32 Membayar Dosa

Kirana meringis menahan sakit. Akibat menahan pukulan ayah Leon, tangannya memar. Meski sudah dikompres air es oleh Vero semalam, memar di tangan Kirana tidak kunjung mereda.

Dirinya sampai sengaja memakai pakaian berlengan panjang supaya tidak ditanya kenapa tangannya memar oleh semua perawat. Jangan sampai manajer rumah sakit bahkan teman-teman sesama dokter tahu tentang memar ini, batin Kirana.

Meskipun tangannya memar, pekerjaan Kirana berjalan dengan lancar hari ini. Dia bisa menyuntik pasien, menjahit luka bahkan memapah seorang pasien yang pingsan.

Dalam pikirannya, Kirana lebih khawatir dengan nasib Leon beserta ibunya. Bagaimana kalau ayah Leon muncul lagi dan menyakiti keduanya? Bagaimana kalau ayah Leon berhasil mendapatkan sertifikat rumah lalu menggadaikannya lagi ke rentenir?

Membayangkan semua itu membuat Kirana merinding. Dia tidak habis pikir bagaimana ibu Leon yang baik dan pejuang menikahi pria busuk seperti itu?

Tok tok. Ada yang mengetuk pintu ruang kerja Kirana di UGD.

Seorang perawat masuk. "Dokter Kirana."

"Ya? Ada apa, Sus?" tanya Kirana.

"Itu ada yang menunggu Dokter Kirana di kafetaria," kata perawat itu lalu pergi.

Alis Kirana berkerut. Siapa yang menunggunya di kafetaria?

Mau tidak mau Kirana pergi ke kafetaria untuk bertemu orang misterius yang sedang menunggunya.

Kirana menoleh ke kanan ke kiri. Tidak ada orang asing yang duduk menunggunya. Kafetaria malah penuh diisi perawat yang sedang makan siang.

Waktu hendak berbalik, Kirana menabrak sesuatu. Ia mendongak. Seorang pria tinggi mengenakan kemeja coklat sedang berdiri tersenyum di depannya.

"Bastian?" Kirana mengusap kepalanya yang membentur dada Bastian.

"Kejutan," senyum Bastian mengembang.

Kirana kaget sekaligus senang Bastian ada di rumah sakit.

"Tumben kamu ke sini? Ada apa?"

"Aku pengen makan siang bareng kamu," Bastian menarik lengan Kirana. Ia ingin menuntun Kirana ke sebuah meja di dekat jendela.

"Auww," Kirana meringis kesakitan.

Bastian kaget. "Ada apa?"

Rupanya Bastian tanpa sengaja menyentuh tangan Kirana yang memar.

Buru-buru Kirana menggeleng. "Gak apa-apa kok."

Bastian tidak begitu saja percaya dengan Kirana. Dia sudah tahu kalau Kirana ini tipe orang yang lebih suka menanggung masalahnya sendiri daripada repot-repot menyusahkan orang lain.

Bastian menyikap lengan baju Kirana. Matanya kaget melihat memar merah kebiruan seukuran bola baseball ada di tangan Kirana yang mungil.

"Apa yang terjadi?" Bastian cemas.

"Tidak. Bukan apa-apa kok. Aku hanya terpeleset," Kirana buru-buru menarik tangannya.

"Kirana, katakan yang sejujurnya," nada suara Bastian berubah dingin.

Dia yakin kalau memar itu bukan karena terpeleset. Apakah ada yang memukul Kirana?

Kirana hanya bisa menggigit bibir. Dia tidak mau berkata sejujurnya pada Bastian. Dia tidak ingin Bastian menolongnya lagi.

"Aku gak apa-apa, Bas. Sungguh. Ini hanya memar kecil. Lagipula aku gak pengen merepotkanmu," kata Kirana pada akhirnya.

"Kenapa kamu berpikir itu merepotkanku? Aku tidak merasa direpotkan," Bastian mengingatkan Kirana.

"Baiklah," Kirana menyerah.

Dia mulai menceritakan soal kunjungannya dan Vero ke rumah Leon dan bagaimana perilaku ayah Leon yang main tangan. Terakhir Kirana menceritakan kalau dia mendapat memar karena berusaha melindungi ibu Leon dari pukulan ayah Leon.

Seperti yang sudah diduga, Bastian meradang. Tangannya terkepal. Dia benar-benar emosi mendengar ada orang yang menyakiti Kirana.

"Kamu tunggu di sini. Nanti pulang kerja, Adi yang bakal menjemputmu," kata Bastian hendak berbalik pergi.

"Tunggu," sebelum Bastian berbalik, Kirana menggenggam tangan pria itu.

"Kamu mau kemana? Plis, aku cerita ke kamu bukan karena ingin ditolong, Bas," Kirana mencium firasat buruk melihat mata Bastian yang dipenuhi amarah.

"Aku gak sedang menolong, Kirana. Aku mau melakukan pembalasan," kata Bastian dingin.

"Tidak, tidak. Kamu gak boleh membalas ayah Leon. Nanti kalau dia terluka bagaimana? Leon bisa jadi anak yatim," Kirana takut. Dia takut Bastian akan membalas ayah Leon membabi buta.

Gadis itu bahkan membayangkan Bastian memukuli ayah Leon sampai mati. Pasti mengerikan kalau sampai terjadi, batinnya.

"Tenang aja. Aku gak akan berbuat sejauh itu. Tapi pria bajingan itu harus membayar dosa-dosanya," sahut Bastian. Lalu Bastian pergi.

Semenatara itu, Kirana hanya terpaku menatap kepergian Bastian. Dirinya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Bastian sudah bertekad membalas ayah Leon.

….

Bastian masuk ke dalam mobil. Adi sudah duduk menunggunya di kursi depan mobil.

"Lho, Tuan kok cepat amat makan siang sama Dokter Kirana?" tanya Adi penasaran.

Rasa penasaran Adi wajar mengingat dua jam lalu, Bastian minta agar rapat bulanan perusahaan dipercepat. Bastian bilang pada Adi dirinya tidak ingin terlambat ke rumah sakit untuk makan siang dengan Dokter Kirana.

"Di, kamu suruh orang cari ayah Leon," kata Bastian tanpa mempedulikan pertanyaan Adi.

"Ayah Leon? Maksudnya?"

"Itu lho Leon yang ibunya hampir lompat bunuh diri dari atap rumah sakit," Bastian mulai kesal dengan asistennya.

"Oke, Tuan. Tapi untuk apa kita mencari ayah Leon?"

"Untuk membalas semua dosa yang sudah dia lakukan!"

Glek! Adi mendapat firasat buruk

….

Bastian berjalan bersama Adi masuk ke sebuah gudang di daerah Tanjung Priok. Tepat 24 jam setelah Kirana menceritakan mengapa tangannya memar, orang suruhan Bastian berhasil menangkap ayah Leon.

Api di dada Bastian membara. Dia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri seperti apa wajah orang yang telah menyakiti Kirana.

Kalau kemarin Kirana tidak mencegahnya untuk tidak membalas ayah Leon membabi buta mungkin Bastian sudah memukulinya sampai mati.

Di dalam gudang seorang pria berumur 40an sedang terikat dengan mata ditutup kain dan mulut diplester. Tak hanya itu, beberapa bodyguard Bastian sudah berdiri di sekeliling pria itu.

Bastian memberi instruksi salah satu bodguardnya untuk membuka penutup mata dan plester mulut ayah Leon.

"Siapa kalian?!!! Apa yang kalian mau?!!!" teriak ayah Leon.

Bastian hanya berdiri. Ia mengambil kursi dan duduk di depan ayah Leon.

"Siapa kamu?!!!" teriak ayah Leon pada Bastian.

Bastian tidak menjawab. Ia sibuk mengamati wajah ayah Leon yang memuakkan.

"Oh seperti ini rupa orang yang sudah menyakiti Kirana," kata Bastian dengan tenang.

Ayah Leon bingung. "Apa maksudmu? Kenapa kalian menculikku, hah?!"

"Saya akan jelaskan," jawab Adi. "Tuan ini adalah cucu konglomerat Dewandra, Bastian Dewandra. Kemarin Anda ke rumah ibu Leon lalu memaksanya untuk menyerahkan sertifikat rumah. Anda hampir memukul ibu Leon kalau Dokter Kirana tidak menghalangi pukulan itu. Akibatnya tangan Dokter Kirana terluka sekarang. Dan semua itu ulah, Anda."

"Oh maksudnya si wanita sok ikut campur urusan orang itu?!" cibir ayah Leon.

"Tutup mulutmu!" bentak Bastian.

Dirinya emosi ketika mendengar nama Kirana dihina.

"Saya gak peduli kalau Anda itu pemabuk, tukang judi bahkan hobi berselingkuh. Tapi saya akan sangat marah kalau ada yang menyakiti Kirana!" kata Bastian tajam sambil mencengkram kerah baju ayah Leon.

Barulah ayah Leon paham maksud dari penculikan ini. Ternyata dia sudah memukul wanita milik cucu konglomerat Dewandra.

avataravatar
Next chapter