webnovel

Bukan Aku

"Kok, aku cuma dikasih jajan seribu sedangkan Bang Poi lima ribu?" protes Cecei kepada ibunya, Soila. Lagi-lagi ini terjadi, drama tangisan disertai teriakan, sepertinya sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga Pak Yoyo di pagi hari. 

Seraya menyapu rumah tipe sederhana itu, Bu Soila berlalu melewati Cecei yang tengah duduk di kursi makan. Tak ada penjelasan apa-apa dari wanita empat puluhan itu. Dia hanya terdiam sedangkan Pak Yoyo yang duduk di sebelah Cecei pun seolah tak peduli, dia hanya sibuk dengan kopi sembari membaca koran. 

"Kamu mau sekolah atau tidak? Kutinggalkan nanti, baru tau, nangis aja kerjamu itu," teriak Poi dari depan rumah. "Pergilah! Aku bisa sendiri," bentak Cecei pada saudara laki-laki satu-satunya itu. 

Waktu menunjukkan pukul 06.15 WIB. Dengan mata sembab, Cecei yang berjalan di belakang Poi, diam membisu. Semak belukar di kiri kanan jalan, menemani perasaannya yang sedang bersedih akibat perlakuan tidak adil orang tuanya. Sekolah berjarak dua kilometer dari rumah dilalui mereka hanya dengan berjalan kaki. 

"Hei, si tonggos lewat," ejek Sudir, teman sekelas Poi. Sakit hati yang dirasakan Cecei sudah sampai ke ubun-ubun, bagaimana tidak, abang sendiri hanya tertawa lepas melihat adiknya diejek temannya. Tanpa basa-basi, batu bata yang ada di depan matanya, diambil kemudian dilempar ke kepala Sudir. 

***

Sehari setelah kejadian itu, Bu Soila dipanggil oleh pihak sekolah untuk mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan Cecei. Akibat perbuatan Cecei, Bu Soila harus membayar biaya rumah sakit Sudir–anak yang menjadi sasaran kemarahan Cecei.

"Saya harap, Ibu bisa mengerti, karena ini dilakukan dan sudah membahayakan nyawa orang lain, Cecei akan kami keluarkan dari sekolah, hari ini." terang kepala sekolah, Bu Tina.

"Baik, Bu, anak ini memang nakal, tidak bisa dikasih tau." Tatapan Bu Soila pada Cecei yang berdiri di depan pintu kantor SD 005 Sukamaju itu penuh amarah. 

Sesampainya di rumah, Bu Soila langsung mengambil sapu bertangkai besi aluminium, dengan keras dipukulnya Cecei–anak berusia sepuluh tahun itu tanpa ampun.

"Dasar anak nakal, anak pungut tak tau diri. Sudah capek-capek, aku pelihara kamu dari umur tiga tahun, begini balasan kamu?" berang Bu Soila.

Seketika nanar, tatapannya kosong. Kalimat yang baru saja dia dengar membuat tubuhnya ingin jatuh. Rasa sakit akibat pukulan, tak terasa lagi olehnya. Begitu pedih kenyataan yang dia terima. 

Isak Cecei memenuhi ruang keluarga itu, secepat kilat dia melontarkan kalimat yang tidak mungkin terpikir oleh anak seusianya.  

"Terima kasih, Ibu, sudah menjagaku selama ini. Aku baru tahu, kalau perlakuan tidak adil Ibu dan Ayah selama ini, karena aku bukan anak kandung kalian dan perlu Ibu tahu, sudah lama aku merasakan, keluarga ini tidak penting bagiku dan hari ini juga aku akan pergi dari kehidupan kalian," sesal Cecei sambil berlalu pergi menuju kamar. 

***

Cecei sudah berusaha untuk melupakan masa lalunya, tetapi masih belum bisa. Sesekali, dia mengusap air mata yang jatuh ke pipinya itu. Kini, usianya sudah dua puluh dua tahun. Kepergiannya dari rumah dua belas tahun lalu, menyisakan tanda tanya baginya. Di mana orang tua kandungnya, mengapa dia dirawat oleh Bu Soila dan Pak Yoyo. 

Semenjak kabur dari rumah Pak Yoyo, Cecei ikut Ustazah Ratna  tinggal di sebuah pesantren. Ustazah Ratna adalah orang  yang menemukan Cecei kedinginan di teras sebuah masjid. Letaknya memang tidak jauh dari rumah Pak Yoyo.

Ustazah Ratna sering menanyakan di mana rumah Cecei berada. Namun, dia mengatakan tidak punya rumah dan sudah menjadi yatim piatu. Meskipun Cecei sudah tidak mengecap pendidikan secara formal lagi, dia tetap dibimbing dan dididik Ustazah Ratna tentang ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya.

Di pesantren, Cecei bertugas menjadi tukang masak untuk para santri.

"Cei, sudah waktunya untuk masak," ajak Ressa teman yang selalu menemaninya bekerja di dapur. 

"Baik, Kak Ressa," ucap Cecei seraya melangkah menuju dapur. 

***

Langit berselubung awan hitam mengitari suasana pagi di kawasan pesantren hari ini. Kicauan burung membelah kesunyian menanti kedatangan para santri untuk sarapan di kantin. Sedikit demi sedikit santri-santri berangsur muncul di kantin seluas setengah hektar itu. Kursi dan meja kayu yang panjang tersusun rapi dengan dinding hanya dilapisi anyaman bambu tanpa jendela. 

"Aku … aku … aku … Kak Cecei," desak para santri berebut pembagian lauk. Selain memasak, Cecei juga bertugas membagikan sepotong lauk, sayur dan sedikit sambal goreng kepada santri-santri yang mengantre di kantin. Begitulah kegiatan sehari-hari Cecei di pesantren. 

Kala antrean terakhir, seorang bocah dengan wajah pucat, meringis kesakitan, mengundang perhatian Cecei untuk peduli. 

"Kamu kenapa, Dek?" tanya Cecei khawatir. 

"Dadaku, sakit, Kak," rintih bocah itu. 

Bocah yang diperkirakan berusia sebelas tahun itu, ambruk.

Cecei dan Ressa langsung menggendong bocah itu ke klinik yang ada di pesantren. 

***

Ustazah Ratna memanggil Cecei ke klinik. Orang tua dari bocah yang di tolongnya kemarin hendak mengucapkan terima kasih. 

Ruangan klinik berukuran 10 x 6 meter itu dipenuhi beberapa santri yang dirawat. Cecei mendapati Ustazah Ratna tengah duduk di kursi menghadap pintu masuk. Terlihat dua orang duduk menghadap Ustazah Ratna.

"Assalamualaikum," ucap Cecei memotong percakapan mereka. 

"Waalaikumsalam ... sini masuk," perintah Ustazah Ratna. 

Bagai disambar petir, Cecei merapatkan bibirnya, tubuhnya sedikit oleng melihat orang tua bocah itu ternyata adalah Bu Soila dan Pak Yoyo, orang yang dulu sempat dia anggap sebagai orang tua kandungnya. 

Emosi itu memuncak. Namun, sulit untuk dia utarakan. Dirinya tak peduli lagi dengan keadaan sekitar. 

Semakin jauh ia berlari, semakin berharap dirinya tak akan bertemu lagi dengan mereka yang dahulu pernah ada di kehidupannya. Padahal ada banyak tanya yang belum sempat ia ketahui jawabannya.