webnovel

Part 10. Penemuan Kunci

Vika menatap se-bucket bunga lily di samping ranjangnya. Di sebelah bunga berwarna putih itu, parcel buah segar terlihat menggoda. Ia hanya bisa menelan ludah, karena luka di mulutnya masih cukup perih untuk mengunyah.

"Terima kasih, kamu sudah mau menghubungi kami," angguk Diandra.

Vika menarik sedikit sudut bibirnya untuk mengulas senyum. Ia ingat, setelah peristiwa naas malam itu, ia memutuskan untuk menghubungi nomor yang Diandra berikan. Ia merasa Diandra tahu soal sosok yang menyerangnya di perbatasan desa.

"Jadi, apa hubungan kalian dengan sosok yang menyerangku? Kenapa kalian tahu ini akan terjadi?" gumam Vika. Ia sedikit meringis, merasakan nyeri di sekitar bibirnya. Untunglah dia ikut extra kurikuler pencak silat saat SMP, dan itu sangat berguna saat dirinya diserang tiba-tiba oleh sosok bertopeng pembawa gunting.

"Kami tidak ada hubungan apa-apa. Justru sedang menyelidiki siapa dia sebenarnya. Apa kamu punya sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk?" tanya Diandra menarik kursinya lebih dekat.

Vika terdiam sejenak. Ia mengingat kembali wujud sosok itu saat berusaha melukai wajahnya. Saat itu, ia sedang bersepeda sendirian, dari alun-alun. Jalanan memang sepi karena sudah cukup larut malam dan desa tempat tinggalnya lebih banyak area sawah. Tiba-tiba dari arah depan, sebuah tali melintang, menghadang laju sepeda membuat tubuhnya terjungkal. Ia bangun dan di hadapannya sudah ada sosok itu.

"Dari postur tubuh yang kuingat, dia perempuan. Apalagi saat area vitalnya berhasil kutendang, ia sempat menjerit."

"Lalu?"

"Dia cukup gesit, sepertinya orang terlatih dan biasa melakukan penyerangan semacam ini. Saat aku terdesak, gunting itu sempat menggores ... ini," tunjuk Vika. Diandra tidak menyangka, korban kali ini cukup berani dan tidak terlihat adanya trauma yang berarti.

"Kamu berani juga," senyum Diandra. Vika melengos.

"Aku udah biasa berantem," dengkus Vika membuat Adel yang sedari tadi diam terperanjat.

"Pantesan ...," gumam bocah itu.

"Topeng seperti apa yang ia gunakan?" Diandra kembali bertanya, sedang Adel siap mencatat apa pun yang ia anggap informasi penting.

"Pernah lihat film thriller? Atau psikopat-psikopat gitu? Yah, seperti itulah. Sayangnya sebelum aku sempat meraih wajahnya, ia sudah kabur karena ada motor datang. Tapi, saat kami berkelahi, aku sempat menemukan anak kunci ini. Entah punya dia atau bukan, kuambil saja." Vika mengeluarkan sebuah kunci dari saku baju tidurnya.

"Ini kunci rumah biasa," ujar Diandra menerima kunci berwarna silver itu.

"Boleh kami pinjam?" pinta Adel. Vika mengangguk.

Adel menyodorkan plastik klip bening kepada Diandra.

"Kalau gitu, kami pamit dulu. Terima kasih infonya. Semoga cepat sembuh," pamit Diandra menyalami gadis berambut pirang itu.

"Jangan mengulang perbuatan itu lagi, Mbak. Karena perobek mulut ini mengincar para pelaku perundungan," pesan Adel penuh penekanan sebelum menyusul Diandra. Vika terkejut, namun tak sempat bertanya karena Adel sudah bergegas menyusul Diandra.

**

Tiba di rumah, Diandra langsung ke dapur memasak makan malam. Sedang Adel menyandarkan diri pada sofa. Ia memandang kembali kunci yang diberi oleh Vika. Seperti kunci rumah umumnya, tidak ada yang aneh. Tidak memiliki gantungan yang bisa dijadikan petunjuk. Sesaat, Adel hanya bermain-main dengan pikirannya.

"Makan dulu, Del!" teriak Diandra dari dapur. Adel beranjak ke kamar, menyimpan kunci itu kemudian ke dapur, mengendus aroma telur dadar daun bawang.

"Apa rencana kamu selanjutnya?" tanya Diandra sambil mengambilkan sepotong telur ke piring Adel.

"Entahlah. Apa kita pancing saja pemilik kunci ini? Adel rasa ini petunjuk penting."

"Caranya?"

Adel tak menjawab. Memilih menghabiskan nasi kecap di piringnya dengan lahap.

Selesai makan, mereka menonton tv sejenak. Tidak ada acara yang menarik, Adel memilih membaca novel.

Jam 9, Diandra sudah terlelap dengan ponsel yang masih memutar film drama. Adel melirik sekilas, ia pun meraih ponsel itu dan mematikan film yang masih setengah jam di putar.

Tiba-tiba ia teringat rencananya tadi sore. Diraihnya sekeping kunci dalam plastik tersebut, mengeluarkannya hati-hati, lalu di foto menggunakan ponsel Diandra. Ia mengunggah foto tersebut di akun medsos. Dalam keterangan, ia tuliskan tempat ditemukannya benda tersebut.

Bocah itu berpikir untuk menghubungi Hendi, satpam komplek yang memberikan nomornya malam itu__untuk jaga-jaga. Ia berpesan atas nama Diandra, untuk mengawasi pintu masuk komplek dari orang asing.

Respon Hendi di luar dugaan. Ia menyambut pesan Adel dengan antusias. Bahkan setelahnya berbasa-basi, mengira bahwa yang mengirim pesan adalah Diandra.

"Dasar, genit ...," sungut Adel. Ia merasa laki-laki itu tertarik dengan tantenya. Yah, usia Diandra memang terbilang matang untuk memiliki pasangan. Tapi Adel merasa, wanita itu masih betah sendiri__menikmati hidupnya yang sepi hanya bersama bocah yatim piatu, Adel. Mungkin karena nasib yang sama itulah, Diandra menyayangi Adel lebih dari siapapun.

Adel memilih untuk tidak meladeni chat Hendi yang di luar topik. Ia pun mematikan lampu dan berbaring di samping Diandra. Sebelum terpejam, samar ia melihat bayangan di depan televisi.

"Aku capek. Pergi kamu ...," gumam Adel setelah tahu siapa bayangan itu. Hantu Sandria.

Adel sedang tidak ingin mengusik tentang hantu bisu itu. Baginya, yang terpenting adalah menemukan siapa sosok perobek mulut yang meneror para pelaku perundungan.

**

"Del ... kamu yang melakukan ini?" tukas Diandra di sela-sela mengunyah roti. Ditunjukkannya postingan tentang kunci dalam akun medsosnya tersebut.

"Iya. Adel mau memancing siapa pemilik kunci tersebut. Kalau memang itu milik si perobek mulut, kita akan segera mengungkap siapa dia sebenarnya."

"Tapi ... bukankah ini bahaya?" Diandra menatap bocah itu dengan ragu.

"Semoga saja tidak. Adel udah minta tolong Bang Hendi untuk mengawasi tamu asing yang masuk komplek." Adel melahap roti isi selai kacangnya dengan lahap.

"Oh ya, tentang buku itu ... katanya Rio sudah mengembalikan ke Sekar."

"Terus?"

"Sekar terlihat khawatir, Rio sudah membaca isi buku itu. Tapi Rio meyakinkan, kalau ia tidak membukanya, hanya menemukan di bawah loker, lalu membawanya pulang karena belum bertemu Sekar secara langsung."

Adel menenggak susunya hingga tandas. Masih ada waktu lima belas menit sebelum berangkat sekolah.

"Apa Tante pernah melihat hal mencurigakan dari Mbak Sekar selain buku harian milik Mbak Sandra?"

"Hmm ... nggak ada. Eh, tapi pernah lihat jari dia terluka. Katanya kena gunting. Yah, mungkin waktu beres-beres gudang, tak sengaja tergores. Dan lagi, saat pertemuan Tante terakhir dengan Sandra waktu itu, ada Sekar di sana. Tapi ia tidak menoleh sedikit pun ke Sandra, seperti orang yang tidak mengenalnya."

"Kalau begitu, kenapa Mbak Sekar bisa ke rumah Mbak Sandra? Dan buku itu ...."

"Sudahlah. Ayo berangkat sekolah saja. Jangan mikir hal selain pelajaran, saat di sekolahan. Mengerti?" Diandra menarik tangan Adel.

Setelah mengantar Adel sekolah, Diandra terpikirkan untuk melihat rumah Sandra. Ia penasaran, apa gadis itu masih di rumah atau sudah berangkat ke Jakarta.

Melewati jalan yang sepi, perasaan Diandra tidak nyaman, padahal ia sudah beberapa kali melewati jalan persawahan itu. Ia merasa ada sesuatu yang ikut membonceng, namun tidak berani melirik spion.

Tiba di tikungan tempat dulu motornya sempat mogok, Diandra membunyikan klakson tiga kali sambil merapal doa keselamatan. Motornya kembali ringan, pembonceng 'asing' itu sudah hilang.

Rumah suram bercat hijau itu sudah terlihat. Halamannya penuh semak, daun-daun kering seperti tak pernah terpijak. Sepi.

Diandra berusaha mendengarkan suara sekecil apapun dari luar halaman, namun ia hanya mendengar suara anak kecil dari ujung jalan__rumah penduduk lain yang jaraknya sekitar 200 meter.

Ia kembali menajamkan telinga, saat samar terdengar suara panci berdentang. Pelan. Dari arah belakang rumah yang kemungkinan dapur.

"Mau ke mana Mbak?" tepuk seorang pencari rumput yang membawa karung dan sabit.

"Eh ... nggak. Sa ... saya cuma lewat. Kebetulan saya sedang mencari rumah untuk adik saya. Apa rumah ini kosong?" kilah Diandra terpaksa berbohong.

"Yang saya tahu, pemiliknya jadi TKW dan anaknya tinggal satu, perempuan. Tapi jarang kelihatan. Lagian kalaupun kosong dan dijual, emang Mbak mau rumah 'singup' seperti ini?"

Diandra menatap rumah itu sejenak, lalu menggeleng.

"Sudah, jangan bengong di depan rumah ini. Nanti 'sawan'," pesan laki-laki setengah baya itu sebelum pergi. Diandra mengangguk dan segera meninggalkan tempat itu, diikuti sepasang mata yang mengintip dari balik jendela.

***

Next chapter