"Maaf, jika karakterku jauh dari kriteriamu.
"Maaf, membuatmu risih dengan harapku yang begitu dalam
"Maaf, karena aku bersikap biasa, meski sejatinya berada di dekatmu membuatku begitu bahagia."
- Asyifa
***
"Kamu habis dari mana As, sampai ngos-ngosan gitu?" Asyifa menatap Nadira yang bertanya kepadanya. Ia hanya tersenyum dan menggelengkan kepala, seolah berkata 'tidak apa-apa'.
Nadira hanya mampu tersenyum simpul mendapat jawaban seperti itu. Andai bukan Asyifa, mungkin ia akan menampol, atau paling tidak mencubitnya. Namun, ini sahabatnya, Asyifa. Ia tahu betul bagaimana sifat sahabatnya itu.
Nadira memiringkan kepala melihat Mukhtar yang berlari dan berhenti tepat di depan pintu kelasnya. Nadira kembali menatap Asyifa yang kini sedang membelakanginya dengan meneguk air mineral. Nadira ingin memberitahu tentang kehadiran Mukhtar, tapi sepertinya Asyifa sedang berusaha untuk menenangkan diri, atau lebih tepatnya menetralkan deruh napas.
Nadira menghampiri Mukhtar yang juga sedang ngos-ngosan.
"Ada apa?" Nadira bersuara ketika sudah sampai di depan Mukhtar.
"Eh, Si Manja. Hem ... bisa panggilin Asyifa, nggak?"
Nadira yang terbiasa dipanggil 'Manja' itu sedikit keberatan. Ia menghela napas sambil menatap ke sembarang arah.
"Bisa gak sih, jangan panggil aku kayak gitu ...," lirih Nadira. Entah itu pertanyaan atau perintah, namun suaranya begitu kecil, hingga tak dapat didengar jelas oleh Mukhtar.
"Hah? Apa?" Mukhtar mendongak dengan posisi yang masih membungkukkan badan. Karena samar-samar ia mendengar perkataan Nadira, namun tidak begitu jelas.
Gadis itu memutar bola matanya malas. "Gak jadi," ucapnya lalu menoleh ke belakang. "As! dipanggil sama ... Mukhtar, nih!" teriak Nadira sedikit ragu ke dalam kelas.
Asyifa terperanjat kaget melihat Mukhtar berada di depan kelasnya. Asyifa menunduk lesu kemudian menghampiri Nadira dan Mukhtar.
"Apa?" jutek Asyifa ketika sampai di depan Mukhtar.
"Nih, uang kamu," ucap Mukhtar menyodorkan selembar uang yang diberikan kakak tadi.
Asyifa dan Nadira menatap uang sepuluh ribu itu.
"Bukannya tadi sudah kubilang 'ambil saja'," balas Asyifa tanpa menyentuh uang itu sedikit pun.
"Tidak bisa. Uang tetap uang!" Mukhtar bersikukuh dengan pendiriannya.
Asyifa menatap Mukhtar jengah. Hanya perihal uang sepuluh ribu yang dibagi dua, tapi kenapa malah jadi rumit seperti ini? Lagipula gadis ini sudah ikhlas dengan uang lima ribu itu, hitung-hitung sedekah. Namun, ia lupa jika Mukhtar tipikal orang yang pantang menerima, dan lebih senang memberi.
Mukhtar kembali menatap Asyifa. "Atau besok aku traktir makan bakso?"
"Bakso? Di mana?" tanya Nadira antusias.
"Lah, Si Manja gak tau. Ituloh, kantin favorit sekolah, Mang Pepet. Yang ...." Mukhtar mengangkat jari telunjuknya, Nadira melakukan hal serupa.
"Halal dengan daging sapi pilihan, seratus persen higienis!" seru Mukhtar dan Nadira bersamaan. Mereka kompak tertawa setelah mengatakan itu. Jargon yang menjadi andalan kantin Mang Pepet. Bahkan sudah tak lazim di telinga para siswa.
"Gimana, Fa? Mau, 'kan?" tanya pemuda tampan itu sekali lagi.
"Enggak! Ajak Nadira saja." Asyifa menatap Nadira. Seketika gadis yang ditatap itu membulatkan mata.
"Ha? Cu-cuma aku?" tanya Nadira sedikit terbata. Asyifa hanya mengangguk.
"Oke, aku akan ajak Si Manja, tapi kamu juga."
Nadira tersenyum sumringah. "Beneran?"
"Eits..! Bayar sendiri."
Gadis itu langsung mengerucutkan bibirnya. "Yah ...." Nadira beralih menatap Asyifa. "Gak papa deh, yang penting Asyifa ikut."
"Kalian berdua saja."
"Gak bisa gitu, dong. Tanpa kamu mah, kurang lengkap," ucap Nadira.
Asyifa menghela napas, kemudian menggeleng pelan. Ia kurang nyaman dengan keramaian. Sedangkan di kantin Mang Pepet, hampir setiap hari pelanggan berdesak-desakan. Membayangkannya saja, sudah mampu membuat ia risih.
"Emang kamu mau kami berduaan?" Mukhtar menimpali. Seketika Asyifa menatap Nadira. Keningnya spontan mengerut saat melihat pipi Nadira bersemu merah. Ia kembali menatap Mukhtar.
"Baiklah, aku ikut," putus Asyifa kemudian. Ia tidak akan membiarkan kedua sahabatnya itu berdua-duaan. Mereka yang ber-khalwat, tapi Asyifa yang mendapat dosanya? Tidak boleh, sangat tidak boleh.
Kini Nadira menatap Asyifa, begitu pun sebaliknya. Nadira berpikir kenapa Asyifa tidak membiarkannya bersama dengan Mukhtar? Sedangkan Asyifa sendiri memikirkan kenapa pipi Nadira tadi bersemu merah?
'Apa Asyifa menyukai Mukhtar?'
'Apa Nadira menyukai Mukhtar?' pikir keduanya bersamaan.
"Ekhem..!" Deheman dari Mukhtar membuat kedua gadis ini terbangun dari lamunan mereka.
Karena mendapat tatapan tajam baik dari Asyifa dan Nadira membuat Mukhtar mengerutkan alis bingung. "Kenapa?"
Kedua gadis itu kompak mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. "Gak papa," balas keduanya bersamaan.
"Kalau gitu, besok kalian aku tunggu di kantin Mang Pepet, oke?" Asyifa dan Nadira hanya mengangguk.
Setelah mengucap salam, Mukhtar pun pergi dari tempat itu, meninggalkan kedua sahabat ini dengan pikiran yang menduga-duga.
"As, kamu suka sama Mukhtar, 'kan?" celetuk Nadira dengan menggigit bibir bawahnya, lalu menatap ke samping kiri.
Asyifa menoleh ke Nadira dengan kerutan yang tercetak jelas di dahinya. Seketika ia terkekeh pelan mendengar pertanyaan sahabatnya barusan.
Nadira menatap Asyifa heran. "Kenapa ketawa? Kalau kamu suka, bilang aja."
"Enggaklah. Dia 'kan sahabatku." Asyifa tak habis pikir, kenapa Nadira bisa berkata seperti itu.
"Kan banyak tuh di sinetron-sinetron 'sahabat jadi cinta'," jelas Nadira yang merasa yakin jika Asyifa memang menyukai Mukhtar.
"Ini real life, Nadira, bukan sinetron."
Setelah mengatakan itu, tatapan Asyifa menjadi lurus ke depan, ke kelas sebelah–XI IPA 2– atau lebih tepatnya, kelas orang yang ia kagumi.
Tatapan Asyifa menjadi suram, pasalnya sudah beberapa hari ini Asyifa tidak pernah melihat dia lagi.
'Kenapa akhir-akhir ini, dia jarang kelihatan, ya? Apa dia sakit? Atau ada hal lain? Tapi apa?'
Nadira mengikuti arah tatap sahabatnya itu. Seketika mata Nadira membulat sempurna.
"Astaga, As!" teriak Nadira setelah melihat kelas sebelah. Lamunan Asyifa buyar seketika.
"Kenapa sih, Nadira?" protesnya karena mendapat teriakan yang begitu keras dari gadis yang ada di depannya itu. Ia lantas meniup tangannya yang sedikit menggepal dan berongga itu, lalu memindahkannya ke telinga sebanyak dua kali, untuk mengurangi dengungan.
Nadira memegang kedua pundak Asyifa, dan menggoyang-goyangkannya. "Dhafa!" serunya setelah itu.
Deg!
Pupil mata Asyifa sejenak melebar. Napasnya memburuh, dengan jantung yang tiba-tiba berdetak kencang. Perlahan ia mulai meremas roknya, berusaha menetralkan detak jantungnya yang tak karuan itu.
"Da--Dha-fa, kenapa?" Asyifa menggigit bibir bawahnya, sambil memejamkan mata. Kenapa ia harus gugup seperti ini? Padahal hanya masalah nama?
Asyifa menatap takut wanita yang masih memegang pundaknya itu. Karena jika Nadira sampai curiga, bisa gawat.
"Kamu kenapa, As?" Nadira menatap Asyifa intens, membuat wanita yang ditatap ini menelan susah salivanya.
"A--aku? Emang a-ku kenapa?" Sial! Lagi-lagi dia terbata. Hal itu membuat Nadira semakin memicingkan matanya.
"Kamu kenapa jadi gugup gitu?" Nadira meremas pundak Asyifa, membuat gadis lesung pipit ini mencubit dirinya sendiri, mencoba untuk bersikap santai.
"Hm ... gugup? Enggak kok." Asyifa tersenyum kikuk. Jeda sepersekian detik, ia menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan.
"Tadi kamu bilang apa?" ujarnya berusaha mengalihkan perhatian.
Mendadak Nadira kembali membulatkan mata. "Ya Allah, As! Ayo ikut aku." Nadira berlari dan menarik tangan Asyifa.
"Kema--na ...," nada Asyifa berhenti seketika. Ia mencubit paha Nadira, namun tak digubris oleh sang sahabat. Asyifa merasa kesal karena telah ditarik sembarangan, apalagi ke depan kelas yang ia tatap tadi.
Nadira mengedarkan pandangannya mencari sosok Dhafa, sedangkan Asyifa hanya mampu menunduk meratapi nasib, memikirkan kenapa Nadira harus ke sini, dan kenapa harus dia yang diajaknya?
"Dhafa!!" teriak Nadira ke dalam ruangan. Seketika Asyifa menelan susah salivanya, lagi. Jantungnya kembali berdetak abnormal, apalagi ketika pendengarannya menangkap suara derap langkah yang semakin mendekat. Astagfirullah, Ya Allah.
"Kenapa, Ra?"
Asyifa tertegun mendengar suara bariton dari pria itu. Kini detakan jantungnya sudah tak bisa digambarkan lagi. Hanya mendengar suara Dhafa, tapi mampu membuat organ pemompa darahnya itu berdetak gila seperti sekarang? Asyifa kembali meremas roknya. Ia semakin menunduk, berharap tak ada yang mendengar suara jantungnya itu. Ya, jangan sampai Nadira mendengarnya, apalagi Dhafa. Oh tidak! Jangan sampai.
'Wahai jantung, kumohon diamlah! Jangan libatkan aku dalam masalahmu,' batin Asyifa memohon agar degupan itu berkurang meski hanya sedikit. Akan lebih baik lagi jika bisa berdetak seperti biasa saja.
Padahal ia sudah sering mendengar suara Dhafa jika mengadakan rapat rohis, tapi entah kenapa, suara Dhafa memang terkesan berbeda jika tidak seformal waktu rapat.
"Tadi dipanggil Pak Qori, katanya rapat Boston." Nadira mencoba mengingat-ingat kejadian beberapa jam yang lalu. Saat masih pelajaran olahraga, dia disuruh mengumpulkan tugas kelasnya di kantor guru. Saat itu, pak Qori memanggilnya, dan menyuruh agar ia memberitahu Dhafa jika akan ada rapat di sekret Boston–Basket Olahraga SMA Gadafton Bangsa.
"Telat!"
"Eh, beneran?" Nadira terkejut. Ia jadi merasa bersalah karena lupa memberitahu.
"Ya, tadi saya sudah dari sana. Lain kali, kalau dikasih amanah, langsung sampein ke orangnya. Bukannya kau tau sendiri, ciri-ciri orang munafik ada tiga, dan salah satunya gak nyampein amanah?!" tegas Dhafa menatap tajam ke arah Nadira.
Nadira menatap Dhafa tak kalah tajam. "Ini juga udah gue sampein, cuma kelupaan tadi. Lagian lo juga bisa ngomong baik-baik. Judes amat jadi cowok!"
Padahal yang salah di sini adalah dia. Hanya saja, Nadira tidak suka jika Dhafa bersikap seperti itu kepadanya.
Sedangkan Asyifa yang masih menunduk menautkan kedua alisnya, berusaha mencerna perdebatan yang terjadi. Nadira memang sudah biasa memakai lo-gue jika sedang marah. Namun, Asyifa tak menyangka hal itu akan terjadi meski kepada Dhafa. Bahkan ia sampai memakinya. Ada apa ini? Kenapa mereka terlihat akrab?