"Mar betty! Mar Bett!
"Berangkat bareng yuk!" ajak Sandi sembari mengembangkan senyum lebarnya. Ia cengengesan jika berdekatan dengan gadis imut yang jadi candaan teman teman di sekolahnya
"Tunggu dulu, San!" tukas Mar betty yang tengah sibuk menunggu Nia teman prakteknya.
"Bentar, San. Nanggung, nih."
Tak ingin memaksa, Mar Bett mengabaikan Nia yang belum siap berdandan.
"Duluan aja mar! Aku masih lama nih!" sahutnya lirih.
Nia pun memilih jalan bersama teman lain.
Pagi itu, angkutan umum berdesak-desakan, mereka duduk berdempetan. Ketika itu Sandi sangat mepet hingga pahanya beradu apalagi menempel tangannya di atas pangkuan Mar.
Ia bahkan diam tanpa reaksi, risih jika heboh di sini.
Hhmm ... Hhmm
"Ada apa ini Sandi mencari kesempatan melecehkan temannya. Gak bisa di biarin, banget!"
Saat tiba di perempatan, supir angkutan umum segera berteriak memberikan aba-aba.
"Siap...siap, uang pas. Periksa dompet dan jangan tinggal barang bawaan." serunya lantang mengingatkan penumpang.
"Sandi, bayarin dulu ya? Hana nggak ada uang pas," Hana minta tolong dibayarin Sandi.
"Sandi, nggak cukup uang, Nih! Sorry lain kali aja." Sandi mengelak tanpa peduli ucapan Mar.
"Kampret, nih orang! Benar juga kata teman-teman, ia lelaki paling pelit dengan cewek," gerutunya dongkol.
Seorang cowok keren di sebelahnya menyodorkan uang ribuan untuk bayaran angkotan.
Mendadak atmosfir di sekelilingku menjadi GeEr, Mar Bett tersenyum dengan mengangguk nganggukkan kepala seraya berujar, "Terima kasih, mas!
"Kenalkan, namaku Mar bett siswa tingkat kedua di sekolah kejuruan. Senang bertemu dengan mas!"
Ia sengaja memanas manasi Sandi yang terlihat salah tingkah.
"iya, iya ...!"
"Kapan....kapan bertemu lagi. Ini nomor card Mas Farid, ya!"
Ia pun berpisah di perempatan jalan, dengan santun berpamitan. Menatap sosok punggung cowok murah hati dan terkesima.
"Hhmm cowok handsome," gumam Mar Bett pelan.
Tertulis nama "Farid Kemal"
Mar bett mengamati perlahan dan mengeja nama yang tertulis seperti berbau aroma Turki.
Hari masih pagi. Matahari pun belum menampakkan wujud aslinya. Suasana ceria berubah atas ulah Sandi yang memalukan.
Hari itu Mar Bett menunggu Nia yang tadi ditinggalin sendirian demi menerima ajakan Sandi. Nia gegas menyusul sampai di koridornya.
Dari kejauhan nampak senyuman Nia dengan setengah berlari menjejeri langkah kaki mengejar temannya, Lantas menepuk pelan pundak Mar Bett.
"Mar ... Mar!
"Udah lama nunggu, iya?"
"Yuk!"....
Keduanya segera bergandengan tangan, lalu menghampiri beberapa teman lainnya di satu ruangan. Detik kemudian, ku bangkit meraih tas dan beranjak memasuki ruangan praktek di sebuah rumah sakit pemerintah. Wajah sangar para petugas terlihat jelas dari sorotan tajam.
"Mar betty. Ada apa sepagi ini sudah merengut aja? Padahal, ini adalah hari pertama tugas kita. Dan sangat mempengaruhi penilaian dari petugas ruang bersalin, loh?" bisik Nia tanpa ada yang mendengar pembicaraan mereka.
Itu pun hanya lewat bisik-bisik saling memberikan pengkodean jari telunjuk.
Hari telah berganti, seperti biasa Mar betty dan Nia masih satu group dinas menuju ruangan praktek. Mereka akan segera membereskan serah terima laporan dan pasien. Sementara itu, petugas jaga malam akan pulang sedangkan kepala ruangan datang on time dan bersama dengan kakak senior lainnya.
Hari itu aku dan teman-teman sempat menciut nyali bertemu instruktur yang sangar dengan mulut rasa cabe-cabean. Aku dan Nia memutuskan masuk ke dalam kamar pasien untuk mengecek keadaan pasien, lalu membersihkan area yang tampak lusuh dan berdebu. Rutinitas nanti siang dokter spesialis kandungan melakukan visite dan para petugas pun menyiapkan keperluan.
Pukul sembilan pagi instruktur mulai mengeluarkan taring menggaungkan diri.
"Deekkk.....!"
"Adeeekk siswaa...Sinii....," sorak instruktur dengan penuh pelampiasan.
"Iyaa, kak..."
"Ada apa kak?"
"Gini amat dinas di ruangan jajahan belanda sudah cape kena amukan lagi," gerutu Mar betty menahan dongkol tanpa rasa manusiawi.
Awalnya mereka itu cukup semangat berdinas macam kakak senior, tetapi kenyataan diperlakukan kurang menyenangkan. Setelah tahu seperti itu, Mar bett pun enggan pergi berdinas, terkadang sangat takut melihat datangnya pagi. Mar betty sering kena tegur petugas ruang bersalin.
"Maaarr Bett ... Mar Bett!!
Kamu makin lama tambah bodoh. Itu aja nggak bisa, lalu kalian buat apa ke sini....?!" bentak senior yang udah kelihatan beruban. Terlihat siswa diam seperti dicocok hidungnya. Mar Bett dan Nia memutuskan untuk bersembunyi di toilet dengan dalih membersihkan kamar mandi yang super jorok.
Siswa merondok sebelum dipanggil oleh petugas lainnya, dengan catatan jangan ketahuan bersembunyi.
"Deekkk... siniiiii?" panggil instruktur paruh baya setengah berteriak keras. Setelah tahu dipanggil keringat dingin pun bercucuran menahan rasa takut.
"Iya, Kak..."
"Ayuk, bantu bersihkan got yang tersumbat, ambilin rotan untuk mengorek lobang saluran. Ya Rabb, belum pernah sebelumnya melakukan pekerjaan seperti ini di depan keramaian. Bahkan di depan petugas yang lalu lalang, mereka menoleh ke arahku menatap penuh iba.
Dengan memakai rotan, Hana mencolokkan ke lobang saluran sambil menarik ulur, apakah ada sumbatan di area tersebut? Tanpa sengaja saat menarik kembali rotan itu, mental terkena baju instruktur yang galak selangit.
"Bodoh kali kau? segitu aja nggak becus. Siapa nama kamu, haahh?" hardik instruktur dengan suara lantang. Ia hampir aja terkencing-kencing dibuatnya.
Mar Betty terdiam, lalu meminta maaf pada instruktur yang super galak itu.
"Maafkan, Mar Betty Kak!"
Maaf...maaf, aja yang bisa. Habis ini kamu ngepel dari kamar ke kamar, ya!"
Sementara teman lainnya sok sibuk menangani pasien, lalu aku mengangguk, pertanda mengerti dan langsung mengerjakan perintahnya. Setelahnya instruktur hitam manis itu beranjak masuk ke dalam menemui suster kepala.
Ya Rabb....beginikah rasanya hidup untuk mendapatkan perubahan. Semoga lelah ini menjadi bermakna.
Tiba-tiba, suara bergemuruh hebat memekakkan telinga. Kami dipanggil oleh instruktur semi militer itu.
"Siswaaa....dek sis-wa...aa!?"
"Kalian ini, kemana aja? ada pasien mau lahiran, malah kalian kabur. Gimana, sih? nanti aku laporin ke pendidikan baru tau rasanya," ancam instruktur semakin membabi buta.
"Ambil, plasentanya. Hitung kotiledon, ada berapa jumlahnya?"
Mar Bett mengambil sarung tangan berniat menghitung jumlah ruas di plasenta. Namun, tak dinyana tangannya ditepis oleh instruktur tersebut.
"Jangan pakai sarung tangan." suara instruktur menghardik.
"Pegang langsung, dilarang jijik. Kalian kalau mau jadi suster harus berani!" perintahnya lagi.
Hmm... Apakah ini lebih sulit dari kehidupannya di keluarga dan di sekolah? Dari cara memperlakukan para siswa, mar bett langsung tahu bahwa instruktur itu bukanlah seorang penyayang dan lemah lembut seperti instruktur di ruang lainnya welcome, banget.
"Mar Bett harus gimana?"
Seorang keluarga pasien bersimpati, memberikan mar bett makanan sebagai tanda terima kasihnya. Ia juga menyelipkan uang berwarna merah atas rasa empaty terhadap para siswa yang cantik dan menggemaskan.
Alangkah senang, waktu pulang dinas mereka mampir di gerobak bakso Mamang super laris. Uang tadi langsung berpindah pemiliknya. Di depan sana, tampak tukang bakso sangat serius dengan meladeni sang pembeli.
Sementara Nia dan Ranti udah mengunyah bakso sedari tadi dan menyeruput kuahnya.
"Uuhh sedapnya?" Nia melirik Mar yang mulai ngiler.
"Sengaja, atuhh!?"
"Huft! Huft!"
"Teman tak berakhlak!" gumamnya dalam hati.
Lantas, keduanya mengobrol hingga cekikikan, sedangkan Mar Bett hanya bisa menjadi pendengar.
"Kenapa belum menyuguhkan bakso, mang?" suara Marbett hampir menumpahkan kuah panas di tangan mamang.
"Aah, si mamang yang latah sontak kaget!"
"Gile benar nih!!"