webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Aku g'ak pernah merasa lebih hancur dari ini

Cakya membuka pintu rumahnya perlahan, mencari kesetiap sudut tidak ada siapa-siapa. Cakya memutuskan untuk kembali ke kamarnya untuk beristirahat, akan tetapi HP Cakya tiba-tiba berteriak minta diangkat. Cakya segera mengangkat telfon yang masuk begitu melihat nomor yang muncul milik si bungsu Tio.

"Assalamu'alaikum...", Cakya bicara lirih, sangat terdengar suara lelah dari nada suaranya.

"Wa'alaikumsalam, abang dimana...?", Tio bicara dengan nada ketakutan.

"Di rumah, kamu dimana...?", Cakya langsung bertanya, Cakya tahu Tio sedang tidak baik-baik saja saat ini.

"Rumah...", Tio menjawab lirih.

"Abang kesana sekarang", Cakya langsung mengakhiri hubungan telfon.

Cakya kembali meraih jaketnya, kemudian menyerbu kunci motor yang tergantung. Entah dengan kecepatan berapa, Cakya akhirnya hanya butuh waktu kurang dari setengah perjalanan normal kali ini. Cakya segera membuka pintu utama rumahnya.

Tidak seperti biasa, ada pecahan beling dimana-mana. Akan tetapi tidak ada siapa-siapa diruang tamu. Cakya segera mengecek kamar Tio, mencari dimana si bungsu berada saat ini.

"Tio...?", Cakya segera berlari menghampiri Tio yang bersembunyi dibawah kolong meja.

Begitu melihat Cakya, Tio langsung menyerbu kepelukan Cakya, tangisnya pecah sejadi-jadinya.

Cakya hanya diam membisu, sesekali mengusap punggung Tio agar Tio lebih tenang. 5 menit kemudian tangis Tio mulai mereda, Cakya memutuskan untuk melepaskan pelukannya. Cakya menatap lekat wajah Tio, Wajah Tio pucat pasi, seperti mayat hidup saja.

"Ada apa...? Kenapa ruang tamu berantakan...? Kemana yang lain...?", Cakya bertanya lirih.

"Mama di toko", Tio bicara dengan suara paling pelan.

"Lalu...?", Cakya kembali menunggu jawaban selanjutnya.

"Papa baru pulang dari Kayu Aro, saat uni Wulan tiba-tiba pulang. Ni Wulan bertengkar hebat dengan papa, bahkan barang-barang pecah karena di banting uni Wulan karena emosi", Tio bicara dengan suara paling pelan.

"Dimana uni Wulan sekarang...?", Cakya kembali bertanya, dia harus memastikan keadaan Wulan baik-baik saja untuk saat ini, Cakya takut Wulan gelap mata.

Tio menggeleng pelan, "Tio g'ak tahu, satelah bertengkar Tio langsung masuk kamar. Yang terakhir Tio dengar hanya papa teriak berkali-kali memanggil nama uni...", Tio bicara dengan wajah sendu.

"G'ak apa-apa, papa kemana...?", Cakya kembali bertanya dengan sangat hati-hati.

"Papa pergi dengan membanting pintu tidak lama setelah uni pergi...", Tio menjawab pelan, tatapannya masih sangat jelas terpancar ketakutan.

Cakya segera mengeluarkan HPnya, menekan nomor Wulan.

"Assalamu'alaikum Cakya...", terdengar suara perempuan mengangkat telfon milik Wulan.

"Wa'alaikumsalam, Mayang...?", Cakya bertanya bingung.

"Wulan lagi tidur di kamar staf klinik Mayang", Mayang menjelaskan perlahan.

"Cakya kesana sekarang. Assalamu'alaikum", Cakya langsung mengakhiri hubungan telfon.

"Wa'alaikumsalam...", Mayang menjawab pelan.

Cakya kembali mengantongi HPnya.

"Abang harus keluar nyari Wulan", Cakya bicara pelan.

Tio tidak merespon, akan tetapi malah meremas ujung jaket Cakya. Cakya berfikir sejenak, diam beberapa saat kemudian angkat bicara.

"Tio abang antar ke kosannya Om Gama, kamu bisa istirahat di kamarnya Adam", Cakya menawarkan solusi.

Tio hanya mengangguk pelan. Menit berikutnya Cakya dan Tio sudah menaiki motor menuju ke kosan Gama.

"Assalamu'alaikum...", Cakya mengucap salam begitu masuk ke dalam pintu pagar rumah.

"Wa'alaikumsalam...", hampir semua penghuni kosan yang sedang duduk-duduk di teras rumah menjawab bersamaan.

"Tio udah pulang...?", Cakya bertanya pelan.

"Di dalam bang, sholat kayaknya baru pulang soalnya", salah satu penghuni kosan menjawab pelan.

"Masuk ya", Cakya bicara pelan, kemudian berlalu bersama Tio masuk kedalam rumah.

Begitu Cakya membuka pintu kamar Adam, Adam baru saja selesai sholat. Adam langsung meraih jemari tangan Cakya, menciumnya dengan penuh perasaan takzim.

"Bang Cakya nyari bang Gama...?", Adam bertanya sopan.

"G'ak, abang mau nitip Tio, lagi kurang enak badan dianya. Dirumah g'ak ada siapa-siapa, abang mau keluar sebentar", Cakya menjawab sekenanya.

"Oh... Istirahat aja", Adam langsung mengambil tasnya yang ada di atas tempat tidur.

Tio langsung naik keatas tempat tidur.

"Kamu mau makan apa...? Abang beliin sebelum pergi?", Cakya kembali bertanya.

"G'ak apa-apa bang, Tio udah makan tadi", Tio bicara lirih.

"Ya udah, abang tinggal ya", Cakya kembali bicara pelan, kemudian mengacak asal pucuk kepala Tio sebelum pergi.

Cakya segera menuju klinik Mayang, karena tidak ada jadwal praktek. Mayang hanya ada beberapa jadwal konsultasi nanti malam, sehingga bisa duduk santai dimeja kerjanya saat Cakya muncul.

"Dimana Wulan...?", Cakya bertanya pelan.

"Masih tidur", Mayang menjawab pelan, kemudian menunjuk pintu yang ada di samping kanannya.

"Cakya masuk ya", Cakya meminta izin kepada Mayang.

Mayang hanya mengangguk pelan, "Jangan dipaksa, biar Wulan tenang dulu", Mayang mengingatkan Cakya.

Cakya hanya mengangguk pelan, kemudian membuka perlahan daun pintu. Wulan masih berbaring membelakangi daun pintu. Cakya perlahan duduk diatas tempat tidur.

"Lan...", Cakya bicara lirih.

Wulan langsung bangun dari posisi tidurnya, menyerbu kepelukan Cakya. Wulan menangis sejadi-jadinya, Cakya bingung harus berbuat apa menerima perlakuan Wulan yang tiba-tiba. Mayang masih berdiri kaku di daun pintu, sama bingungnya dengan Cakya.

"Ada apa...?", Cakya bertanya setelah Wulan sedikit tenang, dan tangisnya mereda.

"Wulan ketemu Candra, dia bilang Wulan disuruh tanya ke papa kenapa dia bisa meninggalkan Wulan. Apa yang sudah papa lakukan terhadap perusahaan Wiratama", Wulan menjelaskan dengan sesegukan menahan tangis.

"Lalu...?", Cakya kembali bertanya.

"Wulan bertengkar hebat sama papa, akhirnya papa mengaku kalah. Papa jujur, papa menggunakan konekainya untuk membuat perusahaan Candra bangkrut", Wulan bicara dengan nada putus asa.

Cakya mengusap kasar mukanya, "Astagfirullah...", Cakya beristigfar untuk menenangkan dirinya.

Wulan menatap wajah Cakya yang terlihat kelelahan, "Abang dari mana...?", Wulan tiba-tiba bertanya pelan, bingung karena jaket Cakya ada noda tanah.

"Oh... Abang dari Lombok", Cakya bicara jujur.

"Lombok...? Ngapain...?", Wulan bertanya semakin bingung.

"Kemarin ada anak KPA yang jatuh ke jurang, abang nganterin ke sana", Cakya menjawab sekenanya.

"Kenapa mesti abang...? Kan ada teman-temannya...?", Wulan kembali mengejar jawaban.

"Em... Abang mengejar jawaban", Cakya bicara pelan.

"Maksudnya...?", Wulan bertanya semakin bingung.

"Anak yang jatuh itu... Anaknya Erfly...", Cakya akhirnya bicara jujur.

Wulan merasa kaget, tidak percaya kalau Cakya akhirnya bisa menemukan keberadaan Erfly setelah bertahun-tahun. Tapi... Kenapa harus sekarang...? Wulan berontak kepada garis takdir.

"Abang g'ak perlu kejar kak Erfly lagi", Wulan bicara lirih, diluar dugaan Cakya.

"Maksud kamu...?", Cakya bertanya bingung.

"Kak Erfly g'ak akan pernah mau ketemu dan berurusan dengan keluarga kita lagi", Wulan kembali menggantung jawabannya.

"Kamu bicara apa...?", Cakya mulai tidak sabar dengan jawaban Wulan yang bertele-tele.

"Selain menghancurkan perusahaan pak Wiratama. Papa otomatis membuat kerugian yang tidak sedikit untuk perusahaan kak Erfly", Wulan bicara dengan nada ketakutan.

"Maksud kamu...?", Cakya kembali mengejar jawaban.

"Papa bekerjaaama dengan temannya untuk menipu perusahaan properti milik Adijaya. Papa berjanji memasukkan furnitur ke proyek perumahan yang di kerjakan perusahaan Adijaya. Papa minta dibayar 80% dimuka, dengan alasan bahan baku sulit didapatkan. Setelah pembayaran selesai, papa menghilang tidak bisa dihubungi. Perusahaan Adijaya nyaris bangkrut, dan... Akhirnya terjadi kecelakaan, kak Erfly kehilangan kakinya dan ayah ibu kak Erfly meninggal di tempat. Beruntung kak Erfly bergerak cepat, dia menjual beberapa Vila miliknya untuk menutupi kerugian, sehingga perusahaan bisa diselamatkan. Kalau tidak entah berapa orang yang akan menjadi pengangguran", Wulan menjelaskan panjang lebar.

Seperti di siram seember air es, tubuh Cakya kaku mendengar setiap kata perkata yang keluar dari mulut Wulan.

"Kamu... Tahu dari mana semua itu...?", Cakya tidak percaya begitu saja dengan ucapan Wulan.

"Wulan paksa Candra cerita semuanya. Setelah Wulan bertengkar hebat dengan papa.

Ternyata jadi dalang dari pembunuhan keluarga kak Erfly belum cukup, papa malah kembali menipu perusahaan Adijaya sepuluh tahun lalu.

Kak Erfly bayar orang buat nyelidiki, dan... Kak Erfly sendiri yang datang mencari otak dibalik semuanya. Kak Erfly dikasih alamat otak dibalik semua kejadian itu, dan... Itu rumah... Istri tua papa", Wulan bicara perlahan, dengan susah payah menyelesaikan kalimatnya.

Cakya turun dari tempat tidur, kemudian berjalan perlahan mendekati jendela. Detik berikutnya kepalan tinjunya mendarat berkali-kali ke dinding. Sehingga dinding putih ruangan itu di beri bercak darah Cakya. Wulan menyerbu memeluk Cakya dari belakang, dengan tangisnya, hatinya sama hancurnya dengan Cakya.

Cakya perlahan duduk lemas jatuh kelantai, Wulan tidak melepaskan pelukannya. "Aku g'ak pernah merasa lebih hancur dari ini. Ini terlalu sakit...", Cakya bicara dengan air mata tertahan.