webnovel

Erfly menghilang ditelan bumi

Alfa masih sibuk mengecek pasiennya, tidak jarang Alfa menyempatkan waktu untuk bercanda dengan pasien ataupun keluarga pasien.

"Bagaimana suami saya dokter...?", tanya istri salah satu pasiennya.

"Sudah jauh lebih baik, kalau terus begini sepertinya saya akan cepat ditinggal ini", Alfa tertawa renyah.

"Ah... Dokter bisa saja", lelaki yang terbaring di tempat tidur tersenyum.

"Saya pasti kangen sama bapak", Alfa mulai dengan basa-basinya, tangannya menggenggam tangan lelaki itu.

"Dokter sudah menikah...?", istri lelaki itu bertanya penasaran.

"Belum ada yang bersedia menjadi istri saya buk, mungkin karena saya jelek", Alfa merendah.

"Ah... Kata siapa dokter jelek, saya saja kalau masih muda pasti naksir sama dokter", istri lelaki itu bicara polos.

"Bagaimana kalau kita kawin lari saja...?", Alfa melontarkan candaannya.

Lelaki yang berbaring diatas tempat tidur bukannya marah malah tertawa terbahak-bahak.

"Jangan dok, makannya banyak, kasian dokternya beli beras mahal. Hahahaha", lelaki itu kembali tertawa, dan dibalas cubitan diperut oleh istrinya.

"Bapak ini", istri lelaki itu bicara kesal.

Kali ini malah Alfa yang tertawa menikmati kemesraan suami istri dihadapannya.

"Lagian ibuk, pakai tanya dokter Alfa sudah punya istri atau belum segala", lelaki itu bicara sewot.

"Ibuk mau menjodohkan dokter Alfa dengan Nira pak. Pak dokter mau ya jadi menantu saya...?" istri lelaki itu bertanya antusias.

"Maaf dokter, istri saya hanya bercanda", lelaki itu bicara malu.

"Pak... ", kata-kata istri lelaki itu tepotong karena suaminya telah kembali menyela.

"Ibuk, jangan bercanda. Masa anak kita yang bukan apa-apa mau kamu jodoh-jodohin dengan pak dokter. Ngaca buk kita siapa...? Bapak hanya buruh lepas", lelaki itu bicara ketus, sehingga istrinya tidak berani membantah ucapan suaminya lagi.

"Ah... Tidak apa-apa pak", Alfa bicara pelan, kemudian melemparkan senyuman terindahnya. "Kalau begitu saya permisi, masih ada pasien lain lagi yang harus saya cek", Alfa mohon diri, kemudian keluar dari ruangan itu.

Alfa kembali kedalam ruangannya, Alfa mengeluarkan HPnya, menekan salah satu nomor. Setelah sekian lama, tidak ada jawaban dari ujung lain telfon.

"Tumben g'ak diangkat, kemana ini anak...?", Alfa bergumam pelan.

"Ada apa dokter...?", seorang suster menanggapi ucapan Alfa, karena tidak sengaja saat dia masuk membawa pesanan sarapan Alfa, Alfa sedang bergumam tidak jelas.

"Ah... Tidak apa-apa. Adik saya tidak mengangkat telfon. Mungkin masih ada kelas", Alfa bicara pelan.

***

Cakya hanya duduk melamun dibangkunya, Gama menepuk pundak Cakya, membuyarkan lamunan Cakya.

"Jangan ngelamun, kasian ntar ayam tetangga mati", Gama mulai dengan candaannya, kemudian duduk bersandar dikursi Erfly yang kosong sedari pagi.

Cakya malah meraih gitarnya, tangannya sudah mulai sembuh. Tidak kaku lagi seperti kemarin.

"Tadi wali kelas kita juga nanyain Erfly kemana g'ak ada kabarnya. Bahkan pagi sebelum kesekolah Gama jemput dia, rumahnya sepi. Malah kata tetangganya semalam rumahnya gelap, seperti tidak ada orang. Gama telfon juga g'ak diangkat", Gama menjelaskan panjang lebar.

"Ada apa kemarin...?", Cakya bertanya pelan.

"G'ak ada yang spesial sih, hanya saja... Erfly terlihat aneh kemarin", Gama mencoba memutar ingatannya kembali.

Cakya tidak bertanya, hanya menatap Gama menunggu jawaban.

"Dia jadi lebih pendiam tu anak, kebanyakan ngelamun. Makanya Gama anterin pulang, niatnya pagi tadi mau jemput dia, sekalian balikin motor. Erfly menghilang ditelan bumi", Gama bicara bingung.

"Nanti pulang sekolah, Gama coba kerumahnya lagi nanyain Erfly", Gama menawarkan solusi.

***

Alfa masih berusaha menghubungi Erfly. Kali ini bukannya diangkat, malah HP Erfly tidak aktif.

Entah sudah berapa kali Alfa menelepon Erfly dari pagi tadi. Alfa memutuskan untuk mencarinya kerumah Erfly. Alfa takut Erfly kambuh lagi seperti terakhir kali.

Alfa mengetok pintu rumah Erfly, tidak ada jawaban dari dalam. Bahkan tetangga Erfly bilang tidak ada tanda-tanda kehidupan dari semalam.

Alfa merogoh kantong celananya, mengeluarkan kunci mobilnya. Alfa membuka kunci pintu rumah Erfly, kunci itu sengaja di gantung Alfa bersama gantungan kunci mobilnya, takut terjadi apa-apa dia tidak perlu repot lagi mencari kunci rumah Erfly.

"Dek...!!!", Alfa bicara setengah berteriak.

Alfa memeriksa setiap sudut rumah. Bahkan sampai ke kamar Erfly, tidak ada siapa-siapa.

"Kemana ini anak...? Tidak biasa-biasanya dia seperti ini", Alfa bergumam pelan.

"Assalamualaikum...!!!", terdengar suara salam dari arah luar.

Alfa langsung bergegas keluar melihat siapa yang datang.

"Erflynya ada...?", lelaki dengan memakai seragam sekolah bertanya pelan, suaranya sangat kecil, kalau saja Alfa tidak memasang telinganya dengan baik dia tidak akan mungkin mendengar apa yang diucapkan lelaki dihadapannya saat ini.

"Dia tidak ada dirumah, kamu... Teman sekolahnya Erfly...?", Alfa balik bertanya.

Cakya mengangguk pelan.

"Duduk, saya ambilkan minum", Alfa langsung masuk kedalam rumah, sehingga Cakya tidak sempat merespon.

Cakya duduk dibangku teras rumah Erfly. Tidak perlu menunggu lama Alfa kembali keluar, menyerahkan sebotol minuman dingin ke hadapan Cakya. Cakya hanya mengangguk pelan setelah menerima minuman pemberian Alfa.

Alfa langsung mengulurkan tangan kanannya, "Alfa", Alfa menyebutkan namanya.

"Cakya", Cakya menyebutkan namanya saat menjabat tangan Alfa.

"O... Jadi kamu orangnya", Alfa bicara pelan, kemudian manggut-manggut seperti burung pelatuk.

Cakya menatap bingung kearah Alfa, akan tetapi tidak ada suara yang keluar dari bibirnya.

Alfa meneguk minumannya, kemudian bersandar dipunggung kursi.

"Erfly pernah cerita, pas dia mau ke Aroma Pecco malah nyasar ke gunung tujuh. Dan dia ketemu kamu", Alfa menjelaskan.

"Abang...?", ucapan Cakya terputus karena Alfa sudah menyela.

"Kakaknya Erfly. Kita waktu kecil tetanggaan. Jadi sudah seperti adek kakak", Alfa menjelaskan, kemudian kembali meneguk minunannya.

"Kamu kesini mencari Erfly...?", Alfa bertanya bingung, yang dibalas segera dengan anggukan kepala Cakya.

"Berarti dia bolos hari ini, tidak biasa-biasanya dia seperti ini. Bahkan HPnya juga mati. Kemana dia...?", Alfa bergumam pelan.

"Saya pamit", Cakya bicara pelan.

"Oh... Iya", Alfa kaget melihat Cakya sudah berdiri, sepertinya mau pulang.

Cakya menaiki motornya, saat Alfa kembali memanggil namanya. Cakya menahan tangannya dari menghidupkan motor.

"Cakya...", Alfa memanggil, kemudian berdiri didepan motor Cakya.

Cakya hanya menatap Alfa, dengan tangan masih diatas kunci kontak motor.

"Saya titip Erfly", Alfa bicara sungguh-sungguh kali ini.

Cakya menatap Alfa dengan wajah bingung, tidak mengerti maksud ucapan Alfa barusan.

"Dari kecil Erfly adatnya keras, walaupun tomboy, tetap saja dia perempuan.

Seumur hidup dia tidak pernah menangis, bahkan saat ditinggalkan orang tuanya dia hanya diam tanpa suara.

Bahkan saat neneknya meninggal, orang yang menjaganya sejak kecil dia tidak menangis.

Waktu kecil dia pernah jatuh dari sepeda, tempurung lutut kirinya tertusuk kayu, setetespun dia tidak menangis, kalau anak kecil lainnya mungkin sudah guling-guling kesakitan", Alfa menarik nafas berat sebelum melanjutkan omongannya.

"Tapi... Sejak dia kenal kamu, dia sering menangis. Jaga dia, jangan sampai kamu nyakitin dia. Dia gadis yang spesial buat saya", Alfa memberi pituah panjang lebar kepada Cakya.