webnovel

Catching The Sun

Shiara sama sekali tak menyangka bahwa keputusannya untuk menyelamatkan seorang gelandangan pagi itu akan mengantarkannya pada pelukan Sang Pangeran Vampir. Mau tak mau, dia terseret ke dalam intrik kerajaan vampir yang sangat kejam. Selain itu, pertemuannya dengan Aziel mengungkap fakta bahwa keluarganya adalah vampire hunter secara turun-temurun. Namun, Shiara terlanjur jatuh pada Aziel hingga tak tahu harus melakukan apa. Haruskah ia bersikap egois akan cintanya dan mengabaikan profesi keluarganya? Ataukah mengubur perasaannya dan membunuh pria yang dicintainya? Tetapi, apakah ia sanggup melakukannya?

Astralian · Fantasy
Not enough ratings
3 Chs

Chapter 1 - A Bum

Gelap. Hitam pekat nan dingin. Hampa yang menyesakkan.

Kegelapan adalah jubah Aziel. Sementara kehampaan adalah mahkotanya. Ke mana pun ia pergi, hawa dingin menyebar di sekitarnya bagai lubang hitam.

Sepanjang hayatnya, Aziel hidup dalam kegelapan. Tak pernah sekali pun dia merasakan cahaya. Bagi seorang vampir sepertinya, cahaya adalah suatu hal terlarang. Tidak boleh dirasakan, apalagi dinikmati. Ketika fajar mulai muncul, semua orang menyuruhnya tidur. Dan ketika ia terbangun, hari telah kembali gelap.

Aziel tidak pernah melihat matahari.

Awalnya, ia memang tak peduli dengan bintang dan benda langit lainnya. Ia bahkan tak peduli dengan rutinitas keluarganya. Bagi Aziel, segalanya tidak penting asal ia bisa meminum darah lezat setiap hari.

Namun suatu hari, sebuah lagu dari saluran radio manusia mengubahnya. Sebuah senandung yang mengenalkannya pada cahaya. Lagu itu berjudul You Are My Sunshine yang diciptakan oleh Jimmie Davis dan dipopulerkan oleh Johnny Cash.

You are my sunshine, my only sunshine

You make me happy when skies are gray

You'll never know dear, how much I love you

Please don't take my sunshine away

Sepotong lirik itu membuat Aziel tersadar bahwa matahari sangatlah penting hingga si pengarang tak ingin kehilangan sinarnya. Tetapi ia tidak tahu apa yang bisa dilakukan matahari hingga membuatnya menjadi sepenting itu. Dengan rasa penasaran yang terlanjur timbul, Aziel mulai mencari tahu.

Dia bertanya pada gurunya yang langsung mengernyit heran karena mendapat pertanyaan tabu. Tidak ingin merusak reputasi keluarganya, Aziel pun memutuskan untuk mencari tahu sendiri. Ia mencari buku referensi di perpustakaan sekolah vampir dan perpustakaan bawah tanah. Bahkan dia juga diam-diam membaca buku di perpustakaan manusia saat tengah malam.

Butuh waktu bertahun-tahun bagi Aziel untuk melakukan penelitian ini karena memang dia melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Dan apa yang ditemukannya, sanggup membuat dirinya takjub. Sang Surya memang memiliki berjuta kehebatan yang tidak bisa ditandingi oleh apa pun. Hal inilah yang menumbuhkan obsesi Aziel.

Kendati tahu bahwa obsesinya adalah hal tabu untuk kaum vampir, tapi Aziel tidak peduli. Ia tetap ingin melihat dan merasakan matahari secara langsung meski sadar bahwa keinginannya bisa membakarnya hingga menjadi abu. Rasa kagumnya ternyata lebih besar daripada rasa takutnya akan kematian. Karena baginya, mati terbakar sepadan dengan matahari yang tak pernah ia lihat dan rasakan.

Lagi pula, selama hidupnya yang panjang, ia belum pernah melihat seorang vampir yang mati terbakar matahari. Bagaimana jika itu hanyalah dongeng belaka agar kaumnya tak pernah mengenal cahaya dan terus hidup dalam kegelapan? Maka ia harus mencoba dan membuktikannya.

Setelah berkali-kali gagal menyelinap pergi, akhirnya pagi ini Aziel berhasil. Ia muncul di atap sebuah rumah di tengah kota. Atap rumah ini adalah tempat yang selalu ia kunjungi saat mencari referensi tentang matahari karena memiliki pemandangan kota yang indah.

Langit masih cukup gelap dengan beberapa bintang yang berkelip-kelip. Namun saat ia berbalik ke arah timur, matanya terbelalak kagum. Pemandangan yang ada di depannya sungguh menakjubkan. Cahaya terang memancar secara horizontal pada garis cakrawala. Gelap malam seolah memudar, berganti menjadi langit biru muda yang cerah. Percampuran warna merah muda, jingga, dan kuning di kaki langit terlihat lebih indah dari lukisan mana pun yang pernah Aziel lihat.

Pemuda vampir itu terlalu terpesona hingga tak mampu mengatakan apa pun. Matanya menyisir ke segala arah, berusaha merekam pemandangan indah ini dalam ingatannya. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, karena mungkin saja ia akan mati terbakar beberapa saat lagi.

Tak lama kemudian, sisi teratas matahari mulai muncul di atas horizon. Aziel merasa sangat senang karena akhirnya ia bisa melihat obsesinya. "Akhirnya," gumamnya sambil menghela napas lega.

Lelaki bersurai karamel itu sungguh tak sabar untuk merasakan cahaya matahari yang mengenai kulitnya. Apakah kulit pucatnya akan berubah sehat seperti kulit manusia? Ataukah justru akan melepuh seperti apa yang dikatakan dongeng kaumnya?

Di tengah lamunan, atensi Aziel teralihkan oleh seekor kupu-kupu yang terbang tepat di depan wajahnya. Sayapnya yang warna-warni, berkilau diterpa sinar arunika. Seolah terhipnotis, netra peraknya mengikuti lintasan terbang serangga tersebut.

Kupu-kupu itu terbang ke arah taman belakang rumah yang ditumbuhi bunga-bunga. Sepertinya dia tertarik oleh semerbak yang dihasilkan berbagai macam bunga di sana. Dia hinggap pada salah satu kelopak bunga dan mulai berusaha menghisap sarinya.

Sang vampir pun mengamati bunga-bunga yang terlihat lebih mencolok dan segar di pagi hari. Seingatnya, bunga tidak pernah terlihat seindah ini saat malam hari. Seperti halnya kupu-kupu, Aziel juga tertarik akan bunga-bunga itu hingga tanpa sadar berteleportasi ke halaman belakang tersebut.

Cukup lama ia melihat-lihat jenis bunga di sana hingga kicauan burung membuyarkan lamunannya. Ia menoleh ke sumber suara dan melihat dua ekor burung yang bertengger di dahan pohon. Seolah memanggil teman-temannya, beberapa burung mulai berdatangan. Kicauan mereka terdengar bersahut-sahutan, seolah sedang mendiskusikan sesuatu.

Kedua sudut bibir Aziel terangkat. Entah kenapa, hatinya merasa bahagia. Sebuah perasaan asing yang tak pernah ia rasakan selama ini. Padahal, ia hanya melihat aktivitas kecil dari hewan, tapi terasa sangat menyenangkan dan penuh kehangatan. Berbeda sekali dengan kaumnya yang bahkan sangat dingin pada anggota keluarganya sendiri.

Lalu tepi penglihatan Aziel menangkap satu set kursi santai. Karena merasa cukup lelah, ia pun memutuskan untuk duduk. Tubuhnya terasa remuk setelah berlatih tanding satu jam yang lalu. Lagi pula, ia biasa beristirahat di jam-jam seperti ini.

Sinar matahari yang menimpanya terasa sangat hangat. Tak hanya pada tubuhnya, tapi kehangatan ini sampai ke dalam hatinya. Ini adalah pertama kalinya Aziel merasakan perasaan seperti ini. Rasanya benar-benar menyenangkan!

Aziel bersyukur, sempat meneteskan esktrak mawar hitam ke matanya sebelum berangkat. Karena sinar matahari ternyata sangatlah menyilaukan! Ia tidak tahu apakah dirinya sanggup menatap matahari tanpa perlindungan esktrak mawar hitam. Karena menatap cahaya lampu saja sudah membuat matanya terasa seperti ditusuk dengan tombak panas.

Sebelah tangan Aziel terangkat ke arah matahari. Sinar Sang Surya menelusup di antara sela jarinya. Perlahan tangannya mengepal, seakan ingin menggenggam mentari. Walau tahu bahwa itu mustahil, tapi Aziel tetap ingin menggapai matahari, ingin memilikinya untuk dirinya sendiri.

Kelopak matanya perlahan tertutup, ingin lebih meresapi sinar matahari yang masuk ke pori-pori kulitnya. Kedua sudut bibirnya pun terangkat karena bahagia. Dan tak lama kemudian, Aziel jatuh tertidur.

☀️ Catching The Sun ☀️

Shiara bangun tepat saat matahari muncul di atas horizon. Gadis itu segera merapikan tempat tidur dan membuka jendela kamarnya. Angin pagi yang cukup dingin membelai lehernya dan menerbangkan beberapa helai rambutnya. Meski telah memasuki musim panas, udara tetap terasa dingin. Tidak, bukan karena hujan, tapi Inggris memang selalu berangin.

Tanpa menghiraukan waktu yang masih sangat pagi, Shiara bersiap untuk olahraga. Sambil mengikat rambut panjangnya, ia menuju ke halaman belakang untuk melakukan pemanasan. Tepat saat ia membuka pintu, mata bulatnya semakin membulat. Pasalnya, ia melihat seorang pria asing yang tidur dengan damai di kursi santainya.

Memang benar bahwa halaman belakangnya hanya berpagarkan kayu. Tetapi apakah orang ini nekat melompati pagar untuk bisa masuk ke sini? Jangan-jangan dia adalah pencuri?

Kesiagaan Shiara meningkat drastis. Otot-otot tubuhnya menegang, siap melancarkan jurus Aikido. Otaknya bahkan sudah membuat daftar teknik apa saja yang akan ia gunakan.

Sambil diam-diam mendekati si lelaki asing, Shiara mengamati lawannya. Sayangnya ia tidak bisa menaksir kekuatannya karena pria tersebut memakai jubah yang membungkus tubuhnya. Sebenarnya siapa pria ini? Kenapa dia memakai jubah? Mungkinkah sebenarnya dia adalah seorang gelandangan?

Di lihat dari penampilan dan wajahnya yang buruk rupa, sepertinya dia memanglah gelandangan. Mungkin semalam dia menemukan halaman belakang Shiara yang memiliki pagar cukup rendah. Lalu dia memutuskan untuk tidur di kursi santai yang ada di sini.

Namun gelandangan ini terlihat masih sangat muda. Kulitnya yang putih pucat melepuh dengan banyak sekali benjolan dan ruam. Tak hanya di wajah, tapi ruam itu juga muncul di lehernya. Shiara bergidik ngeri melihatnya.

Dua langkah dari si gelandangan, Shiara menyiapkan kuda-kudanya dan memekik, "Siapa kau?!"

Pria asing itu langsung membuka mata dan menoleh. Melihat Shiara yang sudah akan menyerangnya, dia terlompat dari kursi dengan waspada. Sebelah tangannya terangkat, meminta Shiara untuk tenang. "Tunggu, aku bisa menjelaskannya," ujarnya dengan panik.

Tak menghiraukannya, Shiara malah langsung melancarkan salah satu teknik Aikido-nya. Pertama, ia mencengkeram pergelangan tangan kanan lawannya, lalu mengarahkannya ke dahi lawan. Tanpa melepas cengkeraman, tangan kiri Shiara menggenggam erat lengan bawah si gelandangan. Sambil menarik pergelangan tangan lawan ke samping, kaki kiri Shiara bergeser maju. Terakhir, ia mendorong lengan bawah lawan agar tubuhnya jatuh ke tanah. Semua itu terjadi hanya dalam hitungan satu detik.

Lelaki tak dikenal itu tidak menyadari apa yang terjadi. Tiba-tiba saja dia sudah tertelungkup di atas tanah. Dadanya terasa sangat sakit karena ditekan ke batu kerikil dengan lutut si gadis. Udara dalam paru-parunya seolah dipaksa keluar. Belum sempat memulihkan diri, tangannya sudah dipuntir ke belakang dan tengkuknya ditekan ke tanah. Mulutnya refleks terbuka untuk mengais udara.

Di antara erang kesakitan si pria, Shiara menggeram rendah, "Apa yang kau curi dari rumahku?"

Gelandangan itu terbatuk saat berusaha bicara. Namun ia tetap bersikeras menjawab, "Aku bukan pencuri!" Lalu dia terbatuk hebat.

Mata bulat Shiara memicing tajam, tak percaya pada lawan bicaranya. "Sebaiknya kau berkata jujur karena aku tidak akan segan-segan untuk mematahkan lehermu," ancamnya.

"Uhuk aku benar uhuk benar tidak mencuri uhuk uhuk apa pun," jawab gelandangan itu sambil terbatuk-batuk.

Tentu saja Shiara tidak mudah percaya begitu saja. Ia segera mengunci tangan kanan pemuda itu di belakang punggungnya sendiri. Kemudian dia menyibak jubah hitam si gelandangan dan mulai merogoh isi sakunya.

Pria bersurai caramel itu tidak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya bisa pasrah saat gadis di atasnya ini memeriksa seluruh tubuhnya. Sebelumnya, tidak ada yang berani melakukan hal seperti ini padanya, tapi biarlah asal bisa membuat Shiara percaya.

Sementara itu, Shiara menemukan beberapa lembar uang kertas dan sebuah ponsel. Itu jelas bukan uangnya karena ia sama sekali tidak mengenal uang dengan mata uang dan desain aneh ini. Smartphone itu juga bukan miliknya karena berbeda merk dengan miliknya. Artinya, pemuda ini memang bukanlah pencuri.

Lelaki buruk rupa itu tiba-tiba merasa pusing. Pandangannya berbintik-bintik hitam hingga ia tidak bisa melihat dengan jelas. Wajahnya terasa sangat panas dan perih, disertai pula rasa gatal. Lalu kepalanya terasa seperti ditarik ke belakang. Sebelum kegelapan mengambil alih, ia baru menyadari bahwa ini adalah tanda-tanda awal vampir yang akan mati terbakar. Tetapi situasinya saat ini sangat tidak memungkinkan untuk mengelak. Sambil tersenyum miris, ia menggumam, "Apa aku akan mati terbakar?"

Shiara yang mendengar gumaman itu, mengernyit bingung. "Mati? Haha aku tidak akan membunuhmu," katanya dengan tawa remeh. Ia menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan si gelandangan ini.

Karena telah mendapatkan bukti, Shiara pun melepas kunciannya pada pria di bawahnya. "Baiklah, aku percaya bahwa kau bukanlah pencuri," ujarnya sambil bangkit.

Namun gelandangan itu sama sekali tidak bereaksi. Dia tetap tertelungkup di atas kerikil tajam. Shiara pun menjadi geram, "Hei! Aku tidak akan mematahkan lehermu atau membunuhmu. Bahkan aku juga tidak akan melaporkanmu pada polisi. Jadi bangunlah!"

Masih tidak ada pergerakan apa pun dari pemuda aneh itu. Helaan napas panjang keluar dari mulut Shiara. Ia pun berjongkok dan menggoyangkan bahu lebar si gelandangan. "Hei! Bangunlah! Jangan tidur di sini!" teriaknya.

Sebab masih tak ada respon dari lelaki tersebut, Shiara membalikkan tubuhnya yang ternyata sangat lemas. Matanya seketika terbelalak kaget. Kepanikan serta merta merayapi hatinya.

Ruam dan benjolan di wajah pria asing itu terlihat semakin banyak. Kulit pucatnya menjadi merah kehitaman. Kelopak matanya hanya tertutup separuh hingga menampakkan bola matanya yang jereng ke belakang.

"Oh my God!" pekik Shiara. "Apa yang terjadi? Apa dia benar-benar mati? Jika benar, maka..." Bantingan dan tekanan pada dada si gelandangan yang telah Shiara berikan beberapa saat lalu, berkelebat dalam kepalanya. "Akulah yang membunuhnya?!" ucapnya histeris.

To be continued...

Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!

Astraliancreators' thoughts