webnovel

Rintikan Kebahagiaan

Aku lalu dibawa ke Tangerang, pada mulanya aku bersama mamiku di rumah sedangkan papiku bekerja setiap hari selain Minggu. Papiku yang kerjanya keras sampai rela dirinya bolak-balik dari Legok ke Jakarta yaitu Kebayoran, aku waktu itu masih sangat kecil. Tak mengetahui apapun yang sedang papiku perjuangkan dalam hidupnya, tugasku hanyalah belajar membaca dan berlatih terus membiasakan diri untuk berjalan. Sekadar itu saja tugasku pada umurku 2 tahun, tak lebih. Mamiku yang waktu itu tak bekerja hanya dapat mengandalkan uang hasil kerja keras sang suami, jujur aku tak mengerti sedikit pun waktu itu jadi tugasku hanya sekadar ngomong babibubebo.

Sesaat diriku beranjak pada tahun ketigaku, aku mulai merasanya ada perubahan dalam hidupku. Aku yang tadinya hanya sekadar ngomong babibubebo, kini harus mempelajarinya lebih di TK. Ya, aku tak pernah melewati yang namanya Playgroup. Langsung TK A yang aku belajar di Bina Bangsa Legok Permai. Memang tergolong tak bagus, apalagi tempatnya yang hanya berupa sebuah rumah sedang ke besar. Itulah diriku saat TK A, namun sekolah tersebut yang mengajar agama Islam cukup pengertian. Diriku yang beragama Kristen diperbolehkan dimasukkan, aku pula dimasukkan di umurku ketiga karena diriku sudah setara atau bahkan lebih baik dari yang sudah berumur 4 tahun. Aku sudah bisa bernyanyi 3 lagu dengan lancar saat diriku masih berumur dua setengah sampai tiga tahun sedangkan teman-teman lain yang berumur empat satu lagu pun belum tentu dapat dinyanyikannya. Bukanlah bermaksud sombong, tapi hanya sekadar ucapan syukur karena sekolahnya tak menyulitkan mamiku yang berpikiran nyari sekolah itu susah.

Aku pun mulai belajar saat berumur tiga tahun. Sekolah yang mengajar diriku merupakan sekolah Islam sehingga mengharuskan diriku untuk mempelajarinya, aku susah payah mempelajarinya dengan pontang-panting menghafalkan kata-kata yang biasanya digunakan oleh orang muslim. Insyaallah, Astaghfirullah, Allahu Akbar. Hanya itu kata-kata yang kuhafal, namun itu dapat dimaklumi dikarenakan diriku yang memang bukan beragama Islam tapi Kristen. Aku selalu dianggap lulus karena kerja kerasku untuk ingin mempelajarinya, menurutku agama itu tak ada bedanya. Hanyalah kita saja yang mempengaruhi, Kitalah yang terkadang saling membenci satu sama lain. Aku selalu dihina karena waktu itu tempat tinggalku masih tempat mayoritas Islam dan orang Indonesia asli, sedangkan aku sangatlah minoritas yaitu Kristen dan orang Tionghoa. Meski seperti itu, aku tetap teguh dan bertahan. Sebagai minoritas aku pun harusnya tahu diri, bahwa aku tidak mungkin mengajak gaduh dengan mereka yang sebagai mayoritas.

Aku kemudian lulus TK A di Bina Bangsa, Pada saat aku berumur empat setengah tahun. Setelah lulus aku pun harus mencari sekolah baru karena bina bangsa hanya mengajar TK A dan TK B, mengapa aku tak lanjut disana TK Bnya? jawabannya adalah mamiku. Mamiku yang mencarikan diriku sekolah baru, disinilah hidupku dimulai di sekolah baruku yang bernama Pahoa. Aku pada awalnya tak ingin ke sekolah baru, meninggalkan apa yang sudah aku punya di bina bangsa, teman-teman yang telah kubuat di bina bangsa harus lenyap atas perpindahan yang kulakukan ini. Aku selalu bilang ke mamiku untuk tak pindah sekolah, tapi alasan diriku mungkin tak cukup kuat untuk mengalahkan alasan mamiku untuk memindahkan dirimu yaitu mendapatkan ilmu lebih. Aku pun haruslah menyerah demi apa yang mamiku inginkan bagi masa depanku, aku hanya bisa pasrah dan lepaskan segala masa laluku yang akan selalu aku pegang dan kutaruh dalam kenangan yang ada dalam benakku. Nurani harus pula menyerah karena tak memiliki perlindungan dari serangan yang berupa alasan dari mamiku.

Aku terkejut karena aku harus mengulangi seluruh TK A dikarenakan aku tak cukup ilmu untuk masuk ke jenjang TK B. Ya meskipun begitu, aku harus bisa bertahan disini. Apalagi harapan mamiku yang sangat besar terhadapku aku harus bisa bertahan. Setidaknya diriku harus bisa sampai jenjang berikut yaitu SD, cukuplah derita saat TK A karena diriku harus mempelajari bahasa yang benar-benar begitu asing bagi diriku yaitu bahasa mandarin. Aku yang cukup siksa belajar Arab kini aku harus melupakannya begitu saja dan kini harus mempelajari bahasa yang belum pernah aku sebut-sebut sebelumnya. Aku berjuang pula sampai TK B mempelajari hanya Mandarin, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Selain itu di sela waktu-waktu bolong sehabis pelajaran aku selalu saja bermain dengan teman-teman yang baru saja aku kenal. Aku memang merupakan anak yang sangat onar, cerewet, dan juga senang bersosial, namun aku kehilangan semua kemampuan itu. Ya, aku menyebutnya tadi sebagai kemampuan karena tak seluruh sukma dapat melakukannya setiap hari setiap saat. Aku cukup paham hal itu sekarang, sebab diriku kini tak bisa lagi untuk menjadi sosok yang dahulu kala pernah dijadikan alam. Aku yang kini seorang yang tak pernah kenal namanya sahabat asli, teman asli, semuanya kuanggap Bullshit. Berlanjut pada proses.

Proses adalah sebuah kata yang harus kita amati baik-baik, tak hanya kata. Perkataan, sikap, seluruhnya yang dilakukan sukma dan nurani itu bergantung pada proses. Niat pun termasuk unsur dari proses, jikalau engkau niat maka diri engkau akan menjalani proses apapun demi mencapai suatu titik tertentu. Hanyalah sebuah pengertian, apakah diriku dapat melakukan hal tersebut yang disebut proses? Ya... bisa dikatakan iya bisa juga dikatakan tidak. Walau demikian, aku tetap berjuang demi mencapai titik yang mamiku harapkan dari diriku.

Aku akhirnya lulus dari jenjang TK, aku merasa sangat senang karena diriku telah bekerja keras untuk mencapai titik ini. Sebuah titik yang sudah kutaruhkan keringatku pada jenjang yang kududuki, cukup berat nan cukup melelahkan. Hahaha, memangnya TK seberat apa? memang tak berat tapi untuk anak TK itu sudah cukup memalaskan diri. Aku membawa mamiku berfoto saat aku foto kelulusan jenjang TK, cukup mengisikan kenangan-kenangan yang ada. Tapi apa seluruhnya akan baik-baik saja? apakah seluruhnya akan tetap sama? apakah alam akan menetap seperti diriku yang tak ingin untuk bergerak kemana pun? tentu seluruh pertanyaan hanya dapat dijawab dengan sebuah kata tidak. Aku tahu mungkin kebahagiaan pasti tak akan kalanya tak ada, pastilah ada kebahagiaan meskipun hanya setetes. Ada pula kebahagiaan yang diabadikan dengan sebuah tetesan air mata, memang menyedihkan terkadang hidup ini. Dikira alam bahwa dunia sudah cukup menunjukkan keadilan, tapi apakah seluruh hidup kita selalu mendapatkan keadilan? apakah seluruh keluh kesah dapat disolusikan dan mendapatkan hasil yang membaik? tentu tidak kembali. Aku sudah banyak belajar dari TK, bukan hanya baca. Tapi main juga dong hehe.

Menduduki jenjang SD yang disambut dengan awalnya SD 1, hidupku mulailah terasa terbeban dengan sesungguhnya. Aku yang mengira bahwa perjuangan akan berakhir di TK saja memang salah total, diriku memang mengambil keputusan dengan opini dan bukan dengan fakta. Andai jika diriku mengambil seluruh keputusanku dengan penuh pikir dan fakta, pastilah hidup akan tenang. Namun kupikir kembali, apakah jika aku memikirkan seluruh keputusanku maka aku akan senantiasa bahagia dan diwarnai oleh keceriaan setiap saat? tidak pula. Hidup memang terkadang seperti ini, tak diduga namun tak terduga pula akan terjadinya. Aku selalu mengira bahwa hidup ini adalah berkat, berkat diriNyalah aku mendapatkan deritaan ini. Apakah kalau ia tak menciptakan diriku aku akan baik-baik saja? tidak, tapi apakah jika aku tak nyata mereka akan tetap benci dan terbebani dikarenakan diriku? iya saja. Sebuah pengorbanan harus dilakukan sebelum mendapatkan hasil memuaskan, hidup seperti itu pula. Aku selalu berpikir bahwa hanya kedua orang tuaku dan Tuhanlah yang hanya menyayangiku. Ternyata aku salah, kedua orang tuaku sendiri tak bahagia dengan keberadaanku. Aku memanglah sebuah beban, beban yang mungkin tak dapat diringankan. Namun dapat dipermainkan agar terbakar lemak sisa cadangan kehinaan agar dapat menjadi lebih ringan. Segala risau kutemukan selama aku berduduk di kelas 1 SD, meski aku menemukan lagi teman-teman baru. Aku kehilangan pula satu demi satu teman yang telah kukenal sebelumnya, aku mungkin tak peduli diluar umum. Namun apakah semua itu dapat kusembunyikan dari yang ada didalamku? Sukma? Nurani? engkau sudah tahu kan perasaanku? cukup menderita memegang perasaan ini toh? mungkin beberapa telah mendapatkan teman yang dapat diandalkan setiap saat kita sedang dalam masalah atau keadaan genting, namun apakah seluruh itu memang ada dan nyata bagi diriku? apakah masih ada sisa slot bagiku untuk memasukinya dan merasakannya sedikit saja? apakah dunia sudah kehilangan keadilan yang sudah alam ngaku-ngaku punya? memang aku adalah mainan yang dapat dipermainkan setiap saat engkau merasa bosan? oke tak apa-apa. Tapi apakah engkau sudah puas melihat diriku ini tersiksa sangat selama ini? jika iya maka berhentilah melakukan ini, jika tidak maka memang dirikulah yang sangat dibenci sehingga alam pun membenci keberadaan diriku. Aku mengalami banyak pertemuan baru nan perpisahan yang baru, mungkin inikah filosofi dunia bagi diriku? perpisahan adalah awal dari pertemuan. Aku hanya dapat mendefinisikan hidupku di hari pertama aku bersekolah di jenjang 1 SD, namun itu hanyalah hari pertama. Aku rasa esok hari akan lebih baik, akan lebih cerah, akan lebih menggembirakan, akan lebih menceriakan diri. Aku kembali salah. Keesokan hari datang, aku kembali mengalami banyak derita. Apapun itu bentuknya bagai bully, caci maki, kekerasan fisik. Mungkin itu hanya ujian dalam hidupku yang harus aku hadapi, tapi apakah seluruh itu dapat berhenti? aku rasa tidak. Disinilah aku membenarkan diri dengan kesalahan, Mungkin esok hari akan lebih baik. Kalimat itu total salah alias total Bullshit, karena tak ada satu pun manusia yang dapat mengetahui masa depan mereka. Termasuk diriku. Aku menipu diri dengan mengatakan itu, memberikan pengharapan palsu dari diriku ke diriku sendiri. Aku tak sanggup menarik kata-kataku, sebab kurasa itu sudah benar. Terkadang manusia seperti itu. Meski mereka salah, mereka merasa benar karena itulah yang mereka pegang. Pendirian salah kok tetap dipelihara? ciptaan sempurna macam apa?! gini lho... bukanlah sifat dan watak yang menyatakan mereka sebagai ciptaan sempurna, tapi rupa merekalah yang menyatukan bentuk dan rupa mereka bagaikan Allah. Mungkin dunia sudah salah pikir, masa makhluk sempurna penuh dosa? bukan sempurna dong! ya... memang seperti itu. Bukanlah sifat manusia yang membuktikan kesempurnaannya, bukanlah kecantikannya, bukan pula kegantengannya. Lalu apa? dari kelengkapan nurani dan rupa. Apakah manusia yang cacat dapat dibilang sempurna? Tentu! tergantungkanlah diri pada nurani. Sebab nuranilah yang menentukan kesempurnaanmu, bukanlah rupamu!. Manusia sudah salah pikir dan judge, selalu memandang orang dari covernya atau sampulnya. Jujur apakah bagian luar dapat memberikan harapan di masa depan? percayalah, kalau engkau menjadikan sesosok perempuan yang cantik tapi busuk dalam hatinya percayalah engkau tak akan senantiasa bahagia bersamanya. Jika engkau menjadikan sesosok perempuan yang busuk tapi hatinya mulia, percayalah hubunganmu akan abadi sampai daajal menjemput engkau nan dia. Dia adalah bunga yang mekar. Mekar dari mana? dari menutupkan diri kepusatnya menyebar keluar, itukah pemikiran kita toh? lalu tak ada bedanya pula dengan manusia kalau dipikir-pikir kembali dengan akal sehat. Manusia akan lebih mekar dan indah dari dalam meluar, lebih mudah orang jelek menjadi cantik asalkan hati mulia ketimbang cewek canting namun hatinya busuk. Aku sudah beberapa kali mengamati beberapa perfilman, buku fiksi lainnya, maupun dari perkataan guruku di sekolah bahwa segala sesuatu tak bisa dinilai dari fisiknya. Umpaan seperti inilah, jika hp yang rusak dari intinya namun layarnya bagus. Apakah masih dapat digunakan? bagaimana kalau intinya masih mulus dan bagus tapi layarnya rusak? toh tinggal diperbaikkan layarnya dan dapat digunakan kembali bukan? disitulah manusia telah salah sangka terus. Gengsi telah menembuskan sukma mereka masing-masing. Hidupku lanjut kepada hari ketiga, betapa banyaknya ketakutan dalam diriku untuk mendatangi sekolah itu atas apa yang telah aku dapatkan di hari yang pertama dan kedua. Apapun kuterima. Goblok, Geblek, Tolol, Bodoh. Semuanya kuterima dan pada ujungnya haruslah kumaafkan para pelaku. Aku memang kesal namun terkadang selalu saja nurani menahanku untuk bertindak dan memaafkan saja, serahkan seluruhnya pada sang pencipta. Aku tahu itu namun apakah hanya meninggalkan mereka diam mereka akan bisa mendapati pelajaran sedikit pun? tidak kan? apakah seluruhnya harus dimaafkan tanpa adanya pengajaran? tidak juga? lalu apa? membalasnya dan melanggar firman sang pencipta? apakah aku harus membunuh saja segala rasa manusia yang ada dihatiku? apakah aku bukan manusia? apakah aku tak pantas mendapatkan apa yang mereka dapatkan? sudahlah, aku sudah mulai belajar bahwa tak segalanya untuk segala sukma.

Melanjuti hari ketiga aku memasuki sekolah memasuki kelasku yaitu 1 Apollo. Aku memasukinya dengan natural agar tak ada yang mencurigai perasaanku, aku terjantungkan oleh sebuah suara yang muncul tanpa adanya kata pengantar.

"hai Charles"

Inilah Kisah Diriku, Catatan pertama, Candala.

PerintisMimpicreators' thoughts