webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Saya g'ak mau kamu terluka lagi

Kang Untung menggeleng pelan sebagai jawaban dari pertanyaan Cakya.

Sangat terlihat guratan kecewa diwajah Cakya.

Kang Untung menepuk pelan pundak Cakya, "Kamu itu sudah seperti anak saya sendiri", kang Untung bicara dalam makna yang dalam.

"Saya g'ak mau kamu terluka lagi", kang Untung bicara lirih, melanjutkan ucapannya.

***

Gama bergegas mengumpulkan buku-bukunya, setelah pembelajaran ditutup. Satu persatu mahasiswa meninggalkan kelas.

"Gama, bisa keruangan saya sebentar...?", bu Nanya tiba-tiba menahan Gama, saat Gama melewatinya.

Gama tidak merespon pertanyaan bu Nanya, akan tetapi Gama melangkah dibelakang bu Nanya. Sesampainya diruangan bu Nanya langsung mempersilakan Gama untuk duduk.

"Ada apa buk...?", Gama bertanya pelan, sebenarnya Gama sudah bisa menebak bu Nanya akan bicara apa, pasti ini tentang makhluk ajaib keponakannya lagi 'Cakya'.

"Bagaimana keadaan Cakya...?", bu Nanya mulai dengan basa-basinya.

"Alhamdulillah dia baik-baik saja", Gama menjawab malas.

"Sudah 2 minggu dia bolos mata kuliah saya. Bahkan saya dengar dari pihak akademik, Cakya menukar dosen pembimbingnya", bu Nanya memasang muka serius kali ini.

"Saya g'ak tahu pasti buk, minggu lalu setau saya dia ke Garut mengambil data penelitian", Gama masih berusaha melindungi Cakya, dan kehormatan bu Nanya.

"Lalu hari ini...? Kamu tidak bertemu Cakya...? Bukannya dia keponakan kamu...?", bu Nanya kembali menyerang Gama dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.

"Saya g'ak satu rumah dengan Cakya", Gama menjawab pertanyaan bu Nanya dengan jawaban yang diplomatis.

"Kalau kamu bertemu Cakya, bilang untuk telfon saya", bu Nanya mengajukan permintaan sebelum mengakhiri pertemuannya dengan Gama.

Gama hanya mengangguk enggan, "Kalau begitu saya permisi", Gama langsung berlalu dari hadapan bu Nanya.

Gama mengeluarkan HPnya berniat untuk menelfon Cakya. Akan tetapi begitu melihat layar HPnya 3 kali panggilan tidak terjawab dari Wulan. Gama mempercepat langkahnya menuju parkiran.

Gama mengendarai motornya dalam kecepatan tinggi, beruntung karena hampir tengah malam jalanan sepi, hanya butuh 5 menit Gama sudah muncul di rumah Cakya.

Gama mengetuk daun pintu, karena masih mendengar suara televisi yang masih hidup.

Detik berikutnya daun pintu dibuka, terlihat Wulan muncul dari balik daun pintu.

"Assalamu'alaikum", Gama mengucap salam sebelum melangkah masuk kedalam rumah.

"Wa'alaikumsalam...", Wulan menjawab pelan, kemudian mengekor dibelakang Gama setelah menutup daun pintu.

"Kamu nelpon Om, tadi Om ada kuliah. Ada apa...?", Gama bertanya ringan.

Gama meletakkan tasnya asal keatas meja, kemudian menuju arah dispenser untuk mengambil minum.

"Om ketemu bang Cakya di kampus...?", Wulan bertanya bingung karena bukannya Cakya yang muncul, melainkan Gama.

"Justru Om kesini mau nanyain dia, kenapa tu bocah bolos kuliah hari ini...?", Gama malah balik menimpali, meneguk habis minumannya dari dalam gelas.

"Kalau g'ak ke kampus. Terus... Bang Cakya kemana...?", Wulan bertanya bingung.

Gama menaikkan kedua bahunya, sebagai isyarat dia tidak tahu apa-apa.

***

Cakya menggeleng pelan, sebagai tanda dia tidak setuju dengan ucapan kang Untung.

"Cakya butuh penjelasan kang", Cakya masih pada pendiriannya untuk mencari Erfly.

"Terkadang ketidak tahuanmu adalah cara yang terbaik agar kamu terhindar dari luka nak", kang Untung bicara diluar dugaan Cakya.

Cakya mengerutkan keningnya karena tidak yakin kemana arah tujuan ucapan kang Untung barusan.

"Kamu masih muda, ganteng, pekerja keras. Mencari pengganti Erfly bukanlah masalah besar untuk kamu", kang Untung kembali menasehati.

Cakya tidak bergeming sedikitpun.

"Cewek bukan hanya Erfly saja di dunia ini", kang Untung kembali melanjutkan ucapannya, entah bermaksud untuk menghibur Cakya, atau malah sebagai ultimatum pertanda alaram Cakya akan terluka.

"Astagfirullah... Rumah sakit DKT, kenapa Cakya tidak kepikiran", Cakya tiba-tiba bicara setengah berteriak.

Cakya bergegas menaiki motornya.

"Kamu mau kemana...? Ini susah hampir tengah malam", kang Untung bertanya cemas.

"Rumah sakit DKT", Cakya menjawab sesingkat yang dia bisa, kemudian berlalu begitu saja dari hadapan kang Untung.

Sepanjang perjalanan Cakya seakan melayang bersama motornya, hanya butuh waktu 30 menit, Cakya sudah parkir di depan kodim.

Cakya melangkah dengan langkah pasti menyusuri lorong yang sepi, hanya ada penerangan remang dari cahaya lampu di sudut lorong.

Cakya menghentikan langkahnya saat tiba disebuah pintu dengan tulisan Jendral Lukman. Cakya mengetuk perlahan daun pintu, setelah dipersilakan masuk, dengan hati-hati Cakya membuka daun pintu.

"Assalamu'alaikum...", Cakya mengucap salam.

"Wa'alaikumsalam... Cakya...?", pak Lukman tidak percaya akan kedatangan tamu tengah malam begini, sebelumnya pak Lukman mengira yang datang adalah Ardi.

"Silakan duduk", pak Lukman meraih jabatan tangan Cakya, sebelum kembali duduk dikursi singgasananya.

"Terima kasih pak Jendral", Cakya menjawab sungkan, kemudian duduk tepat dihadapan pak Lukman.

"Ada apa ini...? Malam-malam kesini...?", pak Lukman bertanya dengan antusias, tidak mungkin Cakya berani menganggunya malam-malam begini kalau tidak ada yang penting.

"Cakya... Mau minta tolong pak Jendral...", Cakya bicara tidak yakin.

"Apa...? Apa yang bisa saya bantu...?!", pak Lukman menyambut baik tujuan Cakya datang menemuinya.

"Sekitar seminggu yang lalu Erfly dilarikan kerumah sakit DKT, kemudian tiba-tiba dia menghilang tanpa kabar. Apa Cakya bisa tahu seberapa serius sakit Erfly...? Dan dirujuk kerumah sakit mana...?", Cakya memberikan diri untuk langsung menyampaikan tujuannya datang menemui pak Lukman.

"Nama lengkapnya...?", pak Lukman bertanya pelan.

"Butterfly Adijaya...", Cakya menjawab dengan keyakinan penuh.

"Sebentar, saya coba cek dulu kebagian arsip", pak Lukman bicara pelan.

Cakya tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sebagai pengganti jawaban.

5 menit kemudian pak Lukman menutup hubungan telfon, kemudian kembali fokus kepada Cakya.

"Menurut pihak administrasi, rekam medis atas nama pasien tersebut telah dihapus, karena sesuai permintaan pasien dan pihak keluarga", pak Lukman menghentikan ucapannya sejenak, memperhatikan perubahan raut muka Cakya.

"Dari administrasi pihak rumah sakit, pasien minta pulang. Bahkan pasien menandatangani surat pulang secara paksa", pak Lukman kembali menambahkan.

Cakya mengusap mukanya kasar, seolah menemui jalan buntu Cakya tidak dapat menemukan petunjuk kemana Erfly pergi.

"Saya bisa lihat CCTV rumah sakit saat Erfly dipulangkan...?", Cakya kembali bertanya penuh harap.

Setidaknya Cakya harus mencoba segala cara untuk menemukan Erfly.

Pak Lukman memakai kembali kacamata bacanya, kemudian detik berikutnya memainkan jemarinya diatas keyboard laptop.

Setelah menemukan yang dia cari, pak Lukman memutar arah laptopnya kearah Cakya.

Cakya menonton rekaman CCTV yang ada, Cakya membentuk kerutan dikeningnya saat melihat rekaman CCTV.

"Ada apa...?", pak Lukman bertanya bingung saat melihat perubahan wajah Cakya.

Cakya menghentikan rekaman CCTV, "Maaf pak, ini siapa...?", Cakya bertanya pelan, menunjukkan rekaman CCTV kembali ke arah pak Lukman.

Pak Lukman menatap lelaki yang ada di rekaman CCTV yang terhenti.

Pak Lukman meraih HPnya kemudian menelfon seseorang, "Ardi... Kamu bisa keruangan saya...?", pak Lukman bicara pelan, kemudian detik berikutnya menutup hubungan telfon.

Terdengar suara ketukan pintu di menit berikutnya, setelah diizinkan masuk, terlihat Ardi muncul dari balik pintu.

"Maaf, pak Jendral memanggil saya...?", Ardi bertanya dengan posisi formal.

"Coba kamu lihat ini", pak Lukman memutar laptop kearah Ardi.

Ardi menatap layar laptop dengan teliti.

"Siapa itu...?", pak Lukman bertanya penuh harap.

"Rully pak Jendral", Ardi menjawab dengan keyakinan penuh.

"Rully...?", pak Lukman dan Cakya bertanya hampir bersamaan.

"Kolonel Rully, pasukan khusus angkatan udara", Ardi kembali menambahkan penjelasannya.

"Mengapa dia bisa disini...?", pak Lukman kembali bertanya bingung, karena dia tidak mendapatkan pemberitahuan sebelumnya kalau akan ada satuan khusus yang datang ke wilayahnya.