webnovel

Catatan Cerita

Sheren Queena memiliki mimpi yang manis. Gadis cantik itu menyukai musik, dan mimpinya adalah orang-orang bisa mendengarkan musiknya. Sesederhana itu. Namun rupanya, jalan yang dia tempuh teramat sangat terjal.

ranyraissapalupi · Teen
Not enough ratings
297 Chs

Catatan 7 : Seberapa Jauh Aku mengenalmu?

Hari Sabtu bukan berarti aktivitas di rumah si kembar tidak berjalan. Pagi-pagi sekali, Sheren telah melakukan rutinitasnya di akhir pekan. Setelah bangun pagi, gadis itu memakai masker wajah sembari mendengarkan musik klasik ditemani segelas jus buah segar. Kemudian, gadis cantik itu tiba-tiba teringat sesuatu. Lalu, dia berlalu dari kamarnya sembari membawa gelasnya yang masih berisi jus buah. Ruangan yang dituju oleh Sheren kali ini bukanlah kamar Shaka, walau memang dia mencari Shaka. Sheren kini telah tiba di depan sebuah pintu kayu berwarna hitam. Pintu itu sengaja didesain berwarna hitam, yang mana itu adalah warna kesukaan Shaka. Kemudian, Sheren membuka pintu itu dengan pelan.

Pemandangan pertama yang menyambutnya adalah Shaka tengah menendang sebuah sand bag yang digantung di samping jendela ruangan ini. Dia mengenakan celana training panjang berwarna hitam. Pemuda itu mengenakan kaus tanpa lengan berwarna senada dengan celananya. Dilihat dari rambut serta keringat di badannya, Shaka telah berlatih bela diri selama satu jam atau lebih. "Shaka," panggil Sheren yang masih berdiri di ambang pintu. Gadis cantik itu enggan masuk ke ruangan ini tanpa sepengetahuan Shaka.

Karena dia pernah secara tidak sengaja nyaris terkena serpihan papan kayu yang ditendang oleh Shaka saat berlatih dengan Ayah.

Shaka menoleh, pemuda itu menghentikan kegiatannya sejenak. "Ya? Ada apa? Dan omong-omong, bisakah kamu berhenti mengenakan masker itu di pagi hari? Kamu terlihat mengerikan dengan masker hitam itu," ujar Shaka menatap adiknya dengan datar.

Bibir Sheren mengerucut layaknya bebek, pertanda dia tengah kesal. Gadis itu kemudian masuk ke dalam ruang latihan ini setelah Shaka merespon ucapaannya. Tak lupa, dia menutup pintu hitam itu sesaat setelah dia masuk. "Enak aja! Aku menggunakan masker ini agar cantik," bantah bungsu dari dua bersaudara itu.

"Untuk siapa kamu terlihat cantik? Untuk pacarmu ya?"

Sheren menggeleng. "Tentu tidak! Kenapa aku harus terlihat cantik untuk orang lain? Kenapa aku harus hidup menurut standar kecantikan orang lain? Bagiku, aku terlihat cantik tentu saja hanya untuk diriku sendiri, bukan untuk orang lain. Aku senang saat melihat pantulan diriku di cermin yang terlihat cantik. Aku menjadi cantik untuk membahagiakan diriku sendiri. Selain itu, merawat diri juga merupakan bentuk penghargaan atas diri sendiri. Jika bukan aku yang menghargai diriku sendiri, lantas siapa?"

Sepasang bola mata berwarna hitam itu menyorot Sheren dengan tatapan lembut, namun juga dalam. "Kamu benar sih. Ya sudah, lakukan apa saja yang membuatmu senang asalkan itu tidak merugikan dirimu sendiri dan orang lain."

"Aku tahu," ujar Sheren. Kemudian, dia teringat tujuannya ke sini, "Apa yang kamu lakukan pada Sashi? Lalu, kenapa Theresa juga ikut melabrak Sashi? Bukannya kamu selama ini menjadi pahlawan bagi Sashi?"

Shaka kemudian melepas sarung tangan khusus tinju yang sedari tadi dia pakai. Lalu, Shaka meletakkan sarung tinju itu di meja pendek samping sand bag. Selanjutnya, Shaka berjalan menghampiri adiknya yang berdiri sepuluh meter di sisi kirinya tadi. "Adik pernah berkata pada Resa bahwa Sashi bukan korban sesungguhnya, benar?"

Sheren mengangguk. Kening gadis cantik itu berkerut.

"Dan hal yang sama terjadi pada Sashi. Kakak memarahinya karena dia rupanya mengataimu bodoh. Tentu saja sebagai seorang Kakak, aku pasti sangat tersinggung saat seseorang menghina adikku dengan kata itu. Tapi, Sashi juga korban. Dia korban dari keadaan, dia juga korban dari orang tuanya. Sashi melakukan itu karena dia ingin mendapatkan perhatian dari orang-orang. Tindakannya sebenarnya terlihat wajar dari sudut pandangnya. Tapi, di sisi lain dia jelas salah."

"Kakak tahu hal itu dari mana?"

Bibir Shaka yang berwarna merah muda itu mengulas senyum. "Kakak tahu karena Kakak sudah lihat sendiri kondisinya. Kakak pernah ke rumahnya, dan tepat saat itu orang tuanya sedang bertengkar."

Alis kiri Sheren terangkat. "Kakak kapan ke sana?"

"Ingat saat Hari Minggu kemarin Kakak pulang telat seusai latihan taekwondo? Nah, Kakak mampir ke sana setelah latihan," jawab Shaka sambil menepuk lembut kepala adiknya.

"Kakak kenapa ke sana? Aku saja belum pernah main ke sana," ucap Sheren. Nada suaranya menyiratkan sesuatu yang lain.

"Kakak penasaran sama omongan Resa soal kamu tempo hari. Menurut Kakak, dia pasti memiliki alasan kenapa berbuat demikian. Dan Kakak rasa, dia memiliki masalah yang dia tutupi dengan bertingkah laku menyebalkan."

Sheren mengangguk. Ucapan Shaka tadi telah mengonfirmasi banyak hal. Bagi Shaka, Sheren hanya sebatas itu. Dia hanya sebatas orang yang secara tidak sengaja bertalian darah dengannya dan harus dia antarkan ke mana-mana. Hanya itu. Selama ini, Shaka tidak pernah peduli pada masalahnya. Pemuda itu bahkan tidak pernah repot-repot mencari tahu masalah Sheren. Yang paling krusial, Shaka tidak pernah bertanya tentang kondisi Sheren. Tanpa berkata-kata lagi, Sheren kemudian berbalik badan. Lalu, dia berjalan keluar ruangan. Hal ini tentu saja tertangkap indera Shaka, namun dia memilih untuk tidak bertanya.

***

Rhea tidak bodoh untuk tidak menyadari bahwa atmosfer suram tercipta dari bocah kembar yang tengah berada bersamanya sekarang ini. Dengan pelan, Rhea melirik Sheren yang tengah mendengarkan musik menggunakan airpod kendati sepasang netra gadis berambut hitam itu menatap tajam pada Shaka yang tengah fokus mengemudi.

"She, nanti kita nonton film ya?" ujar Rhea memecah suasana suram ini.

"Enggak deh Rhe. Mama bilang aku harus sampai rumah saat pukul 03.00 sore. Menonton film hanya akan membuang waktu saja. Durasi film kan sangat lama. Aku tidak ingin kita menghabiskan waktu hanya dengan duduk diam selama beberapa jam," tolak Sheren. Sementara itu, Shaka hanya melirik adiknya melalui spion kecil yang berada di tengah.

"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" tanya Rhea. Gadis itu kini bisa bernapas sedikit lega karena suasana suram ini tidak seberat tadi.

"Belanja. Beli sepatu, tas, dompet? Baju juga bisa." Ucapan Sheren itu diangguki penuh semangat oleh Rhea. Belanja adalah salah satu hal yang disukai oleh Rhea.

Akhirnya, mereka tiba di mall. Hanya Rhea dan Sheren saja yang turun. Sementara Shaka kembali ke rumah.

***

Sheren dan Rhea kini tengah tertawa karena melihat foto yang mereka cetak dari photo box. Terdapat enam lembar foto yang dicetak memanjang dalam sebuah kertas foto.

Nantinya, mereka harus menggunting satu per satu foto yang ada di kertas itu agar bisa mereka masukkan dalam dompet atau pigura.

"Dari sisi ini, kamu jadi mirip Shaka deh Ren," tunjuk Rhea pada foto yang mencetak pose mereka dengan filter kelinci.

Senyuman kecil terukir di bibir Sheren kala dia mendengar itu. "Bisa aja deh kamu. Lagi pula, aku kan memang adiknya Shaka."

"Iya juga ya. Ya udah, ini kita mau ke mana lagi?"

Sheren menatap ke arah foto sekilas, kemudian berkata, "Aku udah laper nih. Makan yuk! Eh tapi, ini udah jam makan siang belum?"

"Udah dari tadi, She! Sekarang bahkan sudah pukul 01.00 siang," ucap Rhea sambil menunjukkan jam tangan di pergelangan tangan kanannya.

"Hei, kok udah siang?! Perasaan kita baru sebentar deh di sini!"

"Sheren sayang, kita udah lama loh muter-muter dalam mall. Kita udah beli baju, sepatu, tas, bahkan lilin aromaterapi! Kita juga sudah selesai memainkan seluruh game yang ada di game center!"

Sheren tersenyum lucu, gadis itu berusaha meluluhkan kekesalan Rhea. "Iya, iya. Aku salah, maafkan aku ya? Kita makan aja yuk!"

Lalu, Sheren menarik pelan lengan Rhea agar mengikutinya. Akhirnya, mereka berjalan menuju restoran yang ada dalam mall ini.

***

"Eh Rhea, kamu tahu kalau Theresa dan Shaka pacaran?" tanya Sheren sambil mencelupkan sushinya ke kecap asin.

Rhea mengangguk seraya berkata, "Tahu kok. Shaka bahkan jadian dengan Theresa di kafeku."

Sheren seketika terkejut. Gadis itu menatap Rhea dengan pandangan melotot. "Sungguh?! Kapan?! Kok aku gak tahu?!"

"Udah lama, She. Waktu setelah masa orientasi. Theresa dan Shaka sudah saling mengenal sejak SMP kan?"

Sheren mengangguk. "Tapi kok Shaka gak pernah cerita? Shaka setiap malam minggu bahkan selalu di rumah."

"Mereka kencan setelah Shaka pulang latihan bela diri. Mereka juga selalu ke kafeku untuk mengerjakan tugas."

Perkataan Rhea menohok hati Sheren. Dia tertampar fakta bahwa Rhea yang notabene adalah bukan keluarga mereka, tahu lebih banyak mengenai Shaka. Bahkan Sashi juga.

Hanya Sheren saja yang tidak begitu tahu mengenai urusan pribadi Shaka. Dia tidak pernah bertanya karena Shaka juga tidak pernah bertanya mengenai masalahnya. Jadi, untuk apa Sheren bertanya pada Shaka mengenai masalah pemuda itu? Namun di satu sisi, Sheren kini mempertanyakan kedekatan mereka sebagai keluarga. Seberapa jauh dia mengenal Shaka?

***

Surabaya, 18 Januari 2020

Apakah benar bahwa Shaka adalah saudaraku? Apakah Mama dan Ayah tidak melakukan kesalahan dalam membawa pulang bayi? Karena mungkin saja, aku tertukar saat bayi. Aku kini mempertanyakan hubungan persaudaraan kami. Benarkah kami kembar?

Aku sama sekali tidak tahu menahu mengenai urusan Shaka. Siapa saja temannya? Siapa saja orang yang dia benci? Mungkinkah aku salah satunya? Jika iya, apakah aku siap dengan kenyataan itu? Dan bisa saja Shaka membenciku. Sangat bisa! Dan apakah aku siap dengan fakta bahwa dia tidak menyayangiku? Dengan fakta bahwa aku sama saja dengan tidak memiliki saudara? Ya atau tidak? Dan aku rasa, jawabannya adalah tidak.