webnovel

Catatan 21: Impulsif

"Kamu marah sama Mama?"

Sheren melirik Mama dengan pandangan acuh tak acuh. Gadis cantik itu kini tengah sibuk memutar-mutar ponsel di tangannya.

"She? Mama sedang bicara sama kamu," peringat Mama sambil menatap Sheren tajam.

"Aku sedang tidak mau bicara sama Mama," balas Sheren dengan intonasi datar. Ekspresi wajahnya kini berubah sengit.

Mama menghela napas. "Kenapa kemarin kamu seperti itu?"

'Nah kan kejadian'. "Memang kemarin aku kenapa?" Sheren menatap Mama dengan tatapan yang tidak kalah tajam dari Mama. Gadis cantik itu berusaha sekuat mungkin untuk tidak gentar dalam menghadapi Mama. Setidaknya, dia harus berhasil menyuarakan keinginan dan perasaannya yang selama ini terpendam.

"Kamu kemarin tidak sopan pada Adisty. Sebagus apapun kemampuanmu dan sebanyak apapun prestasimu, kamu tetap tidak bernilai jika kamu meninggalkan sopan santun!"

Sheren memutar bola matanya malas. "Oke! Jika aku memang tidak bernilai karena marah padanya kemarin, lantas bagaimana dengan Adisty? Dia jauh lebih hina dari aku dong ya? Karena dia selalu mengadukan segala hal yang kulakukan dan membuatku selalu salah. Oh dan tentu saja dia hobi membesar-besarkan masalah!"

Amarah tampak jelas di wajah Mama. Wanita itu menatap putri bungsunya dengan tatapan tidak suka. "Mama gak pernah mengajari kamu bertingkah laku seperti itu!! Mama selalu mengajari kamu berbagai hal baik dan tidak pernah mengajarimu untuk menjadi pembangkang seperti ini!! Mama sejak kecil memasukkan kamu ke sekolah kepribadian agar kamu bisa tumbuh menjadi wanita anggun, cerdas, dan penuh sopan santun!"

"Benarkah? Tapi Mama mengurungku! Mama mengajariku pelajaran hidup yang sangat berharga! Mama tahu? Pelajaran tentang mengurung anak yang baik dan benar!"

Atmosfer di ruang tamu seketika menyesak. Hawa kemarahan, aura kebencian, serta rasa jengkel terasa sangat pekat di ruang tamu. Pasangan ibu dan anak itu saling menatap dengan pandangan sama tajamnya. Jika tatapan itu bisa membunuh dan melubangi benda, bisa dipastikan bahwa benda-benda di ruang tamu ini pasti hancur berantakan.

Mama lalu berdiri dari duduknya. Manik matanya menatap si bungsu dengan tajam. "Kamu sombong sekali! Baiklah, mari kita lihat seberapa besar kesombongan itu bisa bertahan! Jika kamu kalah dalam kompetisi, Mama akan mencabut semua fasilitasmu. Kamu harus mencari uang untuk membiayai hidupmu sendiri. Tapi jika kamu menang, Mama akan menuruti semua maumu."

"Termasuk memecat Adisty?" Sheren tahu penawaran ini adalah penawaran yang sangat mematikan. Namun, tidak ada salahnya untuk mencoba. Semoga saja keberuntungan masih memihaknya.

"Termasuk memecat Adisty." Ucapan Mama itu sama saja dengan memulai pertaruhan. Pertaruhan yang bisa saja menjungkir balikkan hidup Sheren dalam sekejap. Suara deru mesin sepeda motor menyapa gendang telinga Sheren dan Mama. Itu adalah suara motor Adisty. Sheren lantas berjalan menuju studio musiknya yang ada di rumah ini.

***

Suasana latihan kali ini terasa menegangkan. Adisty mengamati jari-jari Sheren yang dengan lincah menari di atas tuts-tuts berwarna hitam putih itu. Nada-nada yang dihasilkan oleh tuts-tuts itu sempurna, tidak ada kesalahan sedikit pun. Hal ini tentu saja membuat Adisty merasa puas.

"Bagus, She!" Tepuk tangan terdengar saat Sheren selesai menekan tuts terakhir dari lagunya. Pertanda lagu itu telah usai.

Sheren menatap wanita muda itu seraya berkata, "Kak, kemampuanku ini bisa enggak untuk ikut audisi Golden Light?"

"Kok tumben? Kamu tertarik ya?"

"Jawab aja kenapa sih!"

Adisty tertawa mendengar kekesalan Sheren. "Aku rasa itu cukup. Kamu mau ikut? Aku dengar audisinya akan diadakan tujuh hari setelah kepulanganmu dari kompetisi."

"Masak? Tahu dari mana? Poster untuk audisi bulan depan saja belum dirilis."

"Tentu saja aku tahu! Aku punya kenalan yang bekerja di sana," senyum Adisty.

"Jika Kakak punya kenalan yang bekerja di sana, kenapa Kakak gak mencoba melamar di sana? Siapa tahu diterima?" Manik mata Sheren menangkap senyuman pahit terukir di bibir Adisty. Namun, senyum itu tidak lama berada di sana.

"Enggak ah! Aku lebih nyaman menjadi guru les. Lagi pula, tidak ada jaminan aku akan diterima."

"Kamu pengecut dong! Kalah sebelum mencoba!"

Adisty menatap Sheren gemas. "Enggak gitu juga She! Kalau pun diterima, aku juga harus menjalani masa pelatihan yang panjang, dan tidak ada jaminan untuk debut. Kalau seperti itu, lantas bagaimana dengan keluargaku? Semua akan baik-baik saja bila aku berhasil debut. Namun, jika aku tidak berhasil debut, pasti akan menyebabkan kesulitan finansial bagi keluargaku."

"Tapi kamu bukan Tuhan!"

"Aku tahu. Namun, bukan berarti semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk meraih mimpi mereka. Ada orang-orang tertentu yang bisa memiliki kesempatan untuk meraih mimpinya. Namun, ada sebagian lagi yang harus merelakan mimpinya karena kondisi tertentu. Jadi, selagi kamu memiliki kesempatan untuk mengejar mimpimu, kejarlah mimpi itu setinggi dan sesegera mungkin."

Sheren termenung. Adisty ini terkadang pemikirannya cukup bijaksana. Namun, terkadang dia juga cukup menyebalkan.

***

Sheren berguling-guling di atas kasur seusai berlatih piano. Gadis itu tengah merutuki kebodohannya karena dia tidak memiliki rencana yang matang jika dia ternyata kalah di kompetisi piano. Dan bodohnya, Sheren justru terpancing dengan kalimat-kalimat Mama. Lantas, bagaimana jika dia kalah? Apa yang harus dia lakukan? Apakah dia harus menjual pianonya? Atau menjadi guru les seperti Adisty?

Di tengah kebingungannya ini, ponselnya tiba-tiba berdering nyaring. Sheren mengambil ponsel yang berada di samping kepalanya. Gadis itu lalu mengangkat panggilan video dari Kak Felicia. Setelah sambungan itu tersambung, Sheren bisa melihat pemandangan laut yang sangat cantik di Pantai Gili Meno.

"Hai hai adikku sayang! Kamu mau oleh-oleh apa?" Felicia tampak cantik dengan terusan selutut berwarna merah muda. Sebuah topi pantai berukuran lebar berwarna senada dengan pakaiannya semakin mempercantik penampilan wanita muda itu.

"Kakak pulang kapan?"

"Tiga hari lagi. Kenapa? Ada masalah?"

Sheren menggigit bibirnya. Felicia menatap raut wajah Sheren dengan pengertian. Gadis itu tahu bahwa adik sepupunya ini memiliki sesuatu yang ingin disampaikan padanya. Jeda cukup lama dan Felicia menunggu dengan sabar.

"Kak, tadi pagi aku bertengkar dengan Mama karena Adisty. Lalu, Mama memberikan penawaran bahwa Mama akan mengabulkan apapun permintaanku jika aku menang. Lantas, aku mengiyakan tawaran Mama. Namun jika kalah, Mama akan mencabut semua fasilitasku. Aku berkata pada Mama untuk memecat Adisty jika aku menang. Lalu, bagaimana jika aku kalah?"

Felicia tersenyum lembut sambil menatap Sheren. "Enggak apa-apa. Kakak sanggup kok membiayai kamu sampai kamu bisa bekerja sendiri. Mami dan Papi juga sanggup. Enggak apa-apa. Lakukan apa pun yang membuatmu bahagia, asalkan bukan tindakan negatif loh ya!"

Kemudian, Cyrus muncul di layar ponsel Sheren. Pemuda itu berdiri berdampingan dengan Felicia. "Enggak usah dipikirin, She. Nanti aku juga pasti bantuin kok, tenang aja!"

"Tapi kan Kak, kalian pasti butuh banyak biaya. Apalagi kalian akan menikah."

Felicia dan Cyrus tertawa. Mereka merasa gemas dengan tingkah Sheren. Gadis itu memiliki gengsi setinggi Gunung Himalaya. Baik Cyrus dan Felicia tahu bahwa tujuan Sheren bercerita adalah untuk menemukan solusi atas masalah yang dihadapinya. Namun, gadis itu juga gengsi menerima bantuan.

"Udah She! Enggak usah khawatir! Lebih baik lihat pemandangan di belakang kami aja!" Felicia lalu menyorotkan kamera ponselnya ke pemandangan laut yang berada di belakangnya. Pemandangan laut yang cantik itu sedikit membuat perasaan Sheren membaik. Dalam hati, dia bersyukur bisa memiliki kakak sepupu sebaik Felicia.

***

Surabaya, 8 Februari 2020

Aku tahu aku terlalu terbawa perasaan. Dan dengan mudahnya menyetujui kata-kata Mama. Anggap saja aku sudah gila karena menyetujui penawaran Mama tanpa pikir panjang. Yah, aku memang gila dan aku tahu itu. Namun, kegilaanku hari ini cukup membuatku menerima pelajaran berharga.

Next chapter