"Bagaimana kalau kita berjalan-jalan sebentar?" tanya Dewi sambil memeluk kucing liar.
Kresna hanya mengangguk seperti yang biasa dia lakukan, menuruti semua yang Dewi minta.
Pada akhirnya, mereka berdua tidak berjalan dan hanya duduk di kursi taman karena gadis itu terus mengeluh kelelahan setelah berjalan beberapa langkah.
Kresna menatap gadis yang tidak kunjung berhenti mengelus kucing berbulu hitam di pelukannya. "Itu kotor."
"Tidak, lihatlah, bulunya bersih." Dewi menyahut.
"Itu liar. Bulunya pasti memiliki banyak kuman bahkan jika terlihat bersih sekali pun."
Dewi ingin menyangkal tapi tidak bisa karena itu memang benar. Dia hanya terus mengelus kucing dan mengabaikan teguran Kresna.
"Aku ingin mengadopsinya," ucapnya kemudian.
"Kamu sudah pernah melakukannya dan itu benar-benar kekacauan besar." Kresna mengingatkan.
"Huh, kapan?"
"Um, akhir tahun 1905 kalau aku tidak salah ingat."
***
BATAVIA, 1905
Kresna sedang menikmati teh bersama Dewi sambil menatap rintik-tintik hujan yang berjatuhan di balik jendela.
"Ini sudah hampir akhir tahun," ucap Dewi dengan pandangan menerawang.
"Yah, orang-orang di luar mulai mencurigaimu karena kamu tidak menua sama sekali." Krisna menimpali. "Apalagi kamu jarang keluar di siang hari. Mereka mengira kamu vampir."
"Bagaimana bisa? Ini bahkan belum lima puluh tahun." Dewi mengerutkan kening.
"Kamu berinteraksi dengan mereka hampir setiap hari. Tentu saja mereka akan memperhatikan hal ini," ucap Kresna. "Dan mereka juga mempertanyakan aku."
"Ada apa denganmu?" Dewi bertanya.
Kresna menunjuk matanya yang merah dan berbeda dari manusia kebanyakan. "Mereka pikir aku iblis."
"Tapi itu benar."
"Ya, itu benar."
Kresna dan Dewi saling bertatapan sebelum menyesap teh masing-masing.
Tiba-tiba bel pintu berbunyi,seorang pria tua dengan peci hitam memasuki toko. Dia terlihat menyedihkan karena dalam keadaan basah kuyup. Di pelukannya ada seekor anak kucing yang terlihat lebih menyedihkan.
Dewi melihat ini dan buru-buru mencari handuk tapi tidak kunjung menemukannya dimana pun. Kemudian, dia teringat bahwa handuk yang sedang dia cari-cari baru saja dia cuci.
Kresna yang sejak tadi melihat Dewi mondar-mandir menjentikkan jarinya dan sepotong handuk bersih muncul di tangannya.
Dewi melihat ini dan memberinya tatapan terima kasih.
Beruntung pria tua di pintu masuk tidak melihat semua itu karena dia terlalu mengkhawatirkan kucing dalam pelukannya.
"Pak, ini untukmu," ucap Dewi sambil menyerahkan handuk di tangannya.
Pria tua itu tertegun untuk beberapa saat saat melihat senyuman Dewi yang menyilaukan. "Seorang dewi..."
Dewi mengangkat alisnya. "Uh, bagaimana kamu bisa mengetahui namaku?"
"Apa?" Pria tua itu kebingungan.
Kresna memutar kedua bola matanya saat melihat ini. Oke, si idiot yang bertemu dengan idiot lainnya.
Dewi memperhatikan kucing di tangan pria itu dan dengan ramah membantunya untuk mengeringkan kucing itu.
"Aku menemukan kucing ini kehujanan di luar dan merasa tidak tega. Jadi, aku juga membawanya."
"Yah, anak kucing memang selalu bisa mengambil hati setiap orang." Dewi menimpali.
"Umm, sayangnya, aku baru teringat bahwa istriku di rumah tidak terlalu menyukai kucing. Aku tidak bisa membuang kucing ini kembali ke jalanan, itu terlalu jahat." Pria tua itu menghela napas berat.
Dewi mengangguk. Tiba-tiba dia mendapatkan ide. "Bagaimana kalau kamu meninggalkannya di sini? Aku bisa merawatnya dan kamu juga bisa mengunjunginnya sesekali."
Mata pria itu berbinar. "Benarkah? Terima kasih!"
Mereka terus berbincang-bincang. Mulai dari tentara penjajah, pendidikan yang sulit dijangkau masyarakat, hingga perekonomian.
Pria tua itu mendesah. "Pedagang-pedagang pribumi seperti kami selalu mengalami kesulitan untuk bersaing dengan para pedagang Tionghoa," keluhnya. "Bagaimana tidak? Usaha mereka lebih maju dan mereka memiliki hak dan status yang lebih tinggi daripada penduduk Hindia Belanda lainnya. Kami tidak bisa berbuat apa-apa."
Dewi berpikir. "Kenapa kalian tidak membuat sesuatu seperti organisasi pedagang pribumi? Kalian bisa saling membantu dan mendukung. Jadi, itu mungkin akan mempermudah kalian untuk berdagang."
"Eh?"
Dewi melihat pria tua di depannya kebingungan dan mulai menjelaskan dengan detail mengenai pengetahuannya tentang ekonomi, kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Dia sudah hidup lebih dari seribu tahun dan tentu saja memiliki pengetahuan yang lebih baik daripada manusia kebanyakan.
Pria tua itu mendengarkan dengan serius dan sesekali bertanya saat mendengar sesuatu yang tidak dia mengerti. Mereka berdua begitu hanyut dalam percakapan mereka hingga tidak menyadari bahwa matahari di luar hampir tenggelam.
Ketika hujan berhenti, pria itu akhirnya berpamitan dengan berat hati. "Bisakah aku kembali ke sini besok?" tanya pria itu sebelum berpamitan.
"Tentu!" Dewi tertawa pelan.
"Kamu berbicara terlalu banyak." Kresna berkomentar setelah memastikan kepergian pria itu.
Dewi tersenyum sambil memegang anak kucing dengan kedua tangannya. "Uh, aku terlalu terbawa suasana."
Sejak saat itu, pria tua itu sering mengunjungi toko Dewi dan setiap dia melakukannya, dia akan selalu membawa anak kucing yang dia temukan di jalan bersamanya untuk dia berikan pada Dewi. Itu seakan-akan dia telah menemukan titik lemah Dewi dan terus berusaha menyerangnya.
"Aku dengar pria tua itu mendirikan sesuatu seperti organisasi perdagangan," ucap Kresna sambil bersandar di pintu masuk. Dia tidak sengaja berpapasan dengan pria itu di perjalanan ke sini dan mendengar sedikit kabar tentangnya.
"Oh, benarkah? Dia cukup pintar." Dewi berkata sambil menghiasi kue. Di sekitarnya, ada lebih dari delapan kucing yang berkeliaran.
Kresna mendengus. "Kamu tidak harus membantunya."
"Itu baik-baik saja."
Kresna hanya diam dan menatap Dewi ketika seekor kucing melompat dan menghancurkan kue yang sedang dihias oleh gadis itu.
Dewi membeku dan tidak tahu harus berbuat apa untuk beberapa saat, dia hanya menatap sekumpulan anak kucing yang sekarang ikut menghancurkan kuenya dengan penuh semangat.
"Oh, betapa menggemaskannya," komentar Kresna dengan wajah datar. "Apa kamu marah?"
Dewi menunduk.
Kresna tersenyum miring saat melihat Dewi yang hanya terdiam. Gadis ini memang harus diberi pelajaran supaya tidak bersikap terlalu baik dan mulai memikirkan dirinya sendiri terlebih dahulu.
Dewi selalu berada di dalam kesulitan karena selalu membantu orang lain tanpa pandang bulu dan Kresna mungkin tidak keberatan untuk menolong Dewi di saat itu. Tetapi, bagaimana jika Kresna sedang tidak ada? Kresna selalu cemas saat memikirkan hal itu.