webnovel

BUTTERFLY'S ETERNAL LOVE (Bukan Liang Zhu)

Seorang gadis yang bernama Zhiwei mengalami time slip ke zaman dinasti Jin Timur. Dia bersama Shanbo, Yinfeng, dan Yingtai melakukan petualangan untuk mengumpulkan empat perhiasan batu Liang Zhu. Apakah Zhiwei bisa pulang kembali ke masa depan?

Maria_Ispri · Fantasy
Not enough ratings
33 Chs

BAB 18

Air sungai yang tenang tiba-tiba beriak saat seorang laki-laki keluar dari dalam air. Sosoknya yang tinggi keluar dari dalam air lalu berjalan menuju ke tepian.

"Sini-sini," teriak Zhiwei lalu berjalan menuju ke arah Shanbo yang barusan menyelam kesekian kalinya ke dalam sungai yang dingin.

"Keringkan dulu, pakai ini," ucap Zhiwei sambil mengelap wajah Shanbo lalu menyelimuti lelaki itu dengan kain yang lebar.

Shanbo duduk di dekat api unggun. Tubuhnya gemetar kedinginan, tapi api unggun yang menyala membagi kehangatannya.

"Apakah kau menemukannya?" tanya Zhiwei penasaran sambil mengangsurkan baju kering pada Shanbo.

"Aku tak menemukannya. Bisa jadi cincinmu jatuh saat kedua lelaki itu membawamu kemari," ujar Shanbo.

Zhiwei yang duduk di dekat api unggun terlihat kecewa.

"Apakah cincin itu sungguh berharga?" tanya Shanbo yang menyadari wajah Zhiwei berubah sedih.

"Semalam aku bermimpi seorang perempuan yang dikurung dalam sebuah ruangan memberikan cincin itu pada seorang gadis kecil. Aku merasa itu adalah aku. Dia berpesan agar cincin itu tak jatuh pada siapa pun. Sekarang malah hilang. Siapa perempuan itu, aku tak tahu. Jika dia memang ibuku, berarti cincin itu satu-satunya yang ditinggalkan ibu untukku," terang Zhiwei.

Mereka diam sesaat memikirkan kemungkinan-kemungkinan dimana jatuhnya cincin milik Zhiwei.

"Aku mendapat informasi tentang keluarga Zhu dari kepala desa tadi pagi. Beberapa hari yang lalu orang dari mereka datang ke desa ini dan naik ke Gunung Lembah Ungu. Anehnya, mereka pergi dari desa ini bersamaan dengan kejadian yang menimpamu. Salah satunya adalah Tuan Muda Weiyan anak sulung keluarga Zhu. Entah apa yang mereka lakukan, tapi menurut saksi mata, mereka akhirnya pulang ke Jiankang. Tuan Muda Weiyan dikabarkan sakit setelah naik ke gunung dan segera dibawa kembali ke kota," terang Shanbo.

"Menurutmu apakah kejadian yang menimpaku ada kaitannya dengan keluarga Zhu?" tanya Zhiwei.

Shanbo mengangguk. Zhiwei terlihat sedih.

"Apakah diriku ada kaitannya dengan Tuan Muda Weiyan itu?" tanya Zhiwei dalam hati.

"Izinkan aku ikut denganmu ke Jiankang," cetus Zhiwei.

Shanbo mengernyitkan dahi. Lelaki itu tak langsung menyetujui. Tak pantas jika seorang lelaki dan perempuan tinggal bersama apalagi di kota yang jauh dari orang tua.

"Kau janji padaku untuk membantuku mencari jati diri dan menyibak misteri percobaan pembunuhan yang menimpaku," ujar Zhiwei sambil menatap penuh harap pada Shanbo yang masih diam berpikir.

"Baiklah," ucap Shanbo pada akhirnya.

Wajah Zhiwei cerah seketika. Gadis itu bertepuk tangan kegirangan. Shanbo tersenyum melihat Zhiwei ceria, tanpa sadar wajahnya terasa hangat, bukan karena hangatnya api unggun yang ada di dekatnya, tapi hatinya yang mulai mencair.

"Lihat, langit mulai merubah gunung menjadi ungu," ucap Zhiwei sambil menunjuk Gunung Lembah Ungu yang berubah warna menjadi ungu karena pantulan cahaya senja yang sebentar lagi turun.

"Kita pulang, ibu pasti sudah khawatir," ajak Shanbo lalu melipat selimut yang menutupi tubuhnya.

Mereka berdua berjalan menuju desa melalui jalanan setapak sambil menikmati indahnya warna perubahan alam yang unik di Desa Lembah Ungu.

***

Shanbo berjalan menuju gunung saat hari mulai terang. Kabut tipis menutupi pandangan, tapi bagi Shanbo yang lahir dan besar di lembah Gunung Ungu hal itu tak menjadi masalah. Dia memahami setiap sisi gunung seperti mengenal ibunya sendiri.

Shanbo berjalan menuju tebing. Dia melihat sekitar. Ada semak-semak yang rusak, bekas seretan benda berat di tanah yang terlihat sudah samar, jejak-jejak kuda. Shanbo menuju tubir tebing. Dia melongokkan kepala ke bawah, di bawah sana sebuah sungai dalam mengalir tenang di antara pepohonan yang lebat. Lelaki berintuisi tajam itu berjongkok. Dia melihat semak pendek di pinggir jurang juga patah, rerumputan lesak. Shanbo memikirkan sebuah kesimpulan.

"Dia jatuh dari tebing ini, dan gadis itu dibawa pergi," gumam Shanbo.

Lelaki itu berjalan mendekat pada rerumputan yang tak jauh dari tempatnya berjongkok. Bercak darah kering di rumput dan di tanah.

"Dia terluka sebelum jatuh. Pantas langsung dibawa pulang. Mereka ingin menutupi semuanya, tapi tak cukup pintar. Namun, siapa perempuan yang menunggunya di sini? Siapa sebenarnya kau, Zhiwei?" gumam Shanbo lalu beranjak meninggalkan tempat itu lalu turun kembali ke lembah.

***

Keesokan harinya Zhiwei pamit kepada Nyonya Liang untuk berangkat ke Jiankang bersama Shanbo.

"Nyonya, saya pamit. Terima kasih atas kebaikanmu selama ini," ucap Zhiwei sambil merendah memberi hormat.

Nyonya Liang mendekat lalu mengelus wajah Zhiwei.

"Shanbo, jaga Nona Zhiwei. Berikan saja suratku pada bibimu, dia akan paham apa yang kuminta," pinta Nyonya Liang.

"Baik, Bu."

Shanbo dan Zhiwei berangkat ke Jiankang dengan berjalan kaki. Zhiwei berhenti lalu menoleh ke belakang. Gadis itu melambaikan tangannya tinggi-tinggi pada Nyonya Liang yang masih melihat mereka berdua menjauh dari rumah.

"Sampai jumpa, Bu!" teriak Zhiwei.

Nyonya Liang tersenyum. Dia merasa seperti berpisah dengan anak gadisnya sendiri. Shanbo juga ikut tersenyum. Dia menatap Zhiwei yang terlihat bersemangat.

***

Zhiwei dan Shanbo ikut naik sebuah gerobak seorang petani yang membawa sayuran menuju ke sebuah desa yang lebih besar dan ramai dibanding Lembah Ungu. Sesampainya di sebuah kedai, mereka turun dan berterima kasih pada sang petani yang berkenan membawa mereka. Zhiwei memandang sekeliling desa yang ramai. Sebuah desa saja seramai itu, apalagi ibukota. Zhiwei merasa bersemangat ingin segera melihat kota.

"Eh, kita makan di kedai itu. Sangat terkenal dengan bebek panggangnya. Ayo!" ajak Shanbo.

Zhiwei mengangguk lalu mengikuti Shanbo.

Mereka masuk ke dalam kedai, lalu duduk di bagian teras atas. Shanbo memesan makanan, sedangkan Zhiwei melihat pemandangan desa dari balkon atas. Terdengar suara tambur dan terompet di kejauhan. Suaranya semakin lama semakin dekat bersamaan dengan sebuah arak-arakan yang aneh. Ada seorang perempuan berbaju sutera merah hijau ditandu menuju keluar desa. Para shaman yang mengiringi arak-arakan menari-nari di bagian depan barisan.

Masyarakat memberikan jalan. Tak sedikit di antara mereka yang berbisik-bisik. Zhiwei melihat di kejauhan ada seorang gadis kecil menangisi kepergian arak-arakan. Dia meronta dan berkali-kali hendak berlari mengejar, tapi seorang lelaki tua yang juga berwajah murung selalu berhasil mengejar dan menangkapnya.

"Eh, arak-arakan apa itu?" tanya Shanbo pada pelayan yang mengantarkan makanan.

"Oh, itu arak-arakan gadis yang dipersembahkan pada dewa sungai,"

Zhiwei membulatkan matanya.

"Eh, kasihan. Masih ada kebiasaan seperti itu," batin Zhiwei.

"Kau tak ingin menolong gadis itu? Lihat," ucap Zhiwei sambil menunjuk gadis kecil yang menangis di pinggir jalan.

Shanbo melihat ke arah yang ditunjuk Zhiwei.

"Aku tak ingin ikut campur urusan orang lain," ucap Shanbo lalu memakan bebek panggang yang ada di hadapannya.

"Iiish, kau ini polisi. Mana rasa keadilanmu," ucap Zhiwei sambil menepuk tangan Shanbo yang sibuk menyuwir daging.

"Itu sudah jadi adat mereka, aku tak ingin ikut campur. Makanlah, kita hanya orang lewat saja di desa ini," terang Shanbo.

Zhiwei menatap dengan kecewa pada Shanbo. gadis itu merasa adat pengorbanan manusia itu sungguh kejam. Jika dia mampu menghentikannya, Zhiwei ingin sekali menyelamatkan gadis yang sedang duduk di kursi tandu. Zhiwei mengalah, akhirnya dia ikut makan. Shanbo yang melihat wajah murung Zhiwei akhirnya merasa bersalah. Dia mengambil potongan daging, lalu menaruhnya ke dalam mangkok Zhiwei.

"Makan yang kenyang. Malam ini kita menginap di desa ini. Aku akan mencari kuda untuk melanjutkan perjalanan agar kita segera sampai," ucap Shanbo.

"Ya," jawab Zhiwei masih tidak semangat.

***

Malam gelap tanpa sinar bulan. Zhiwei merasa ingin buang air. Dia keluar dari kamar penginapan lalu keluar menuju kamar mandi yang terpisah dari bangunan penginapan. Saat menyusuri lorong teras tiba-tiba terdengar suara teriakan perempuan dari arah belakang penginapan. Zhiwei menghentikan langkahnya.

"Mayaaaat ... ada mayaaat," teriak suara perempuan.

Zhiwei yang penasaran berlari menuju ke bagian belakang penginapan. Dia melihat seorang perempuan jatuh terduduk sambil menunjuk ke arah bangunan kamar mandi. Perempuan itu menangis karena ketakutan.

"Apa yang terjadi?" tanya Zhiwei.

"Di dalam situ ... di dalam situ ...," ucap si perempuan gugup sambil telunjuknya menunjuk ke arah bangunan kamar mandi.

Shanbo dan beberapa orang juga ikut datang melihat apa yang terjadi. Zhiwei berjalan perlahan menuju bangunan kamar mandi. Shanbo menahannya, lalu berjalan di depan Zhiwei. Perlahan Shanbo membuka pintu kayu. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat di ujung lorong, seonggok mayat manusia yang terpotong-potong digeletakkan begitu saja di lantai.

Zhiwei mengernyit lalu menutup hidungnya karena bau anyir darah begitu pekat di dalam ruangan.

"Lebih baik kau keluar, beritahu pemilik penginapan untuk melapor ke polisi dan kepala desa setempat," perintah Shanbo.

Zhiwei patuh lalu keluar dari bangunan kamar mandi.

Shanbo mendekati mayat yang tergeletak di lantai. Darah tercecer dimana-mana. Tubuh mayat itu terpotong enam bagian dengan bagian kepala yang diberdirikan menghadap ke dinding. Shanbo melihat ke arah dinding. Di sana terdapat sebuah tulisan yang menggunakan darah. Tulisan itu dibaca SANJIVA.