webnovel

Catatan Okta

Okta, mahasiswi yang tinggal seorang diri baru saja di berhentikan dari pekerjaannya sebagai pelayan di sebuah kafe. Di tengah perjalanan pulang, dia malah memergoki pacarnya yang sedang bersama perempuan lain. Di tengah-tengah keputusasaannya dalam menjalani hidup, dia berencana mengakhiri hidupnya. Tapi, pertemuannya dengan seorang anak kecil membuat hidupnya jadi lebih berwarna dari sebelumnya.

Rui_Costa · Teen
Not enough ratings
8 Chs

Kegembiraan Sederhana

"Huhhh..."

Okta yang baru saja keluar dari tempat dia melamar langsung menghela nafas panjang seakan akhirnya dia bisa membuka rasa kekecewaannya saat di dalam tadi.

Tidak banyak orang yang mau menerima mahasiswi yang kuliah dengan jadwal biasa seperti dirinya.

Saat dia melangkah maju, kedua alisnya terangkat melihat anak kecil yang sedang duduk di bangku panjang yang ada di tepi jalan.

Anak itu seakan sedang menunggunya dengan tenang sampai-sampai kepala dan juga kakinya bergoyang-goyang, tapi wajahnya tetap juga tidak tersenyum.

Pada akhirnya Gama tetap mengikutinya karna dia tidak mau bersama orang lain katanya.

Lampu-lampu jalan berwarna pijar menerangi tiap sisi jalanan.

Kafe dan tempat tongkrongan semakin ramai, sampai-sampai tidak ada tempat dimana tidak ada suara sama sekali.

Itu wajar saja untuk kota sebesar ini. Tapi hal itu juga membuat senyuman Okta kembali terlihat.

Tapi senyumannya tidak berlangsung lama karna anak kecil yang dia gandeng tiba-tiba menarik tangannya dan berhenti berjalan.

Okta pun menoleh ke arah anak Gama yang mendongak menatap langit malam. Matanya perlahan terpejam dan senyuman di wajahnya mulai terbentuk.

"Angin.." katanya pelan.

Alis Okta berkedut saat Gama mengatakan itu. Tepat saat itu juga angin yang lembut datang menyelimuti seisi kota ini.

Dedaunan di pohon-pohon yang ada di ruas jalan pun ikut berguguran. Semua orang di kota itu tertawa senang dengan angin ini. Okta sendiri juga merasakan angin ini seakan ikut membangkitkan perasannya yang sempat terpuruk tadi.

"Gama suka angin, apa ka Okta juga suka?" Tanya anak itu menatap Okta dengan senyuman di wajah polosnya.

Okta yang berdiri terpaku menatap Gama pun mulai kembali tersenyum padanya.

"Yah, kakak juga suka," jawab Okta dengan senyumannya yang tulus.

************

Setelah membuka pintu rumahnya, Okta langsung menyuruh Gama pergi ke kamar mandi untuk mencuci kakinya.

Anak itu pun bergegas pergi menuruti kata-kata Okta. Sementara Okta sendiri langsung duduk di ruang depan tempat mereka makan dan menonton TV.

Nafasnya terus berhembusan karna terasa sangat lelah. Sudah lama dia tidak jalan kaki sejauh tadi.

Sebenarnya dia bisa saja naik angkutan umum, tapi belum juga masuk, Gama tiba-tiba berteriak dan mengamuk kalau dia tidak mau naik mobil.

Akhirnya mereka pulang pergi jalan kaki.

"Tapi.. anak itu tidak terlihat lelah sama sekali," pikir Okta sambil memperhatikan Gama yang pergi membuka kulkas lalu memberikan botol besar berisi air dingin pada Okta sambil menyeringai lebar.

Okta pun mendengus tersenyum lalu bangkit mengambil gelas untuk Gama.

Dia menuangkan air itu ke dalam gelas lalu memberikan airnya ke Gama. Gama meminumnya dengan sambil duduk lalu memberikan gelas itu lagi ke Okta.

"Pasti lelah kan berjalan jauh tadi?" Tanya Okta ke Gama.

Anak ini jarang sekali berbicara, jadi Okta tidak mengharapkan Gama menjawab tiap pertanyaan yang dua ajukan. Tapi terkadang dia mau membicarakan banyak hal, meskipun terkadang arah pembicaraannya jadi aneh.

"Tidak ko. Gama, Ady, dan Rendra sering berjalan-jalan seharian," kata anak yang duduk di hadapannya itu memiringkan kepalanya dengan wajah polosnya. Senyuman Okta semakin lebar karna Gama menjawab pertanyaannya.

"Oh.. Ady dan Rendra itu kakak mu?" Tanya Okta lagi. Anak itu pun mengangguk penuh semangat pada Okta.

"Benar!!? Ady itu kakak yang baik, tapi kalau Gama nakal pasti Ady terlihat menyeramkan. Rendra punya wajah yang jahat, tapi sebenarnya Rendra juga baik," kata Gama menyeringai.

"Waah.. pasti menyenangkan. Ayah dan ibu Gama bagaimana?" Tanya Okta lagi.

"Ayah Gama di kampung punya kafe. Kalau ibu.. Gama tidak suka ayah punya ibu," katanya sekarang wajahnya tampak sebal.

"Loh.. kenapa begitu?" Tanya Okta heran. Yang membuatnya tambah heran, kenapa Gama memakai kata 'punya' seakan dia di keluarga itu memang tidak punya sosok ibu di dalamnya.

"Ibu yang mendekati ayah jahat pada Gama. Ayah juga jadi tidak mau cari ibu baru katanya," kata anak itu jengkel sambil menahan nafas di mulutnya.

Okta langsung mengerutkan keningnya mendengar cerita keluarga dari anak kecil yang di temui nya ini.

Saat Okta mau mengatakan sesuatu lagi, mulutnya terhenti karna Gama menoleh ke arah jam dinding.

Okta pun ikut menoleh lalu kedua alisnya terangkat melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 10 itu.

"Sudah malam, sebaiknya kita tidur yu. Kakak juga besok harus pergi kuliah," kata Okta sambil bangkit berdiri dan mengajak Gama masuk ke dalam kamarnya. Tapi, baru saja mereka melangkah satu kali, Gama tiba-tiba saja berteriak sampai membuat Okta terkejut.

"A-ada apa?" Tanya Okta yang masih kaget dengan teriakan Gama.

"Ka Okta belum cuci kaki!!?" Katanya dengan wajah menuduh.

Okta yang terpaku disana sampai terdiam bingung pada Gama. Tapi kemudian dia langsung kembali tersenyum lalu tertawa kecil.

"Hahaha iya.. nanti ka Okta cuci kaki. Gama naik duluan ke kasur sana," kata Okta tersenyum.

Gama pun mengangguk lalu menuruti kata-kata Okta.

Okta terus tersenyum sambil masuk ke dalam kamar mandinya. Setelah membasuh wajahnya, Okta terus menatap bayangan wajahnya di pantulan cermin.

Senyuman alami yang belum pernah dia tunjukkan selama tiga tahun belakangan ini akhirnya terbentuk juga. Bahkan dia terkekeh kalau mengingat kenapa dia bisa lupa dengan kebahagiaan sederhana seperti ini.

Semenjak di tinggal keluarganya dan sendirian di rumah, akhirnya dia bisa merasakan kehangatan lagi bersama anak kecil yang dia temukan tempo hari.

Tapi kalau mengingat hal itu, senyuman Okta seketika hilang karna mau bagaimana pun juga dia harus memulangkan Gama pada keluarganya yang asli.

Di tambah dia juga sedang berfikir untuk memutar keuangannya untuk bulan ini sampai dia mendapatkan pekerjaan baru.

"Huhh.. aku harus segera mendapatkan pekerjaan. Beasiswa terakhir ku juga akan di kirim dua Minggu lagi. Sampai saat itu tiba, aku harus menghemat uang ku," kata Okta bergumam sendiri.

Setelah keluar dari kamar mandinya, Okta terdiam melihat Gama duduk sila di atas kasur sambil mendongak menatap langit-langit tanpa ekspresi di wajahnya.

Okta pun berjalan mendekat lalu duduk di sebelahnya lalu ikut mendongak melihat langit-langit.

"Apa yang kau lihat?" Tanya Okta dengan nada penasaran.

"Kejadian kemarin saat Gama bertemu ka Okta," katanya Masih mendongak menatap langit-langit.

"Kejadian?" Tanya Okta heran menatap anak itu.

Gama pun menoleh ke arah Okta lalu mengangguk pelan.

Okta merasa semakin heran memikirkan hal ini, tapi dia langsung menggeleng dan kembali tersenyum pada Gama.

"Sudah malam, sebaiknya kita tidur," kata Okta pada Gama.

Gama pun mengangguk pelan lalu berbaring di sana sambil memeluk guling milik Okta.

Okta terus tersenyum menatap Gama dan mengelus kepala anak itu sampai dia benar-benar tertidur lelap.

"Dia menggemaskan," pikir Okta.