26 Jangan

Yudhistira dan Mita sedang berdiri bingung menatap semua perawat dan tim keamanan mondar-mandir bahkan berlari di dalam rumah sakit. Seolah mereka sedang mencari sesuatu yang hilang.

"Sus, sus," Yudhistira memanggil salah satu perawat yang lewat. "Kenapa semua orang kelihatannya panik?"

"Ada pasien yang kabur, Dok," jawab perawat itu.

"Hah? Siapa?" Mita ikut bertanya.

"Itu pasien percobaan bunuh diri kemarin. Dia hilang, Dok," kata perawat itu lalu pergi melanjutkan pencariannya.

"Astaga," Yudhistira sadar akan sesuatu. "Pantas tadi Kirana panik banget. Kayaknya si pasien itu mau coba bunuh diri lagi deh."

"Ngawur kamu. Jangan bercanda deh"

Yudhistira kesal. "Mana mungkin aku bercanda di saat seperti ini?"

Akhirnya Yudhistira dan Mita ikut membantu mencari keberadaan ibu Leon. Mereka jadi ikut cemas dengan keadaan ibu Leon.

….

Jantung Kirana berdegub kencang. Ia berlari kesana kemari. Memeriksa tempat-tempat tersembunyi seperti gudang, tempat penyimpanan alat-alat kebersihan bahkan ruang bawah tanah rumah sakit. Tapi keberadaan ibu Leon masih tidak ada.

Kirana sadar memiliki masalah hidup yang berat dapat membuat orang depresi dan ingin mengakhiri hidup. Tapi bagi Kirana nyawa manusia itu berharga.

Tidak peduli manusia tersebut lahir dari keluarga kaya ataupun miskin, punya fisik lengkap ataupun difabel, dan hidup bahagia ataupun hidup dengan banyak masalah. Semuanya sama-sama berharga.

Itulah sebabnya Kirana ingin menjadi dokter yang mampu menyelamatkan nyawa-nyawa berharga itu. Semua nyawa pasiennya sangat penting bagi gadis itu. Dia akan memperjuangkan nyawa pasiennya sampai titik penghabisan.

"Dokter," seorang perawat berlari kecil ke arah Kirana.

"Iya, Sus?" napas Kirana terengah-engah.

"Leon menghilang, Dok."

Ya Tuhan!

Kirana tidak tahu harus berkata apa lagi. Ibu Leon menghilang dan membuat semua orang panik. Sekarang Leon juga ikutan menghilang! Ini adalah hari paling sial, batinnya kesal.

Kirana diam sejenak. Ia harus fokus mencari ibu Leon karena kondisi jiwa wanita itu sangat mengkhawatirkan. Kalau orang ingin bunuh diri tapi tidak menemukan benda tajam untuk melukai diri, apa yang akan dia lakukan?

Otak Kirana berproses. Ia membayangkan kalau dirinya yang memilih bunuh diri. Aha! Lompat dari tempat tinggi. Ya, Kirana harus segera mengecek lantai 5 rumah sakit. Lantai itu sepi dan biasanya digunakan untuk terapi pasien lansia. Ditambah di lantai 5 ada atap terbuka (rooftop).

Kirana berlari ke lantai 5 mengajak beberapa perawat dan Yudhistira. Ia butuh pasukan untuk membantunya membawa ibu Leon.

Seperti yang telah di duga Kirana, ibu Leon ada di lantai 5. Kini ibu Leon tengah di tepi atap gedung rumah sakit, tepatnya di lantai 5. Matanya nanar memandangi tanah. Tak jauh dari tempatnya berdiri, Leon terduduk lemah sambil menangis kencang.

Sontak Yudhistira langsung menghampiri Leon dan menggendong bocah itu. Leon sangat terguncang.

"Ibu," Kirana memanggil ibunya Leon.

Kirana tersenggal-senggal. Ia lelah setelah berlari naik tangga dengan membabi buta.

Ibu Leon menatap Kirana dengan mata berlinang air mata. Mata yang sama yang pernah ia lihat dari ibunya yang tercinta 10 tahun lalu.

Tiba-tiba Kirana merasa gemetar, jantungnya berdebar kencang dan badannya terasa ringan. Pemandangan di depannya ini sangat menakutkan. Membuat trauma masa lalunya terbuka lagi.

Kilasan balik tentang ibunya kembali muncul. Ibunya yang tercinta memutuskan untuk bunuh diri di depan matanya.

Tidak, aku tidak bisa melihat kejadian ini lagi, batin Kirana.

"Sa-saya mohon jangan lompat, Bu," Kirana gemetar karena ketakutan setengah mati. "Leon sangat membutuhkan ibunya."

Kirana tidak ingin Leon bernasib sama dengan dirinya di masa lalu. Kirana harus hidup dengan banyak penderitaan setelah kematian ibunya. Ia harus menanggung beban berat itu seorang diri sambil menjaga adik laki-lakinya yang masih kecil kala itu.

Di usia 16 tahun Kirana terpaksa tinggal bersama ayah, Tante Liz dan Miranda. Dia harus menahan kesedihan diperlakukan tidak baik oleh ibu tirinya. Mulai dari di hina, tidak boleh berangkat sekolah semobil dengan Miranda dan kerap mendengar nama almarhum ibunya dihina. Kirana harus menanggung itu semua dengan senyum demi Keenan, adiknya.

Sejak kecil ibunya selalu bilang bahwa seorang kakak harus bisa diandalkan oleh adiknya. Oleh karena itu Kirana terbiasa hidup menanggung semuanya sendiri. Tidak ada tempat untuknya berbagi beban.

Kirana juga paling tahu rasa sendirian tanpa dilindungi siapapun. Bolak-balik diperlakukan tidak baik oleh Tante Liz tidak membuat ayahnya turun tangan membela. Kirana kerap menangis sendirian di kamar setelah kena marah ibu tirinya itu.

"Kalau ibu punya masalah, bilang sama saya," Kirana berkaca-kaca ingin menangis. "Saya akan berusaha membantu. Tapi tolong jangan lompat."

"Gak ada yang bisa saya lakukan, Dok," ibu Leon menangis. "Gak ada jalan keluar untuk masalah saya."

Kirana menggeleng. "Pasti ada, Bu. Gak ada masalah yang gak ada jalan keluarnya."

"Tapi saya sudah gak kuat menanggung rasa sakit ini. Saya cuman ingin mengakhiri semua penderitaan saya."

Kirana makin merasa sesak. Dalam hidupnya ia belum pernah merasa seputus asa ini. Ia ingin menjadi dokter untuk menolong orang-orang yang sakit. Tapi di depan matanya ada seorang pasien yang ingin mati. Sebagai dokter apa yang harus ia lakukan?

"Baik, kalau itu mau ibu. Saya sebagai dokter sudah gagal menyelamatkan pasien saya," Kirana berjalan mendekat.

Sekarang Kirana juga berdiri di tepi pembatas gedung. Hendak melompat seperti ibu Leon.

"Kalau begitu, saya akan ikut ibu pergi ke dunia orang mati," kata Kirana sambil meneteskan air mata.

"Jangan!" Yudhistira dan seluruh perawat berteriak kepada Kirana.

….

Vero sedang menunggu giliran untuk sesi pemotretan majalan Vogue Indonesia. Ia akan tampil di cover majalan fashion itu bulan ini.

Gadis itu tidak sabar memamerkan hasil pemotretannya pada Kirana. Ia ingin pamer betapa garang dirinya dengan balutan long dress hitam, smokey eyes dan tatanan rambut mirip Lady Gaga.

"Ver, Ver. Yaampun, Ver," Jenie, stylist pribadi Vero berlari dengan panik ke arah Vero.

"Kenapa sih, Jen?" tanya Vero sambil merapikan rambutnya.

"Eh sahabatmu si…si…"

"Kirana?" Vero menebak.

"Iya… si Kirana. Dia masuk berita," kata Jenie heboh.

Vero mendengus kesal. "Udah tau aku tuh. Dia masuk berita karena gosip pacaran sama cucu konglomerat kan?"

Jenie menggeleng keras. "Bukan! Dia mau lompat dari gedung rumah sakit!"

"APAAA??!!!"

Jeritan kencang Vero cukup untuk membuat semua kru majalah Vogue Indonesia menoleh ke arahnya dengan kaget.

"Nih beritanya udah muncul di internet," Jenie menunjukkan berita Kirana akan melompat dari gedung rumah sakit dari layar ponselnya.

Vero terhuyung. Ia hampir jatuh karena terlalu syok membaca berita itu. Untung Jenie menopang tubuh Vero sehingga gadis itu tidak sampai jatuh.

Vero berusaha menarik napas. Ia tidak percaya kalau sahabatnya berniat bunuh diri. Apakah Kirana putus asa karena dirinya mengomel tempo hari? Apakah Kirana merasa bersalah karena selalu gagal kencan percomblangan yang diaturnya?

"Jen, aku gak bisa ngelanjutin photo shoot ini. Aku harus ke rumah sakit. Aku harus ketemu Kirana!" katanya gemetaran.

"Eh tapi photo shootnya…"

Belum selesai Jenie berbicara, Vero sudah menyambar kunci mobil dan berlari menuju parkiran.

Tidak, aku tidak bisa membiarkan sahabatku mati, batinnya. Vero naik mobilnya sambil meneteskan air mata cemas.

avataravatar
Next chapter