webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Bukannya g'ak percaya, hanya butuh jaminan saja

Nadhira pagi-pagi buta sudah datang kerumah Erfly. Salwa yang menyambut Nadhira didepan pintu.

"Ilennya ada mbak...?", Nadhira bertanya disela senyumnya, menambahkan porsi pemanis pada wajahnya.

"Ada, lagi sarapan", Salwa menjawab sopan.

"Saya masuk saja mbak, terima kasih", Nadhira menepuk-nepuk pelan pundak Salwa.

Nadhira melangkah perlahan menuju meja makan. "Len...", Nadhira bicara pelan. Nadhira tidak mau menghilangkan selera makan Erfly.

"Teteh udah sarapan...?", Erfly bertanya ringan.

"Nanti saja", Nadhira bicara pelan, melemparkan senyum lembutnya.

"Duduk teh, temani Erfly sarapan", Erfly memberi perintah.

Nadhira langsung duduk patuh, mendengarkan instruksi Erfly. Lebih dari 2 tahun Nadhira bersama Erfly, dia sudah cukup hafal kebiasaan Erfly, setiap kata-katanya tidak boleh dibantah. Yang jauh lebih aneh lagi dia tidak pernah suka makan sendirian, entah sejak kapan, yang jelas setiap dia mau makan, Erfly pasti mencari seseorang untuk menemaninya makan. Entah anak kecil yang ketemu dijalan, atau malah Erfly tidak segan-segan meminta pelayan restoran menemaninya makan. Erfly tidak masalah siapapun itu, yang pasti dia tidak mau menyantap makanan sendirian.

Tidak ada suara yang keluar selama proses makan, baik itu dari mulut Erfly ataupun Nadhira. Mereka berdua fokus dengan makanan yang ada dimeja. Pagi ini, Erfly minta dibuatkan nasi goreng seafood kesukaannya.

Selang beberapa menit kemudian, Erfly dan Nadhira sudah selesai mengisi perut mereka.

Erfly memilih ke ruang kerjanya, agar lebih leluasa berbicara dengan Nadhira.

"Ada apa teh...?", Erfly bertanya pelan, setelah Nadhira duduk tepat dihadapannya.

Nadhira menyerahkan sebuah map kehadapan Erfly, tidak perlu kata-kata Erfly langsung membaca isi map dengan teliti.

"Terima kasih teh", Erfly bicara pelan, kemudian kembali menutup map yang ada ditangannya.

"Kalau mengenai proposal itu, mereka minta bertemu nanti jam 10", Nadhira memberikan informasi.

"Dimana...?", Erfly bertanya ringan.

"Mereka minta di kafe dekat kantor kita", Nadhira menjawab perlahan.

"G'ak masalah. Ntar teteh ikut Erfly. Kita kesana jam 11", Erfly bicara pelan.

Nadhira mengerutkan keningnya, bingung mengapa Erfly minta berangkat jam 11, padahal Nadhira jelas-jelas bilang mereka janjian jam 10. Nadhira tidak berani membantah ucapan Erfly.

Erfly menatap Nadhira, "Kenapa teh...? Kok bingung gitu...?", Erfly bertanya pelan.

"G'ak...", Nadhira bicara ragu.

"Ilen dengar, mereka minta ketemu jam 10", Erfly bicara diluar dugaan Nadhira.

"Hah...?", Nadhira bingung mau menanggapi apa dari ucapan Erfly sebelumnya.

"Ntar teteh akan tahu setelah pertemuan nanti", Erfly bicara pelan, terdengar ucapan misterius dari nada suara Erfly, yang membuat Nadhira semakin penasaran.

Salwa mengetuk pintu pelan, setelah mendapat izin untuk masuk Salwa langsung berjalan perlahan menghampiri Erfly dan Nadhira.

Erfly menyerahkan map yang ada dihadapannya ketangan Salwa.

"Apa ini...?", Salwa bertanya bingung.

"Mbak baca aja", Erfly bicara pelan, Erfly malah sibuk dengan laporan yang ada dihadapannya saat ini.

"Len... Ini...", Salwa tidak bisa meneruskan ucapannya, karena air matanya menyerbu keluar dari pelupuk matanya.

"Ilen sengaja ngambil kelas Sabtu Minggu, jadi... Mbak g'ak perlu keluar dari sini", Erfly bicara pelan.

"Terima kasih Len", Salwa menjabat tangan Erfly, dan berusaha mencium punggung tangan Erfly.

Erfly menarik paksa tangannya, "G'ak pantas, mbak cium tangan Ilen", Erfly bicara lirih. "Teh Nadhira yang ngurusin semuanya", Erfly kembali menambahkan.

Salwa langsung meraih tangan Nadhira, dan berusaha mencium tangan Nadhira. Akan tetapi Nadhira malah langsung menarik Salwa kedalam pelukannya.

"Mbak Salwa bisa bawa motor...?", Erfly tiba-tiba bertanya.

"Bisa...", Salwa menjawab bingung.

"Punya sim...?!", Erfly kembali bertanya.

"Belum", Salwa menggeleng pelan.

"Mbak Salwa urusin sim hari ini, minta anter pak supir aja", Erfly kembali bicara pelan.

"Buat apa...?", Salwa kembali bertanya bingung.

"Ntar mbak kuliahnya bawa motor aja. Yang di garasi", Erfly kembali menjelaskan.

"G'ak perlu, Saya bisa naik angkot atau ojek aja", Salwa berusaha menolak karena merasa tidak enak.

Erfly menatap wajah Salwa dengan tatapan elangnya. Salwa langsung tertunduk takut. Nadhira malah tertawa geli melihat pemandangan yang ada di hadapannya.

"Iyain aja. Nona besar kita g'ak suka dibantah", Nadhira nyeletuk asal.

"Terima kasih Len...", Salwa mengangguk sopan.

"Mbak bisa keluar", Erfly bicara pelan, melanjutkan pekerjaannya.

Sesuai rencana, Erfly dan Nadhira menuju ketempat pertemuan jam 11.00 Wib. Kali ini menggunakan mobil Nadhira, Erfly dan Nadhira tidak menggunakan supir, karena Nadhira yang langsung menyetir. Erfly tidak menggunakan kursi roda, melainkan membawa kruk untuk membantunya berjalan nantinya.

Nadhira turun lebih dulu, untuk membantu Erfly turun dari mobil. Erfly sudah akrab dengan tambahan kaki di lengannya.

Setelah memasuki kafe, Erfly dan Nadhira langsung menuju saung yang terletak paling ujung kafe. Terlihat 2 orang lelaki sedang duduk dengan muka yang sudah sangat kesal, menurut pelayan kafe, mereka sudah lebih dari 1 jam duduk disana.

"Maaf kita telat, tadi ada yang harus diselesaikan dulu di kantor", Nadhira buka suara, setelah menghampiri 2 orang lelaki itu.

"Oh... Tidak apa-apa buk", salah satu lelaki itu bicara dengan senyumnya, berusaha seramah mungkin kepada Erfly dan Nadhira.

"Ini Ilen, bos perusahaan kita", Nadhira memperkenalkan Erfly, setelah duduk berhadapan dengan 2 orang lelaki yang tadi.

2 orang lelaki itu langsung menyalami Erfly dengan santun, kemudian menyebutkan nama mereka.

"Saya tidak menyangka kalau pimpinan perusahaan semuda ini...?!", salah satu dari lelaki itu bicara disela tawanya, berusaha mencairkan suasana.

Akan tetapi, baik Erfly ataupun Nadhira tidak ada yang merespon satupun. Mereka hanya memasang muka datar seperti sebelumnya.

Lelaki itu pun berdehem pelan, "Em... Kita makan dulu", salah satu lelaki memanggil salah satu pelayan kafe.

"Nanti saja. Kita lanjutkan presentasinya dulu", Erfly bicara dingin.

"Baik... Tidak... Apa-apa...", lelaki tadi bicara tergagap.

2 lelaki itu menunda pesanan makanan mereka, langsung presentasi proposal kerjasama yang mereka ajukan seminggu yang lalu.

Erfly tidak mengeluarkan suara, atau bahkan merespon presentasi 2 lelaki yang ada dihadapannya. Setengah jam berikutnya 2 lelaki itu menyelesaikan presentasi mereka.

"Bagaimana buk...? Kapan kita bisa mengirim furniturnya...?", salah satu lelaki bicara dengan antusias.

"Anda bisa coba isi 1 perumahan dulu besok, baru kita bicarakan soal kontrak kerja sama", Erfly menanggapi dingin.

"Maaf... Ibuk tidak percaya dengan kita...?", salah satu lelaki itu malah tersulut emosi.

"Bukannya g'ak percaya, hanya butuh jaminan saja", Erfly kembali bicara dingin.

"Bukankah kerjasama itu pondasinya adalah saling percaya...?", salah satu lelaki kembali berargumen.

"Ini bisnis. Prinsip saya dalam melakukan bisnis realistis. Karena bukan hanya saya saja yang bergantung dalam bisnis ini. Melainkan ribuan karyawan", Erfly menjelaskan panjang lebar.

"Ternyata bukan hanya muda, kamu juga penuh perhitungan", lelaki yang jauh lebih tua manggut-manggut pelan.

"Saya g'ak boleh main-main. Ribuan keluarga pegawai bergantung dipundak saya", Erfly menjawab dengan nada dingin yang sama.

"Oke... Oke...! Besok ibuk bisa lihat furnitur yang langsung diisi ke rumah percontohan", lelaki yang lebih tua bicara dengan keyakinan yang kuat.

"Kalau begitu saya permisi", Erfly meraih kruknya.

"Oh... Jangan, setidaknya saya traktir makan siang", lelaki yang lebih tua berusaha menahan Erfly dan Nadhira.

"Masih ada tempat lagi yang harus saya datangi, terima kasih atas tawarannya", Erfly bicara pelan, kemudian berlalu bersama Nadhira, setelah menjabat tangan kedua lelaki yang ada dihadapannya secara bergantian.

Erfly duduk manis dibangku penumpang, sedangkan Nadhira sudah siap dibelakang setir.

"Teteh mau nanya apa...?", Erfly bertanya pelan, dengan tidak mengalihkan tatapannya dari layar HP ditangannya.

Nadhira cengengesan, "Kelihatan banget ya...?", Nadhira bertanya pelan.

Erfly hanya tersenyum menanggapi ucapan Nadhira.

"Kenapa Ilen meminta mereka untuk menunggu begitu lama...?", Nadhira bertanya ragu.

"G'ak ada alasan khusus, hanya ingin lihat seberapa serius mereka butuh uang", Erfly menjawab asal.

Nadhira malah tertawa mendengar ucapan Erfly, "Terus...? Kenapa Ilen memilih langsung pulang, tidak menerima tawaran makan siang mereka...?", Nadhira kembali bertanya bingung.

"Ilen g'ak mau mereka kira, karna Ilen masih bocah, bisa mereka sogok dengan makanan. Dari awal kita datang, sangat jelas wajah kesal mereka, sampai melihat kita, baru sok imut. Nafsu Ilen hilang, makan bersama orang seperti itu", Erfly menjawab dingin.

"Satu lagi...", Nadhira mengacungkan jari telunjuk kanannya.

"Hem...", Erfly bergumam pelan.

"Kenapa Ilen minta mereka mengisi satu rumah dengan furnitur, baru mau menandatangani kontrak dengan mereka...?", Nadhira bertanya bingung.