Sudah masuk hari ketiga sejak Cakya pulang dari makam Asri. Cakya sama sekali tidak keluar dari salah satu kamar kosong kosan milik Gama.
Gama melangkah menuju meja makan, begitu sampai di kosan. "Bagaimana Cakya...?", Gama langsung bertanya begitu melihat Adam keluar dari kamarnya.
"Masih sama saja bang, g'ak keluar dari kamarnya", Adam menjawab khawatir dengan keadaan Cakya.
Gama mengangguk pelan sebagai tanda dia mengerti, kemudian mengetuk pelan pintu kamar yang telah dikuasai oleh Cakya beberapa hari belakangan.
Tidak ada tanggapan dari Cakya, begitu pintu dibuka, Gama bisa melihat wajah kusut Cakya yang masih duduk di posisi yang sama seperti sebelumnya. Yang berbeda, kali ini Cakya memeluk gitar kesayangannya.
Cakya memetik senar gitarnya dengan nada paling sendu, kali ini lagu Nineball yang berjudul Bukan untuk menyerah yang mendapat giliran.
'Engkau yang terindah, yang pernah ada di hidupku, kini kau menjauh, tuk bersama dirinya
Mungkin aku salah, tapi bukan aku kalah, mungkin kamu lelah, tapi bukan untuk menyerah
Janganlah pergi dari hidupku, tetaplah di sini temani aku, aku akan mati ditinggalkanmu, aku takkan cari hati yang lain'
Cakya menghentikan permainannya, sangat terlihat jelas Cakya sedang menahan air matanya yang ingin menyerbu keluar.
"Kamu g'ak bisa kayak gini terus...", Gama bicara lirih.
"Om merasa terganggu ya ada Cakya disini...?", Cakya malah bicara diluar dugaan Gama.
"Lho... Kok terganggu sih...? Khawatir iya", Gama malah membalas lembut.
"Maaf Om", Cakya bicara dengan suara paling rendah.
"Kamu jangan lupa, Om pernah ngasih kamu waktu seminggu waktu itu. Sampai sekarang Om sama sekali g'ak ngasih tahu ibu kamu, keberadaan kamu dimana.
Kamu pernah buat janji lho ke Om sebelum kamu ke Garut waktu itu", Gama kembali menarik kembali ingatan Cakya, ke hari dimana Gama memberikan tiket pesawat untuk Cakya ke Garut agar Cakya mencari Erfly.
Cakya mengangguk pelan, "Iya, Cakya ingat kok Om", Cakya bicara dengan suara paling rendah.
"Sudah siang, sebaiknya kita cari makan siang. Udah lama Om g'ak ditraktir sama kamu", Gama berusaha bicara seceria mungkin, kemudian menarik paksa Cakya agar berdiri.
Cakya dengan enggan meletakkan Gitar kesayangannya diatas tempat tidur, kemudian perlahan berdiri. Tiba-tiba dunianya terasa berputar, detik berikutnya semua terlihat gelap.
"Cakya...!!!", Gama menangkap tubuh Cakya yang jatuh pingsan.
Begitu mendengar teriakan panik Gama, penghuni kosan berhamburan datang. Cakya akhirnya dibawa kerumah sakit DKT.
"Bagaimana keadaan Cakya dokter...?", Gama mengejar dokter yang baru keluar dari IGD.
"Dia tidak apa-apa, hanya keletihan. Sepertinya beberapa hari belakangan, dia kurang tidur. Dan... Ditambah kurangnya nutrisi yang masuk kedalam tubuhnya. Sehingga membuat pasien pingsan. Saya sarankan untuk pasien dirawat malam ini, semoga lekas pulih", dokter muda itu bicara panjang lebar.
"Terima kasih dokter", Gama menjabat tangan dokter yang memeriksa keadaan Cakya.
Gama berniat masuk kedalam IGD melihat keadaan Cakya, akan tetapi langkahnya dihentikan oleh panggilan dokter muda yang merawat Cakya.
"Maaf, kalau saya tidak salah ingat, anda... Gama bukan...?", dokter muda itu bertanya dengan penuh keraguan.
"Iya, saya dokter, ada apa...?!", Gama malah balik bertanya.
"Oh... Berarti benar, saya tidak salah orang. Saya pernah melihat anda bertemu dengan dokter Alfa. Dan... Kelihatannya anda cukup dekat dengan adiknya dokter Alfa...", dokter muda itu mengetuk pelan kepalanya dengan jari telunjuk kanannya.
"Erfly...", Gama langsung menyela.
"Ah... Iya, Erfly....", dokter itu bicara dengan tawa yang lebar. "Saya sudah lama tidak mendengar kabar dokter Alfa. Saya Kahfi, rekan kerja dokter Alfa waktu dirumah sakit umum", dokter muda itu bicara panjang lebar.
"Saya kurang tahu dok, terakhir kabar yang saya dengar dokter Alfa keluar negri, karena ada tawaran jadi dosen atau apa gitu...", Gama tidak yakin dengan ucapannya sendiri.
"Dasar manusia aneh yang satu itu, pergi g'ak bilang-bilang. Bahkan sekarang ganti nomor, tidak bisa dihubungi sama sekali", dokter muda itu mengupat karena merasa tidak senang.
"Maaf dok, saya mau mengecek keadaan keponakan saya dulu", Gama langsung mohon diri.
"Oh... Iya, silakan", dokter muda itu mempersilakan Gama untuk masuk ke ruang IGD.
***
Ardi dengan terburu-buru mengetuk pintu ruangan pak Jendral Lukman. Setelah mendapat izin untuk masuk, Ardi langsung berbisik didaun telinga pak Jendral Lukman.
Tidak membutuhkan aba-aba, pak Jendral Lukman langsung berdiri dari posisi duduknya. Melangkah menuju meja resepsionis yang ada disamping ruang IGD rumah sakit DKT.
"Pak Jendral...", suster jaga langsung berdiri, begitu melihat pak Lukman berada dihadapan mejanya.
"Saya bisa minta data pasien atas nama Cakya Utama...?", pak Lukman bicara dengan nada suara tegas seperti biasanya.
Suster itu dengan cepat mencari data yang diminta, kemudian menyerahkan ketangan pak Lukman dengan sopan.
Pak Lukman membaca laporan dengan teliti, "Siapkan kamar VVIP untuk Cakya, segera pindahkan pasien sekarang juga", pak Lukman memberikan perintah.
"Baik pak Jendral", suster itu bicara pelan. Kemudian meraih telfonnya, untuk menghubungi kepala perawat.
Pak Lukman langsung menuju ruang dokter Kahfi yang bertugas merawat Cakya, Ardi dengan setia mengawal dibelakang pak Lukman tanpa mengeluarkan suara sepatah katapun.
Dokter Kahfi terkejut saat melihat pak Lukman muncul diruangan kerjanya. Dokter Kahfi segera berdiri untuk menyambut kedatangan pak Lukman.
"Pak Jendral ada apa...? Kalau ada keperluan, panggil saya saja. Kenapa malah repot-repot keruangan saya...", dokter Kahfi merasa tidak enak, pak Lukman langsung secara pribadi mendatanginya.
Pak Lukman melambaikan tangan kanannya sekilas, kemudian duduk tepat dihadapan dokter Kahfi.
"Tidak apa-apa, saya hanya ingin bertanya soal pasien yang bernama Cakya...", pak Lukman bicara dengan wibawanya yang khas.
"Oh... Cakya Utama, yang baru masuk IGD", dokter Kahfi berusaha meyakinkan kalau dia tidak salah menduga orang.
"Benar, bagaimana keadaannya...?", pak Lukman langsung bertanya dengan cemas.
"Pada dasarnya dia baik-baik saja, keletihan karena kurang tidur, dan... Sepertinya dia sering melewatkan jam makannya", dokter Kahfi bicara apa adanya.
"Apa dia akan baik-baik saja setelah beristirahat disini untuk beberapa hari kedepan...?", pak Lukman langsung memastikan keadaan Cakya akan baik-baik saja.
"Dia hanya perlu di beri cairan infus IV, tapi....", dokter Kahfi tidak melanjutkan ucapannya, karena merasa ada keraguan dalam diagnosa yang dia lakukan.
"Ada apa...?!", pak Lukman bertanya, mengejar jawaban.
"Sebenarnya ada sedikit yang mengganggu saya", dokter Kahfi berusaha untuk jujur.
"Apa itu...?", pak Lukman kembali bertanya.
"Secara fisik, Cakya baik-baik saja. Akan tetapi... Saya jauh lebih khawatir tentang kejiwaan Cakya", dokter Kahfi bicara dengan nada suara paling rendah.
"Maaf, maksud dokter...?", pak Lukman kembali bertanya, keningnya berkerut karena tidak mengerti dengan apa yang baru saja diucapkan oleh dokter Kahfi.
"Sepertinya Cakya sedang mengalami masalah yang serius, dan... Itu jauh lebih bahaya sebenarnya.
Orang yang punya tubuh seperti Cakya, sebenarnya punya toleransi yang kuat terhadap kelelahan. Apalagi dari yang saya tahu, dia petugas pemadam kebakaran, seharusnya sudah biasa dengan latihan yang ekstrim sekalipun.
Akan tetapi... Menurut saya, keadaan mental Cakya saat ini tidak stabil. Itu yang membuat Cakya bisa seperti saat ini. Beban pikirannya yang menekan imunitas ditubuhnya, sehingga Cakya berakhir di IGD rumah sakit kita", dokter Kahfi menjelaskan panjang lebar kepada pak Lukman.
"Apa ini ada hubungannya dengan gadis itu...? Ternyata sebesar itu kamu mencintai dia nak...", pak Lukman bergumam pelan.