webnovel

Catatan Cerita

Sheren Queena memiliki mimpi yang manis. Gadis cantik itu menyukai musik, dan mimpinya adalah orang-orang bisa mendengarkan musiknya. Sesederhana itu. Namun rupanya, jalan yang dia tempuh teramat sangat terjal.

ranyraissapalupi · Teen
Not enough ratings
297 Chs

Catatan 33: Audisi

"She, kamu kenapa sih semakin hari semakin aneh? Kesurupan setan dari Gunung Bromo ya kamu?" Sashi menatap Sheren dengan pandangan khawatir. Rhea mengangguk, menyetujui ucapan Sashi.

"Aku gak kenapa-kenapa kok. Memangnya apa yang aneh dariku? Aku tidak merasa ada yang aneh pada diriku," bantah Sheren. Dia sendiri juga heran mengapa Sashi bisa berpikir bahwa dirinya aneh.

Rhea menatap Sheren dengan pandangan menilai. "Kamu tahu gak? Ekspresi wajahmu menjadi aneh. Kamu bisa tiba-tiba tersenyum sendiri, tetapi kamu juga bisa tiba-tiba berekspresi serius. Sebenarnya, kamu kenapa sih?"

Mendengar pertanyaan Rhea tadi membuatnya tertawa. "Wah, kamu sedang mengamatiku ya, Rhe? Jeli sekali." Sheren terkekeh, "Ya, aku sedang merencanakan sesuatu. Namun, itu rahasia. Jika berhasil, kalian akan tahu dengan sendirinya nanti. Namun jika gagal, kalian tidak akan tahu."

Percakapan di jam istirahat itu terinterupsi oleh suara getar dari ponsel Sheren. Gadis cantik itu kemudian mengambil ponsel dari saku blazernya. Netranya membulat kala melihat isi pesan itu. 'Audisi bisa diadakan hari ini. Padahal, audisi belum dibuka untuk umum. Jika begini sistemnya, pasti penilaian dari juri dan kriteria yang diminta sangatlah tinggi. Aku bisa tidak ya?' Sheren menggelengkan kepalanya, 'Sekarang, bukan saatnya ragu-ragu. Aku harus berani mengambil keputusan untuk masa depanku! Masa depanku adalah kerja kerasku di masa ini.' Bel tanda masuk berbunyi, membuat Sashi kembali ke tempat duduknya. Sementara Sheren dan Rhea mengeluarkan buku-buku pelajaran sejarah milik mereka yang berada di dalam laci bangku yang mereka tempati.

***

Sheren merasa lega kala dia berhasil sampai dengan selamat di gedung Light Entertainment. Dia lalu berjalan memasuki gedung dengan langkah mantap. Sesekali, dia menoleh ke belakang untuk memastikan agar tidak ada orang yang mengikutinya. Entah itu Shaka, Sashi, Rhea, atau Shawn. Tadi, dia bergegas pulang tanpa menunggu Shaka yang sedang di toilet. Kakak laki-lakinya itu menyuruhnya untuk menunggu di halaman parkir, namun tentu saja Sheren menyelinap keluar dari sekolah tanpa memberitahu Shaka dan teman-temannya. Dia tadi menggunakan taksi daring untuk bisa tiba di gedung ini.

"Permisi, saya Sheren. Saya sudah ada janji temu dengan Bu Winona. Beliau meminta saya untuk menemui beliau di ruang Light Audition," ucap Sheren pada resepsionis kantor.

Resepsionis itu menatap Sheren dengan senyum aneh. Senyuman yang sangat ramah dan mata yang berbinar bahagia layaknya orang yang mendapatkan uang 10 miliar rupiah secara mendadak. "Mari ikuti saya." Resepsionis perempuan itu kemudian berjalan mendampingi Sheren. Sheren lalu berjalan mengikuti perempuan itu. Kendati dalam hati bertanya-tanya tentang ekspresi aneh si perempuan.

Sepanjang perjalanan menuju ruangan yang dituju, Sheren melihat banyak ruangan tertutup yang di pintunya tertulis fungsi ruangan tersebut. Ada ruang rapat 1, ruang penerima tamu 1 dan masih banyak lagi. "Ruang Light Audition berada di ujung lorong ini," ucap resepsionis yang mengantarkan Sheren.

"Ada banyak divisi ya di gedung ini?" tanyanya pada resepsionis.

Resepsionis itu mengangguk riang. "Benar, gedung ini memiliki sangat banyak divisi. Lantai dua ini berisi ruangan yang berkaitan dengan hubungan masyarakat dan relasi bisnis." Mereka lalu berhenti di depan sebuah pintu bercat putih dengan tulisan Light Audition Room. "Kita sudah sampai," lanjut resepsionis itu sambil membuka pintu bercat putih itu. Sheren menunduk memberi hormat pada resepsionis itu. Lalu, gadis cantik itu berjalan memasuki ruang audisi yang interiornya mirip dengan gedung orkestra mini.

'Bagus sekali,' batin Sheren, lalu dia duduk di salah satu kursi yang berhadapan dengan panggung.

"Wah, kamu sudah datang ya?" Bu Winona menyapanya dengan ramah. Wanita itu muncul dari balik pintu ruangan ini diikuti oleh empat orang dewasa di belakangnya. Satu wanita, tiga pria. Kelima orang dewasa itu berpenampilan sangat menarik. Pilihan busana mereka mampu menguarkan kharisma mereka semakin tajam.

Bu Winona menatap Sheren ramah, "Kamu bisa naik ke panggung itu sekarang. Oke?"

Sheren mengangguk. Dengan patuh, dia berjalan menuju panggung. Tas sekolahnya dia letakkan di atas kursi yang tadi dia duduki. Sheren tersenyum saat dia melihat grand piano berwarna coklat itu. Piano itu sangat terawat, memiliki kualitas suara yang sangat bagus, dan terbuat dari material yang sangat berkualitas. Sheren kini duduk di kursi kecil di depan piano. Kedua kakinya bersiap diantara pedal-pedal itu.

"Silahkan dimulai. Lagu apa yang akan kamu mainkan?" tanya Bu Winona ramah.

Sheren menatap ke langit-langit gedung sebentar. Lalu, dia kembali menatap Bu Winona dengan senyum mengembang. "Terre-Love dari Johann Pachelbel." Lalu, kedua tangan Sheren bergerak di atas tuts-tuts hitam putih itu, sementara kedua kakinya sudah menekan pedal-pedal piano. Johann Pachelbel adalah seorang komposer dan musisi Jerman di Era Baroque pada abad ke- 17. Lahir pada tahun 1653 di Nuremberg. Johann berasal dari keluarga sederhana. Dia memulai kariernya sebagai organist di Lorenzkirche untuk membayar biaya kuliahnya. Namun, masalah keuangan membuatnya harus berhenti kuliah setelah satu tahun. Akhirnya, Johann Pachelbel mendapatkan beasiswa untuk kembali melanjutkan pendidikannya. Karier musik profesional Pachelbel dimulai pada tahun 1673 di Wina. Awalnya, dia bekerja sebagai asisten organist di Katedral Saint Stephen. Dari sanalah, perjalanannya menjadi salah satu musisi terbaik sepanjang masa dimulai.

Nada terakhir telah selesai Sheren mainkan. Gadis itu lalu menoleh ke arah Bu Winona dan para koleganya. Salah satu kolega Bu Winona yang Sheren tahu bernama Wendy menatapnya tajam. "Selain memainkan karya komposer klasik ternama dunia, apa kamu bisa menciptakan lagumu sendiri?"

"Bisa, Bu."

Wendy mengangguk. "Saya akan memberimu waktu sepuluh menit untukmu membuat lagu. Kamu bisa gunakan kertas dan pena yang ada di meja kecil di samping piano itu. Dan saya mau, kamu menulis lagu itu di atas panggung."

"Baik, Bu." Dengan sigap, Sheren mengambil kertas dan pena yang ada di atas meja kecil di samping piano yang dia gunakan. Tak butuh waktu lama, dia tenggelam dalam dunia imajinasinya yang penuh dengan bunyi-bunyi indah.

Wendy menatap Winona yang duduk di sampingnya, wanita itu lalu berbisik, "Anak itu memiliki kemampuan bermusik di atas rata-rata. Bahkan bisa dibilang dia jenius di bidangnya. Namanya Sheren Queena, benar?"

"Dia baru saja memenangkan pertandingan piano bergengsi di Jerman pada bulan ini," sambung Ronald.

Wendy mengangguk mengerti. Sepertinya, anak di depannya ini sangat menarik. Bahkan, Ronald Wiryawan pun tahu namanya. Wendy melirik jam tangannya, waktu sepuluh menit yang dia berikan hampir habis. 10,9,8,7,6,5,4,3,2,1 "Waktu habis! Mainkan lagumu sekarang!" perintah Wendy pada Sheren.

Sheren lalu meletakkan kertas yang berisi nada-nada dan lirik lagu di penopang kertas notasi piano. Gadis itu kemudian memainkan lagu ciptaannya tadi tanpa menyanyikan liriknya. Para juri tersenyum lebar mendengar lagu itu. Tiga menit kemudian, lagu usai. "Coba kamu nyanyikan dengan lirik, bisa?"

Sheren menatap Wendy, lalu mengangguk. Kemudian, suara lembut menyapa gendang telinga para juri dengan lembut. Senyuman puas tampak di raut wajah para juri. "Bagus! Terima kasih Sheren, silahkan tunggu selama dua hari untuk hasil audisinya. Kami akan menghubungimu saat hasilnya sudah keluar."

Sheren tersenyum, gadis itu turun dari panggung. Lalu menyalami satu per satu juri yang ada di ruangan itu. Kemudian, gadis itu mengambil tasnya. Dia kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan ruang audisi.

***

Kakinya berjalan mengendap-endap menyusuri ruang tamu. Dia sudah mirip maling yang akan melarikan diri usai beraksi. Sepasang telinganya dalam mode fokus dan siaga jika ada suara yang mendekat. Manik matanya menatap sekeliling, memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa yang berada di ruangan ini. Lalu, dia berjalan cepat menaiki tangga menuju lantai dua.

Satu...

Dua...

Tiga...

"Sheren? Kamu dari mana saja sih? Kenapa tadi waktu pulang sekolah kamu tidak ada? Kenapa ponselmu juga tidak aktif? Kamu kemana tadi?"

'Ups, sepertinya perhitunganku salah.' Sheren tersenyum lebar, kedua manik matanya menatap Shaka dengan tatapan riang. "Ada sesuatu yang harus kulakukan hari ini."

Shaka melipat kedua tangannya di depan dada. Manik matanya menatap sang adik dengan sangsi. "Urusan penting apa memangnya sampai kamu mematikan ponselmu?"

"Aku gak bisa bilang, karena aku malu jika sampai gagal."

"Gagal? Kenapa kamu harus malu kalau gagal? Memang apa yang...Ah, kamu ikut audisi untuk menjadi musisi ya?"

Sheren bungkam. Gadis itu kemudian berlalu menuju kamarnya. Membiarkan pertanyaan Shaka menggantung di udara tanpa berniat menjawabnya. Sesaat setelah Sheren tidak tampak di dalam jangkauan pandangnya, Shaka mengambil ponselnya yang sejak tadi berada di saku celananya. Dia mengirim pesan pada Shawn dan meminta tolong pada rekannya itu untuk mengecek apakah benar Sheren pergi ke agensi Shawn.

Tak perlu menunggu lama, Shawn langsung menyanggupi permintaan Shaka. Di sebuah studio rekaman di waktu yang sama dengan Shaka dan Sheren, Shawn tersenyum lebar saat mendapatkan pesan dari Shaka. Dia merasa Tuhan memudahkannya untuk bisa dekat dengan Sheren. Setelah ini, dia akan menghubungi Bu Winona untuk menanyakan kebenarannya.

***

Sheren berbaring di atas kasurnya. Dia telah selesai mandi dan berganti pakaian. Ini sudah pukul 20.00. Dia sudah terlalu malas untuk melakukan kegiatan lain, lagipula dia sudah makan malam dalam perjalanannya menuju rumah. Dia tadi makan malam di kafe Rhea, sayangnya Rhea sedang tidak ada di sana.

"Bagaimana jika aku gagal ya? Semua usahaku rasanya sia-sia. Tidak hanya usahaku yang sia-sia, namun juga rasa malu yang harus kutanggung karena berani menghubungi Bu Winona secara langsung. Ahhhh!" Sheren mengusap wajahnya dengan frustasi. Berbagai pemikiran buruk terus menari di benaknya. Dia kemudian memutuskan untuk tidur agar pikiran buruk itu tidak semakin menjadi-jadi.

***

Surabaya, 28 Februari 2020

Hari ini, aku sudah berusaha sekeras yang aku bisa. Semoga saja, usahaku membuahkan hasil. Dan semoga saja, usahaku berjalan lancar.