webnovel

Calon Imamku (Tamat)

Faezya Farzan, seorang mahasiswi jurusan PGMI, dia sering sekali bermimpi bertemu dengan seorang pria berjubah putih berparas rupawan dengan senyu manis, pria itu selalu mengatakan bahwa dia adalah calon istrinya. Faeyza jatuh cinta dengan seorang pria dama mimpi tersebut, berusaha mencari dan terus mencari hingga hatinya tak mampu terbuka untuk pria lain, tak perduli bahwa dirinya akan dianggap gila. Dia hanya ingin bertemu dengan bersama pria tersebut. "Aku hanya inginkan dirimu, calon imamku."

Firanda_Firdaus · History
Not enough ratings
88 Chs

episode 72

Zein membuka matanya setelah beberapa waktu lalu pingsan, dia melihat jam tangannya ternyata waktu sudah sore."Faeyza," panggilnya lemah. Dia baru sadar kalau ternyata sekarang dirinya berada di rumah mertuanya bukan di rumah sendiri.

"Ya Allah, aku baru ingat kalau Faeyza pergi bersama Ulfi. Lebih baik aku menyusul mereka." Zein mencoba untuk bangkit dari tempat duduknya, tapi tubuhnya masih terasa sangat lemah hingga ia memutuskan untuk kembali berbaring.

"Astagdirullah hal adzim, aku tidak boleh lemah, aku harus menyusul mereka." Zein mencoba untuk menguatkan diri, dia mencoba untuk kembali bangkit. Meraih jas yang tersampir di atas kursi.

Di sisi lain, Faeyza dan Ulfi sudah kembali dari acara agustusan. Faeyza sengaja pulang lebih awal karena sangat mengkhawatirkan sang Suami tercinta. Dia masuk ke dalam rumah, ketika hendak masuk ke dalam kamar tak sengaja melihat sang Suami duduk lemas di atas tempat tidur.

Faeyza menghampiri pria tersebut, berlutut di depannya menaruh tangan di atas pangkuan sang Suami."Maz, apa yang terjadi? Apa dada Maz belum sembuh rasa sakitnya?"

Zein mendongak sejenak, bibirnya tersenyum lemah."Maaf, sayank. Sepertinya Maz memang harus banyak istirahat, rasa nyeri itu belum reda meski tadi Maz sempat tertidur."

Faeyza syok mendengarnya, air mata mengalir saat menaruh kepala di atas pangkuan Suaminya."Maz, aku ingin Maz sembuh. Aku takut kalau tidak akan melihat Maz Zein lagi, baru juga aku merasakan hidupku di surga saat bersama Maz Zein."

Uhuk…

Uhuk…

Zein menutup mulut saat terbatuk, khawatir kalau misalnya dia kembali batuk darah dan mengotori baju."Istriku, Maz masih hidup, jangan menangis seperti itu. Maz harus kembali, di rumah Maz bisa panggil dokter pribadi. Kalau kamu masih ingin di sini, Maz tidak akan melarang," lembut dan penuh kasih.

Faeyza mengangkat kepalanya, matanya sembab karena menangis. Zein tidak tega melihatnya, dia mengulurkan tangan menghapus air mata istrinya."Sayank, Maz mohon jangan menangis. Maz minta maaf karena membuatmu merasa sedih, kemari … temani Maz."

Faeyza menurut, dia berdiri dari posisinya lalu duduk di atas pangkuan sang Suami. Tak tega rasanya melihat wajah pria itu pucat kadang mengernyit menahan sakit, siapapun pasti akan tersiksa kalau menderita penyakit jantung.

Gadis itu mengulurkan tangan menyentuh dada Suaminya, membelainya lembut seakan ingin membantu mengusir rasa sakit yang diderita pria tersebut.

Greb…

Zein menangkap tangan sang Istri."Jangn di belai lagi, Maz ini masih normal, sayank. Kalau kamu terus membelainya, Maz khawatir akan memakan mu di sini."

Wajah Faeyza bersemu merah mendengar ucapan sang Suami, dia paham apa yang dimaksud pria tersebut. Ia menyandarkan kepalanya di dada Suaminya."Maz, aku tidak keberatan kalau Maz mau sekarang. Maz adalah Suamiku, aku akan senang dan tidak akan protes."

Zein tersenyum lembut mendengar ucapan sang Istri, dia mulai melepaskan kain kerudung sang Istri ketika hendak memasukkan tangan ke dalam baju gadis itu ponselnya berbunyi.

Faeyza tersenyum maklum melihat ekspresi kecewa sang Suami, dia tahu kalau bagi seorang pria melakukan jimak adalah hal yang sangat tidak ingin diganggu."Maz, tidak apa-apa, Mz jawab saja. Mungkin itu penting bukan?"

Zein mengangguk, dia menurunkan tubuh Faeyza dari pangkuannya lalu bangkit dari tempat duduk dan berjalan mengambil ponsel yang terletak di atas meja kecil dekat tempat tidur.

"Assalamualaikum."

"Kak, Kakak ada dimana? Ayah mencari Kakak." Tanvir sebenarnya sangat malas ketika diminta menghubungi Zein, tapi daripada terus dipelototi oleh Maulana mending nurut saja.

"Kakak di rumah orang tuanya Faeyza, Tanvir. Kenapa Ayah mencari kakak?" tanya Zein heran.

Faeyza meraih kembali kerudungnya lalu memakainya, dia melirik sang Suami yang sedang telponan dengan Tanvir. Dalam hati sang khawatir kalau pria itu akan kembali mendapat masalah ketika berhubungan dengan adiknya.

"Tanyakan sendiri pada Ayah, sebenarnya aku masih sangat marah pada Kakak. Tapi daripada Ayah terus melotot padaku lebih aku telpon kakak saja." Tanvir melirik Maulana yang duduk di kursi kebesarannya, mereka berdua berada di ruang kerja Owner Mizuruky tersebut.

"Baiklah, kakak akan ke rumah Ayah sekarang," balas Zein penuh pengertian.

Maulana mengerutkan kening melihat wajah anak pertamanya terlihat begitu pucat dari layar ponsel Tanvir, ia khawatir kalau penyakit sang buah hati kambuh. Pria itu bangkit dari tempat duduknya lalu mengambil ponsel anak keduanya."Zein, kenapa wajahnya begitu pucat?"

Zein tersenyum simpul."Ayah, Zein baik-baik saja. Hanya tadi memang terasa nyeri, tapi sekarang baik-baik saja. Mungkin karena Zein terlalu memaksakan diri hingga kelelahan membuat jantung juga bekerja lebih keras."

"Zein, kamu harus menjaga kesehatan. Istrimu kasihan, dia pasti sangat khawatir kalau melihatmu menderita," balas Maulana memberi nasehat.

"Iya, Ayah. Aku akan lebih memperhatikan kesehatanku, tapi kenapa tadi Ayah ingin Tanvir menghubungiku? Bukankah Ayah juga punya ponsel? Apakah ponsel Ayah rusak?" balas Zein sopan tapi terdengar menghina di telinga Tanvir dan Maulana, mana ponsel harga mahal miliknya bisa rusak.

"Zein, ponsel Ayah tentu saja masih sangat bagus. Apakah menurutmu Ayahmu ini sudah miskin hingga kalau ponsel rusak tidak bisa membeli lagi?" balas Maulana sedikit sensi, entah kenapa semakin tua bukannya semakin sabar malah sensian kalau terhadap kedua anaknya.

Zein terkekeh kecil, apapun yang dilakukan Ayahnya terasa seperti hiburan tersediri meskipun sang Ayah sedang marah.."Ayah, aku tidak mungkin berani berpikir seperti itu. Baiklah, kalau begitu kenapa Ayah ingin Tanvir menghubungiku?"

Maulana tersenyum lembut."Zein, Ayah dengar kamu dan Tanvir ribut besar di Maula Publisher? Ayah mendapat laporan dari sana, karena itu Ayah ingin kalian pulang lalu kita bicarakan baik-baik. Ibumu sangat merah saat mendengar kamu menampar adikmu hingga terjatuh."

"Baik, Ayah. Aku akan segera ke rumah Ayah," balas Zein sabar.

"Baiklah, Ayah akan tunggu kamu. Kamu memang anak yang baik, Ayah yakin kalau kamu tidak akan melakukan sesuatu tanpa alasan. Tapi kalau bisa, jangan bertengkar dengan Adikmu kecuali itu memang harus dilakukan. Misalnya mempertahankan kehormatanmu sebagai seorang Suami, karena Suami wajib melindungi Istrinya," balas Maulana penuh pengertian.

Tanvir memicing tajam mendengar Ayahnya."Ayah, apakah Ayah berpikir kalau aku sudah menyakiti Faeyza? Aku mencintainya, mana mungkin aku akan melakukan sesuatu yang tidak benar terhadapnya.

"Ayah, aku mengerti. Aku akan selalu menjaga baik-baik amanah Ayah, aku akan berusaha menjadi seperti Ayah. Aku juga tidak akan pernah menganggu Istri orang, karena aku tidak mau sampai dikeluarkan dari umat Muhammad." Zein tersenyum melihat Tanvir sangat kesal, sepertinya sang Ayah tidak menyadari kalau Adiknya memicing tajam.

Maulana mengangguk."Baiklah, Ayah tutup dulu telponnya. Ayah yakin kalau sekarang Ibumu masih sangat kesal, tenang saja Ayah tidak akan memperlakukan anak Ayah dengan berat sebelah."

Zein mengangguk, dia sayang percaya bahwa Maulana adalah seorang pria adil dan jujur, pria itu selalu menjadi panutan baginya. Ia selalu berusaha untuk tidak membuat orang tuaya kecewa."Zein sangat percaya pada Ayah."

Maulana tersenyum, setelah itu dia mematikan sambungan telponnya dan menyerahkan kembali ponsel itu pada buah hatinya.