webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Erfly kesini dan Om g'ak cerita ke Cakya...?

Gama diam sejenak sebelum melanjutkan ucapannya.

"Erfly hanya sebentar disini, dan... G'ak tahu kenapa Erfly tiba-tiba pingsan. Akhirnya dilarikan kerumah sakit DKT", Gama menjelaskan dalam satu nafas.

"Erfly kesini dan Om g'ak cerita ke Cakya...?", Cakya naik pitam mendengarkan penjelasan Gama.

"Gimana Om mau cerita, kamunya saja g'ak bisa dihubungi", Gama malah melempar kesalahan kembali kepada Cakya.

Cakya mengacak rambutnya frustrasi.

"Kapan dia kesini...?", Cakya bertanya dengan nada suara paling rendah.

"Kamu masih di Garut waktu itu", Gama kembali memutar ingatannya.

"Jadi... Dia bilang ada kerjaan mendadak waktu itu, dia ke Sungai Penuh...?", Cakya tidak percaya Erfly bahkan tidak memberitahukan kepada dirinya.

Cakya beranjak dari posisi tidurnya, kemudian meraih jaket dan kunci motornya.

Gama menarik pundak Cakya, "Hei... Kamu mau kemana...?! Kita ada kelas jam 1 nanti", Gama bertanya bingung.

"Kemana aja", Cakya menjawab asal.

Kemudian berlalu pergi dari hadapan Gama.

Cakya mengendarai motornya dengan kecepatan penuh tanpa tujuan sama sekali. Hampir satu jam Cakya menyusuri jalanan. Cakya menghentikan laju motornya saat sadar dia sudah berada dikaki gunung tujuh.

Cakya memarkirkan motornya dengan hati-hati, kemudian duduk diteras pos penjagaan.

Cakya mengeluarkan rokok dari saku celananya, kemudian menghisap dalam rokok yang diselipkan disela jemari tangan kirinya.

"Abang... Mau naik...?", seorang anak lelaki muncul dari dalam rumah.

"Hem...", Cakya bergumam pelan.

"Abang sendiri...?", anak lelaki itu kembali bertanya karena tidak melihat siapa-siapa selain Cakya yang sedang menghisap rokoknya.

Cakya mengangguk pelan, "Kamu siapa...?", Cakya malah balik bertanya, karena baru melihat lelaki yang ada dihadapannya saat ini.

Lelaki itu mengulurkan tangan kanannya untuk berkenalan, "Saya Prabu, pindahan dari luar kota, gantiin mas Satia", lelaki itu bicara dengan penuh semangat.

"Mas Satia...? Lha... Memangnya mas Satia pindah tugas...?!", Cakya mengerutkan keningnya.

Karena terakhir kali dia ke Gunung tujuh, Cakya menghabiskan sepanjang malam untuk bercerita dengan Satia diatas puncak gunung tujuh. Satia bahkan tidak pernah mengangkat tema kalau dia akan pindah tugas.

"G'ak tahu cerita jelasnya bagaimana, tapi... Saya diminta kesini untuk mengisi kekosongan mas Satia", Prabu segera mengakhiri percakapannya.

"Kang Untung dimana...?", Cakya malah balik bertanya.

"Ntar malam jadwalnya kang Untung jaga bang", Prabu menjawab santai.

Cakya langsung meraih buku yang ada disampingnya, kemudian mengisi biodata seperti biasa sebagai standar sebelum melakukan pendakian.

Cakya menepuk pelan pundak Prabu sebelum berlalu memasuki hutan.

***

Ibu Cakya berkeliling menggeledah setiap sudut rumah.

"Bang...!!! Abang...!!!", ibu Cakya sesekali berteriak mencari putra sulungnya.

Wulan muncul dari balik pintu teras rumah, "Abang pergi ma", Wulan bicara pelan, kemudian menuju dispenser, mengisi gelas kosong dengan air hangat.

"Kemana...?!", ibu Cakya mengejar jawaban.

Wulan meneguk minuman dari dalam gelas sebelum menjawab pertanyaan ibunya, "G'ak tahu ma, pas Wulan tanya, abang pergi gitu aja", Wulan menjawab apa adanya.

Ibu Cakya duduk di kursi yang bisa dia raih. Kemudian memijit pelan keningnya yang mulai terasa pening.

"Kemana lagi itu anak...?", ibu Cakya bicara pelan, air matanya mengalir tanpa permisi.

"Wulan coba telfon Om Gama, mana tahu abang kesana", Wulan mencari HPnya kemudian menelfon Gama.

Setelah menunggu beberapa saat, Wulan kembali meletakkan HPnya keatas meja asal.

"Kenapa...?", ibu Cakya bertanya pelan.

"G'ak diangkat ma", Wulan bicara dengan nada kecewa.

Wulan mengambil jaketnya, "Wulan coba cari ditempat biasa bang Cakya nongkrong deh ma", Wulan mengambil inisiatif untuk mencari kakak sulungnya.

"Kamu hati-hati sayang", ibu Cakya bicara lembut.

Wulan hanya mengangguk pelan, "Assalamu'alaikum", Wulan pamit, setelah mencium punggung tangan ibunya.

"Wa'alaikumsalam", ibu Cakya bicara lembut.

***

Cakya masih melangkah perlahan menyusuri hutan, semua kenangannya bersama Erfly menyerbu kedalam ingatannya. Sesekali Cakya menarik nafas berat, merasakan sesak didalam dadanya.

Cakya melangkah keluar dari hutan, danau yang luas menyambut kedatangan Cakya dengan girang. Seperti biasa Cakya memilih untuk merendam kakinya, merasakan dinginnya air pegunungan yang telah lama dia rindukan.

***

Kang Untung datang saat hampir magrib, kang Untung meletakkan barang bawaannya dengan asal, kemudian melangkah kedapur untuk mengambil gelas. Menit berikutnya, kang Untung duduk manis diteras menikmati kopinya.

"Kang, baru datang", Prabu muncul dari arah belakang rumah.

Kang Untung hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan Prabu.

"Oh ya, tadi ada yang nanyain akang", Prabu tiba-tiba teringat soal Cakya, pendaki yang tadi ditemuinya.

"Siapa...?!", kang Untung bertanya pelan, kemudian menyeruput kembali kopinya.

"Cakya...", Prabu bicara pelan.

"Mana dia sekarang...?", kang Untung langsung bertanya.

"Tadi naik, belum turun sampai sekarang kang", Prabu memberikan informasi.

"Sendiri...?", kang Untung kembali bertanya.

"Iya", Prabu menjawab singkat.

"Ada masalah apa lagi itu anak", kang Untung bergumam pelan.

"Kang Untung kenal Cakya...?", Prabu bertanya bingung, karena tidak pernah melihat wajah kang Untung yang demikian khawatir seperti saat ini.

"Cakya udah langganan naik gunung tujuh sejak SMP. Dia bahkan sudah dekat sama penjaga posko", kang Untung memulai ceritanya.

"Hem... G'ak heran dia tadi kaget dengar kalau saya penggantinya mas Satia", Prabu bicara pelan.

"Kamu cerita soal Satia...?", kang Untung langsung tegang begitu mendengar nama Satia disebut-sebut oleh Prabu.

"Iya kang...", Prabu bicara dengan nada cemas, karena takut dia salah bicara.

"Kamu ngomong apa saja...?", kang Untung kembali bertanya sengit.

"G'ak sempat ngomong banyak kang, tadi... Cakya hanya menanyakan mas Satia pindah tugas...?", Prabu menjawab agak bingung.

"Itu saja...? Atau ada yang lain...?", kang Untung kembali meyakinkan.

"Bang Cakya langsung naik gunung", Prabu bicara apa adanya.

"Syukurlah...", kang Untung bicara lega.

"Ada apa kang...?", Prabu bertanya bingung.

"G'ak apa-apa", kang Untung bicara pelan, kemudian kembali konsentrasi dengan kopinya.

***

Cakya memutuskan untuk turun gunung, karena langit sudah mulai gelap. Cakya melangkah dengan sangat hati-hati. Cakya sampai di pos pendakian saat azan isya.

Cakya memutuskan untuk duduk diteras rumah sembari menghilangkan lelahnya. Menit berikutnya kang Untung muncul dari balik daun pintu.

"Cakya... Udah lama...?", kang Untung bertanya pelan, kemudian duduk disamping Cakya.

"Barusan kang", Cakya menjawab santai.

"Udah isya belum...?", kang Untung kembali bertanya.

"Iya kang", Cakya menjawab pelan, kemudian berlalu menuju belakang rumah untuk wudhu.

Cakya segera menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim. Setelah melakukan sholat isya, Cakya kembali memilih duduk diteras rumah bersama kang Untung.

"Bagaimana kabar kamu...?", kang Untung mulai membuka tema pembicaraan.

"Alhamdulillah, baik kang", Cakya menjawab dengan nada paling rendah.

Cakya mengeluarkan rokok dari dalam kantong celananya, kemudian menghisap dalam rokoknya.

"Kemana saja sudah lama g'ak muncul...?", kang Untung tiba-tiba bertanya sembari menyeruput kopinya.

"Ada aja kang, emang agak ribet sama tugas kuliah", Cakya bicara pelan.

"Udah semester berapa kamu...?", kang Untung langsung melemparkan pertanyaan berikutnya.

"Udah semester akhir kang", Cakya menjawab dengan malas.

"Udah mau wisuda kamu sebentar lagi", kang Untung bicara dengan semangatnya.

Cakya tidak membalas ucapan kang Untung, malah menghisap rokoknya semakin dalam. Menghembuskan asap ke udara dengan perlahan.

"Ada apa...?", kang Untung langsung bertanya pada intinya, tidak melakukan percakapan basa-basi lagi.

"Hah...? Apa kang...?", Cakya malah balik bertanya.

"Kamu, kenapa...?", kang Untung kembali bertanya.