sukses memperdalam kerut alis sang gadis.

Setelah memejamkan mata dan menghela napas, Gabriella menegakkan kepala dan membalas tatapan Max dengan matanya yang basah dan merah.

“Aku hanya perlu menandatangani kontrak itu?”

“Ya,” angguk sang CEO dengan tampang datar. Ia tidak ingin semangat yang menggebu-gebu dalam dadanya menciutkan nyali sang gadis.

“Kalau begitu, baiklah ... aku sepakat.”

Senyum Max langsung mengembang puas. Namun, sedetik kemudian, lengkung bibirnya berusaha didatarkan. Ia belum boleh senang.

“Ini ... tanda tangani di sini.” Sang CEO menunjukkan area kosong di samping meterai pada kertas putih itu dengan ujung pena.

Gabriella pun mengambil pena dengan jari yang gemetar. Begitu ia menekan kertas hendak menggoreskan tinta, pena itu tiba-tiba terlepas dari tangannya. Mata sayu sang gadis spontan terbuka lebar tanpa kedipan. Ia belum pernah melihat tangannya bergetar begitu hebat.

“T-tanganku?”