webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Epilog

Satia melangkah perlahan menyusuri hutan belantara. Menghirup rakus udara segar pegunungan.

"Awas...!!!", terdengar teriakan seorang perempuan yang meloncat dari atas pohon, tepat mendarat di pelukan Satia. Karena tidak siap dengan gerakan yang tiba-tiba Satia terjerembab jatuh, dengan perempuan itu di atas tubuhnya.

Satu detik... dua detik... tiga detik hening.

"Maaf nona, mau berapa lama anda berada di atas saya...?", Satia bertanya dingin.

"Oh... maaf", perempuan itu segera bangun, begitu perempuan itu mencoba untuk berdiri, perempuan itu langsung mengaduh kesakitan.

Satia spontan segera jongkok memeriksa pergelangan kaki perempuan yang ada di hadapannya saat ini.

"Kamu terkilir", Satia bicara dingin.

Satia segera duduk jongkok di hadapan perempuan itu, "Naik", Satia memberi perintah.

Perempuan itu hanya mengikuti perintah Satia tanpa berani protes, Satia segera melangkah perlahan keluar hutan, tepat setelah perempuan itu naik ke punggungnya.

Begitu keluar hutan, Satia disambut oleh kang Untung.

"Astagfirullah, neng ayak naon...?", (nak kamu kenapa?) kang Untung bertanya bingung.

"Jatuh kang", perempuan itu nyengir kuda.

"Satia pulang kemana...?", kang Untung mengalihkan tatapannya kearah Satia.

"Satia harus kembali ke kesatuan, sudah ditunggu", Satia bicara pelan.

"Kebetulan, sakalian bareng neng Putri", kang Untung langsung meminta Satia untuk mengantarkan Putri.

"Pulang kemana kang...?", Satia bertanya bingung.

"Putrinya pak Jendral Lukman", kang Untung menepuk pelan lengan tangan kanan Satia.

"Boleh", Satia mengangguk pelan, kemudian membantu Putri untuk naik ke mobilnya. Selanjutnya Satia duduk dibelakang stir.

"Kakak baru disini...?", Putri berusaha mencairkan suasana.

"Memangnya kenapa...?", Satia malah balik bertanya, tanpa menoleh kearah Putri sedikitpun.

"Putri tidak pernah lihat kakak, rata-rata semua bawahan pak Jendral, Putri tahu semua", Putri memutuskan untuk menjawab pertanyaan Satia, walaupun dia yang terlebih dahulu bertanya kepada Satia.

"Saya kesini hanya untuk pelatihan gabungan", Satia menjawab pelan.

"Lho... kok bisa di Gunung...?", Putri malah semakin bingung.

"Sebelumnya saya pernah di tugaskan disini. Sekalian mumpung disini, naik gunung melepas kangen", Satia menjelaskan dalam satu nafas.

Putri mengangguk pelan seperti burung pelatuk.

Tidak banyak kata yang terucap, hingga akhirnya Putri tertidur karena merasa kelelahan. Begitu Putri bangun, Putri sudah dalam gendongan Satia menuju kedalam rumah.

Putri menatap wajah Satia lekat, Putri segera memejamkan matanya saat Satia ingin memindahkan tubuhnya keatas tempat tidur. Satia menyelimuti Putri sebelum keluar mengekor pak Jendral Lukman.

"Duduk nak Rully, minum kopi atau teh...?", pak Jendral Lukman menawarkan.

"Air putih hangat saja pak Jendral", Satia segera duduk di ruang tamu.

Hanya butuh beberapa detik, pak Lukman menyerahkan segelas air hangat ke tangan Satia.

"Terima kasih pak Jendral", Satia menerima dengan santun.

"Saya yang seharusnya berterimakasih karena sudah mengantarkan Putri", Pak Jendral Lukman bicara disela senyumnya.

"Sudah berapa lama terakhir kali kita bertemu...?", pak Jendral Lukman bertanya lembut.

"Hampir 7 tahun setelah pernikahan Cakya dan Butterfly", Satia tersenyum hambar.

"Kamu sendiri bagaimana...?", pak Jendral Lukman kembali melemparkan pertanyaan lembut kepada Satia.

"Saya baik-baik saja pak Jendral", Satia memaksakan senyumnya, kembali menyeruput airnya.

"Tidak berfikir untuk mencari pengganti Butterfly...?", pak Jendral Lukman kembali bertanya.

Satia hanya tersenyum tipis.

"Bagaimana pendapat kamu tentang Putri...?", pak Jendral Lukman langsung bertanya to the poin.

"Ah... hahaha...", Satia hanya tertawa salah tingkah.

"Saya bertanya sebagai seorang ayah", pak Jendral Lukman kembali menimpali.

"Saya bukan siapa-siapa pak Jendral, hanya seorang lelaki yang gagal mempertahankan rumah tangganya", Satia tertawa kecil, menyembunyikan perasaan sedihnya karena gagal mempertahankan rumah tangganya dengan Erfly.

"Saya juga hanya seorang ayah, berharap yang terbaik untuk putrinya", pak Jendral Lukman bicara lirih.

Satia kembali meneguk minumannya, berharap untuk tidak perlu menjawab pernyataan pak Jendral Lukman.

"Akhir tahun ini saya sudah pensiun, saya hanya ingin dengan tenang menjalani hari tua saya. Saya sudah mengajukan nak Rully sebagai pengganti posisi saya, dan... saya titip putri bungsu saya", Pak Jendral Lukman memberikan penekanan kepada setiap kata-katanya.

"Saya hanya duda beranak 3 pak Jendral, anda terlalu tinggi menilai saya", Satia bicara tertunduk.

"Saya tidak pernah salah menilai orang nak, tidak ada orang yang bisa saya percaya selain nak Rully", pak Jendral Lukman bicara penuh harap.

***

Satia masih berputar-putar dengan mobilnya, setiap ucapan Pak Jendral Lukman terngiang-ngiang di telinganya.

Satia membelok tajam kearah kanan, kemudian melaju dengan kecepatan tinggi kearah puncak. Satia menghentikan mobilnya tepat di sebuah rumah yang memiliki halaman paling luas. Satia turun dari mobil, dan mengetuk pintu rumah perlahan, kemudian Satia memutuskan untuk menunggu di teras rumah dengan membelakangi daun pintu rumah.

"Mas Satia...?", Cakya yang membuka pintu heran melihat Satia muncul di rumahnya tiba-tiba hampir tengah malam. "Mas mau bertemu anak-anak...?", Cakya berusaha menebak tujuan kedatangan Satia untuk berpamitan karena acara pelatihan telah selesai.

"Bukan", Satia bicara pelan.

"Oh.. mas mau bicara sama Erfly, seben...", Cakya tidak bisa menyelesaikan ucapannya karena Satia sudah menyela ucapan Cakya lebih dahulu.

"Kamu ada waktu sebentar...?", Satia bertanya pelan.

Cakya mengangguk penuh keraguan, masih meraba-raba apa tujuan Satia sebenarnya datang menemuinya tengah malam begini. "Masuk mas", Cakya menawarkan.

"Disini saja", Satia memilih untuk duduk di teras rumah.

Cakya duduk tepat di samping Satia.

"Ada apa mas...?", Cakya bertanya bingung.

Satia merogoh saku celananya, kemudian mengeluarkan sebatang rokok, segera menyelipkannya diantara bibirnya. Kemudian menawarkan kepada Cakya, Cakya memutuskan untuk mengambil sebatang rokok dari tangan Satia.

"Bagaimana Putri menurut kamu...?", Satia akhirnya angkat suara setelah menghisap dalam rokoknya.

"Putri...?", Cakya malah balik bertanya tidak begitu yakin Putri yang dimaksud oleh Satia Putri yang sama yang ada di pikirannya saat ini.

"Iya, putri bungsu pak Jendral", Satia kembali menjawab pelan, kemudian kembali menghisap dalam rokoknya di sela jemari tangannya.

"Putri ya...?", Cakya tertawa kecil sebelum menjawab. "Dia fotocopyannya Erfly mas. Sama-sama kepala batu, peduli, cengeng, sok tegar padahal rapuh, dan... yang pasti dia anaknya gampang bergaul sama siapa saja", Cakya menjelaskan semua yang dia tahu tentang Putri.

"Tunggu-tunggu, kok tiba-tiba mas Satia bertanya soal Putri...? Ada apa ini...?", Cakya langsung menangkap poin maksud kedatangan Satia kerumahnya hampir tengah malam begini.

Satia berdehem pelan, "Pak Jendral meminta saya untuk putrinya", Satia bicara dengan nada suara paling pelan.

Cakya tertawa lepas mendengar pengakuan Satia.

"Kok kamu malah tertawa...?", Satia menatap tidak senang kepada Cakya.

"Lucu saja, mas Satia datang ke sini malam-malam karena syok habis dilamar oleh seorang Jenderal besar. Kalau anggota yang lain pastinya sudah loncat salto kegirangan", Cakya kembali tertawa renyah.

"Sialan", Satia untuk pertama kalinya mengupat dihadapan Cakya, sembari memukul pelan lengan Cakya.

Cakya masih tertawa kecil.

"Putri perempuan yang baik mas", Cakya kembali menghisap dalam rokoknya.

"Tapi... anak-anak...", Satia menghentikan ucapannya.

"Anak-anak sudah besar untuk memilih langkah mereka sendiri. Erfly kecil sudah kuliah kedokteran, katanya mau nanti kalau sudah lulus minta dibuatkan rumah sakit khusus untuk orang yang tidak mampu. Bang Hasan sedang masa pendidikan mengikuti jejak mas Satia. Kak Husen memilih untuk membantu Bundanya di kantor, ya... tetap nge-band prioritas utamanya. Hahaha", Cakya tertawa renyah.

"Si bungsu apa kabar...?", Satia kembali bertanya.

"Cahaya... tahun ini mau masuk TK mas, sudah bisa protes kalau ditinggal piket", Cakya tersenyum mengingat tingkah lucu putri bungsunya bersama Erfly.

"Erca sendiri bagaimana kabarnya...?", Satia tiba-tiba teringat Erca jagoan Cakya.

"Sedang penelitian mas, yah... sambil magang di kantor Erfly, hitung-hitung bantu kerjaan Husen yang suka ngilang", Cakya kembali tertawa renyah.

Satia menghisap dalam rokoknya.

Cakya memegang pundak Satia, "Sudah saatnya mas mengejar kebahagiaan mas sendiri", Cakya tersenyum penuh makna.

Satia akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran pak Jendral Lukman, bahkan Satia memutuskan untuk pindah tugas ke Sungai Penuh mengantikan posisi pak Jendral Lukman yang memutuskan untuk pensiun.

Setiap orang punya caranya sendiri untuk bertemu dengan takdir mereka, hanya tinggal bagaimana kita memutuskan untuk tetap diam, mengutuk keadaan, menghadapi semua, atau berhenti dihadapan pintu yang tertutup. Bisa jadi dibalik pintu itu takdir kita sedang menunggu kita menghampirinya.