webnovel

Seratus Tahun

JAKARTA, 2020

Di persimpangan jalan, seorang pria merapikan kemeja hitam yang dia kenakan lalu membenarkan letak topi baseball-nya sebelum menatap lingkungan di sekelilingnya dengan iris matanya yang berwarna merah. Siapa lagi memiliki iris mata merah kalau bukan Kresna? Dia mendorong pintu masuk toko roti milik Dewi yang sudah berdiri selama lebih dari seratus lima puluh tahun. Matanya menyapu ruangan itu dan menemukan seorang gadis dengan gaun putih selutut dan rambut hitam panjang yang sedang duduk di sudut ruangan dengan tenang.

Dalam hatinya, dia marasakan sedikit nostalgia. Penampilan gadis itu tidak banyak berubah sejak pertemuan pertama mereka. Pakaian berwarna putih bersih, rambut hitam panjang yang digerai, dan senyuman yang selalu menghiasi wajahnya. Dia benar-benar... cantik seperti dewi. Hn, dia hidup sesuai dengan namanya.

Gadis itu menoleh saat mendengar suara bel pintu yang berbunyi. Dia tersenyum cerah saat mengetahui siapa yang datang.

"Oh, Kresna, kemari!" Gadis itu melambaikan tangannya dengan bersemangat.

Kresna berjalan menghampirinya tanpa ekspresi di wajahnya, seakan-akan kelembutan di matanya tadi hanyalah ilusi.

"Cobalah ini," ucap gadis itu sambil meletakkan sepotong kue cokelat yang terlihat lembut di hadapan Kresna. "Aku baru saja mencoba resep baru. Aku dengar mereka menyebutnya dengan French Silk Chocolate Cake."

"Dewi, aku tidak suka makanan manis, kamu tahu itu." Kresna menatap kue dihadapannya dengan enggan.

Gadis yang dipanggil Dewi tidak terlihat kecewa saat mendengar ucapan Kresna. Dia hanya mengangguk lalu menuangkan teh ke cangkir pria itu. "Aku baru saja membeli teh baru, penjualnya mengatakan kalau namanya bleutea. Minumlah, itu tanpa gula dan tidak terasa pahit."

Kresna mengambil cangkir yang selesai di isi dengan cairan berwarna biru lalu meminumnya dengan enggan. Diam-diam dia melirik gadis di depannya yang asyik memakan kue yang tadi dia tolak.

"Aku rasa itu baik-baik saja kalau aku mencobanya satu suapan," ucap Kresna kemudian.

Dewi menatap Kresna lalu tersenyum. "Nah, cobalah," ucapnya sambil menyuapi Kresna.

Kresna membuka mulut dan langsung merasakan sensasi lembut dari krim yang memenuhi rongga mulutnya. Dia tidak terlalu menyukainya tapi gadis di hadapannya begitu terobsesi dengan makanan-makanan semacam ini.

"Bagaimana rasanya?" Dewi menatap Kresna dengan tatapan penuh antisipasi.

"Lembut."

Dewi tertawa. "Tentu saja. Maksudku, apakah ada sesuatu yang kurang? Apa terasa terlalu manis?"

"Apakah kamu benar-benar ingin tahu?" Kresna memastikan.

Dewi mengangguk cepat.

"Oh?"

"Ayo, katakanlah! Aku tidak akan bersedih. Sungguh!"

Kresna menatap Dewi dengan tidak yakin.

"Yah, aku mungkin akan merasa sedikit sedih tapi itu akan baik-baik saja, oke? Kalau aku tidak pernah menerima kritik, bagaimana aku bisa meningkatkan kemampuanku?" Dewi berusaha meyakinkan.

Kresna melihat gadis yang bersikeras meminta pendapatnya dan menghela napas. "Kamu memasukkan terlalu banyak gula, cokelat yang kamu gunakan memiliki kualitas rendah dan terasa terlalu keras, krim yang kamu buat itu lengket dan tidak sempurna, dan aku bahkan masih bisa mencium bau amis dari telur yang kamu gunakan."

"Hanya itu?" tanya Dewi dengan suara yang bergetar.

"Apa kamu ingin aku menghinamu lebih jauh?" Kresna balik bertanya. "Kamu yakin kamu bukan seorang masokis?"

"..." Dewi menundukkan kepala. "Yah, aku rasa aku masih harus belajar."

Kresna mendesah. Bagi masyarakat umum, roti buatan Dewi jelas tidak seburuk itu. Dia bahkan pernah memenangkan kontes pastry dan menjadi juara satu nasional. Hanya saja, jika dia meminta ulasan dari Kresna, dia tidak akan pernah mendapatkan ulasan baik.

Di mata Kresna, hanya segelintir orang yang bisa memasak dengan baik dan itu semua bahkan bisa dihitung dengan satu tangan.

Orang yang tidak tahu mungkin akan berpikir bahwa dia hanyalah orang sombong yang memiliki mulut pedas. Tetapi, pada kenyataannya, jika Kresna mengatakan bahwa dia berada di urutan kedua dalam keahlian memasak, tidak akan ada orang yang berani mengatakan bahwa mereka berada di urutan pertama. Intinya, dia memang memiliki kemampuan untuk bersikap sombong.

"Apa kamu bisa mengajariku?" pinta Dewi dengan malu-malu.

Kresna mengangkat alisnya. "Apa kamu serius? Mulutku bahkan lebih pedas daripada Gordon Ramsey. Aku tidak yakin kamu bisa menghadapinya."

Dewi tertawa. "Aku tahu kamu tidak seburuk itu."

Kresna hanya menatap Dewi yang tertawa. Seberkas kilatan cahaya muncul di mata merahnya. Tidak ada yang tahu apakah dia bahagia atau tidak.

"Oke, oke kalau itu memang keinginanmu," ucapnya kemudian sambil tersenyum kecil.

Tiba-tiba bel pintu berbunyi dan pintu terbuka. Kresna dan Dewi mengalihkan tatapan mereka secara serempak.

"Uh, apakah ini toko Nona Dewi?" Seorang pria jangkung yang terlihat kikuk menatap Kresna dan Dewi dengan gugup.

"Ya, itu aku!" Dewi bangkit lalu menghampiri pria jangkung itu dengan ceria. "Apakah ada yang bisa aku bantu?"

Mata pria itu berbinar. "Te... temanku merekomendasikan tokomu kepadaku. Dia... dia mengatakan padaku bahwa kue buatanmu enak."

Dewi tersenyum. "Tentu. Kue apa yang kamu inginkan?"

"Sebenarnya... sebenarnya, aku akan menikah bulan depan. Bi... bisakah kamu membuat kue yang enak dan terlihat cantik?" Pria itu berkata dengan gugup.

"Begini, pa... pacarku seorang foodie dan dia menyukai makanan manis. Aku harap kamu tidak mengecewakannya," tambahnya setelah melihat Dewi yang hanya tersenyum, tampak ragu-ragu.

Dewi mengangguk mengerti. "Kamu bisa percaya padaku."

Pria jangkung itu tersenyum. "Bagus! Bagus! Apakah kamu memiliki media sosial? A... akan lebih baik kalau aku bisa menghubungimu."

"Tidak."

"Kamu tidak memilikinya? Instagram? Twitter? Facebook?" tanya pria itu dengan tatapan tidak percaya.

"Tidak." Dewi menjawab dengan senyuman di wajahnya.

"Lalu itu baik-baik saja jika aku memiliki nomor ponselmu."

"Aku tidak memiliki ponsel."

"Huh?"

"Kamu bisa menghubungi nomor teleponku," ucap gadis itu sambil memberikan secarik kertas pada pria itu.

Pria itu melihat telepon antik di samping gadis itu lalu melirik kertas yang dia terima.

Toko Roti Dewi

(0285) 8xxxxxx

Jangankan memiliki sosial media atau ponsel, Dewi baru bisa menggunakan telepon setelah tiga puluh tahun memiliki benda itu. Kresna tahu kalau Dewi cerdas dan memiliki pengetahuan yang luas. Tetapi, setia gadis itu dihadapkan pada teknologi terbaru atau perasaan manusia, dia akan menjadi idiot seketika itu juga.

"Apakah itu baik-baik saja?" Dewi bertanya.

"Uh, ya, aku rasa." Pria itu menjadi gugup saat menerima pertanyaan. "Kalau begitu, sampai jumpa! Aku akan menghubungimu nanti."

Kresna menonton interaksi mereka sambil menyesap tehnya dalam diam.

Dewi kembali ke tempat duduknya setelah kepergian pria itu. Dia mengambil cangkirnya sambil menghela napas. "Lihatlah, dia masih begitu muda tapi sudah memutuskan untuk menikah. Betapa berani. Aku harap mereka akan bahagia selama seratus tahun!"

Kresna menurunkan tatapannya. "Ya, seratus tahun," gumamnya pelan.

Next chapter