Sinta menggenggam jemari tangan kanan Candra. Sebelum berbicara, Sinta melemparkan senyum terbaiknya.
"Dek... Kamu itu lelaki yang bertanggung jawab. Bahkan, kamu sampai menerima dengan tanpa protes semua beban yang seharusnya anak seumur kamu belum terima. Kamu pantas untuk mendapatkan perempuan terbaik untuk mendampingi kamu dek", Sinta bicara panjang lebar, meyakinkan Candra agar tidak putus asa.
"Tapi... Mbak", Candra tidak melanjutkan ucapannya.
"Dek... Kita hanya bisa berusaha. Mungkin keluarganya Wulan hanya butuh waktu saja untuk mengenal kamu dek. Mereka belum tahu siapa kamu. Kamu yang sabar dek, InsyAllah ada jalannya nanti", Sinta kembali menyuntikkan semangat kepada Candra.
"Candra capek mbak, Candra pasrah, biar semua kayak air mengalir saja", Candra bicara pelan, melemparkan senyum sendunya. Sangat jelas terlihat dari mata Candra guratan kesedihan sedang bergelantungan disana.
***
Cakya bangun tepat saat azan subuh berkumandang, Cakya segera berwudhu dan menunaikan kewajibannya sebagai umat beragama yang taat. Setelah sholat Cakya menyempatkan diri untuk mengaji sebentar, kembali menjemput ketenangan dirinya.
Terdengar suara ketukan pintu, setelah Cakya mempersilakan masuk, ibu Cakya muncul dari balik daun pintu.
"Abang lagi capek g'ak...?", ibu Cakya bertanya lembut.
"Kenapa ma...?", Cakya malah balik bertanya.
"Itu... Tio minta diantar kesekolah, papa g'ak bisa nganter, lagi siap-siap ke Kayu Aro. Ada yang mau jual akar pohon teh katanya", ibu Cakya bicara panjang lebar.
Cakya langsung berdiri meletakkan Al Qur'an kembali ke posisi semula, kemudian berdiri merapikan sarung dan sajadah.
Hanya butuh waktu 20 menit, Cakya sudah kembali lagi kedalam kamarnya. Merebahkan tubuhnya diatas kasur dengan nyaman.
Teriakan HP Cakya minta diangkat, Cakya meraih HPnya, kemudian menatap nomor yang muncul di layar HP. Wajahnya langsung membentuk senyum lebar, setelah melihat siapa yang menelfon.
"Assalamu'alaikum...", Cakya mengucap salam dengan demikian lembut.
"Wa'alaikumsalam, kelihatannya sibuk bener ini anak kampus. Sampai-sampai menghilang tanpa kabar", terdengar suara perempuan dari ujung lain telfon.
"Apaan sih", Cakya menjawab asal, kemudian kembali memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman.
"Idih... Dia malah sewot", perempuan di ujung lain telfon malah tertawa puas mendengar nada kesal yang keluar dari mulut Cakya.
"Pacarnya capek juga, semalam pulang larut karena mengambil SP bukannya disemangatin gitu", Cakya pura-pura ngambek.
"U.... Tatian, anak mama capek ya. Lutuna...", Erfly malah tertawa terbahak-bahak.
Cakya meletakkan HPnya diatas kasur setelah membuat mode spiker. Perlahan Cakya meraih gitar kesayangannya kedalam pelukannya. Memetik perlahan senar gitar.
'Kali ini ku mulai berhenti, Berhenti untuk mencintaimu, Telah ku coba untuk bertahan, Aku semakin terluka
Tak mungkin lagi kita teruskan, Bila akhirnya kau tak setia, Meski mencoba untuk bertahan, Aku semakin terluka
Sebenarnya ku tak ingin berpisah, Namun hati tak bisa menerima, Terlalu dalam kau lukai hatiku, Tak sanggup lagi bertahan, Cinta aku menyerah'
Cakya tidak melanjutkan petikan gitarnya, demikian juga dengan nyanyiannya.
Setelah beberapa saat hening, Erfly mulai angkat bicara. "Cakya kenapa...?", Erfly bertanya lembut.
Cakya segera ditarik kembali kedunia nyata, Cakya meletakkan gitar kesampingnya. Kemudian kembali meraih HPnya, menempelkannya kembali kedaun telinganya. Perlahan Cakya kembali merebahkan tubuhnya dengan nyaman keatas kasur.
"Ada yang lagi deketin Wulan...", Cakya bicara lirih.
"Wulan itu cantik, baik, anak yang manis. Ya wajar kali ada yang deketin, apa lagi Wulan udah bukan anak kecil lagi kali", Erfly berusaha sesantai mungkin mengajak Cakya bicara.
"Tapi... Kenapa harus Candra...? Tersangka kasus pelecehan anaknya pak Jendral...? G'ak ada orang lain apa...?", Cakya mulai protes.
"Memangnya kenapa...? Cakya g'ak suka sama Candra...? Apa karena dia mantan napi...? Atau... Karena dia pernah jadi pelaku pelecehan putri bungsunya pak Jendral...?", Erfly malah membombardir Cakya dengan pertanyaan.
"Cakya bukannya g'ak suka sama Candra, Cakya hanya belum bisa nerima dia. Itu saja...", Cakya bicara lirih.
"Cakya itu cemburu sama Candra", Erfly bicara santai, kemudian tertawa renyah.
"Cemburu...? Kenapa...?", Cakya malah bertanya karena bingung dengan pernyataan Erfly.
"Cakya belum bisa terima, kalau Wulan dekat sama laki-laki lain. Selama ini Cakya yang selalu jagain Wulan, Cakya hanya belum siap saja melepaskan Wulan", Erfly menjelaskan panjang lebar.
"Apa iya...?", Cakya malah balik bertanya.
Erfly malah tertawa terbahak-bahak.
"Kok malah ketawa...?", Cakya bertanya kesal.
"Habisnya... Cakya itu lucu. Dari dulu g'ak pernah berubah, gengsian mengakui perasaan sendiri", Erfly langsung bicara tepat pada intinya.
"Terus... Cakya harus bagaimana...?", Cakya malah kembali bertanya, seperti anak kecil yang kehilangan arah.
"Wulan bukan anak kecil lagi, dia sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk buat dia.
Kalau Wulan sudah menetapkan pilihan pada Candra. Itu artinya, ada yang dilihat Wulan dari Candra, yang g'ak dimiliki oleh lelaki lain yang mendekati Wulan.
Cakya jangan terlalu keras sama Wulan, biar bagaimanapun Wulan itu perempuan, g'ak bisa terlalu dikerasin. Kasih kepercayaan buat Wulan menjalani pilihannya, Cakya sebagai kakak hanya perlu mengawasi.
Seiring berjalannya waktu, Cakya bisa menilai sendiri bagaimana Candra, kita do'akan yang terbaik saja buat Wulan", Erfly bicara panjang lebar.
Erfly diam sejenak membiarkan Cakya mencerna setiap ucapannya.
"Cakya jangan terlalu keras sama Wulan, kasian dia", Erfly kembali mengingatkan Cakya.
"Hem...", Cakya bergumam pelan.
"Oh ya, hampir lupa. Tadi bang Gama telfon, katanya Cakya sudah mengajukan judul proposal untuk skripsinya...?", Erfly mengalihkan topik pembicaraan.
"Iya, tinggal mengajukan. Masih ada beberapa perbaikan sedikit, semalam sudah sempat konsultasi sama dosen yang paham masalah judul Cakya", Cakya menjelaskan hanya garis besarnya saja.
"Cie... Kayaknya ada yang ngejar wisuda tahun depan ini", Erfly mulai dengan candaannya.
"InsyAllah, do'ain aja", Cakya membalas santai.
"Aamiin...", Erfly mengaminkan harapan Cakya.
"Udah jam 8 aja, Erfly g'ak kerja...?", Cakya tiba-tiba bertanya.
"Erfly mah pengangguran, jadi kerjanya hanya makan tidur doang", Erfly bicara pelan.
"Bos mah bebas, bobo cantik, pegawai yang kerja", Cakya malah menimpali, dan tertawa renyah.
"Maaf ya pemirsa, Erfly kan punya pohon duit yang bisa panen tiap hari", Erfly malah balik bercanda dan kembali tawa Cakya pecah mendengar lelucon Erfly.
"Cakya laper, Erfly udah sarapan...?", Cakya malah balik bertanya.
"Ini lagi mau berangkat ke Kafe, kata manajer kafe ada yang mau ngajakin kerjasama, dia minta ketemuan pagi ini", Erfly menjelaskan agendanya hari ini.
"Baiklah ibu bos, selamat beraktivitas, semoga harinya menyenangkan", Cakya memberikan semangat sebelum mengakhiri hubungan telfon.
"Cakya juga, jaga kesehatan. Jagan lupa istirahat yang cukup dan makan yang benar", Erfly kembali mengingatkan.
"Siap. Assalamu'alaikum", Cakya mengakhiri dengan salam.
"Wa'alaikumsalam", terdengar Erfly menjawab salam.
Cakya diam sejenak setelah hubungan telfon berakhir. Cakya kembali memutar percakapannya dengan Erfly di telfon didalam otaknya.
Cakya meletakkan HPnya dengan lembut keatas meja, kemudian melangkah perlahan menuju meja makan.
"Abang mau makan...?", ibu Cakya duduk tepat dihadapan Cakya.
Cakya hanya mengangguk pelan.
"Wulan, tolong piring dan gelasnya nak. Abang mau makan", ibu Cakya bicara setengah berteriak.
Detik berikutnya, Wulan muncul dari arah dapur dengan membawa piring, sendok garpu dan gelas.
Wulan meletakkan barang bawaannya kehadapan Cakya dengan hati-hati.
"Duduk dek", Cakya tiba-tiba memberikan perintah.
Wulan menatap wajah ibunya meminta pendapat. Ibu Cakya hanya mengedipkan mata perlahan, meminta Wulan untuk segera melakukan perintah Cakya.