webnovel

Konflik Sepasang Kekasih 1

"Hans, gue pengen putus. Kapan lu bosen sama gue?" Kata Dika dingin. Dia tidak berusaha menyembunyikan kebenciannya sama sekali. Dia sudah lelah pada Hans yang masih saja egois. Laki-laki yang sepertinya masih kekasihnya ini tidak mau melepaskannya meskipun sudah punya keluarga sempurna.

"Lu tunggu aja. Yang jelas bukan sekarang." Jawab Hans ringan. Dia sudah biasa menghadapi kebencian ini. Tidak ada getar dari suaranya. Meskipun Dika jelas-jelas dongkol, Hans malah memeluk lebih erat. "Ayo pulang." Katanya lagi.

"Gue masih bau cat. Mau mandi dulu." Kata Dika yang kemudian melepaskan tangan Hans dari pinggangnya. Setelah berbalik, dia melihat Hans yang lebih tinggi lima centimeter darinya, tersenyum. Senyum indah itu bisa membuat Hans mendapatkan apapun dari siapapun. Dika pun tidak mampu menghadapi senyum itu. Hanya saja, dia menguatkan hati untuk tidak mengatakan apa-apa, kemudian pergi ke area belakang.

Selama dua puluh menit menunggu Dika, Hans duduk di salah satu kursi dan memperhatikan Aris lurus-lurus dengan fokus tidak biasa. Hans sepertinya dongkol gara-gara pendapat yang Aris cetuskan tadi. Ini membuat Aris begitu stress karena Hans terlihat sedang memikirkan hal-hal kejam. Pandangan Hans seakan-akan menusukkan sesuatu yang tajam ke jantung Aris yang tangannya mulai gemetar. Karena takut pada pandangan itu, Aris menghentikan pekerjaannya. Intimidasi itu membuatnya merapikan semua barang-barangnya dan kabur dari situ.

Ketika Dika kembali dengan badan bersih dan pakaian baru, Aris sudah melarikan diri dari Varnaka. Melihat temannya itu menghilang, Dika menoleh ke arah Hans yang kelihatannya lugu. Dia benar-benar kagum pada kemampuan akting Hans itu. Sudah jelas dia yang menakut-nakuti Aris namun sekarang dia malah berlagak seakan tidak terjadi apa-apa. Hal ini terlalu sering terjadi sehingga Dika sudah hafal.

Hans yang melihat Dika menoleh ke arahnya, bangkit dengan santai kemudian berjalan mendekati kekasihnya. Tangannya secara alami menggandeng tangan Dika dan membawanya pergi. Edi yang sudah biasa melihat ini, sudah mampu manjadi cuek dan menganggap pasangan itu tidak ada. Dia tidak bergeming dan melanjutkan lukisannya.

Ketika mereka dalam perjalanan, Dika tidak mengeluarkan sepatah katapun dan hanya memasang wajah dingin. Dia tidak mengeluarkan kehangatan sama sekali agar Hans tidak merasakan cinta apapun darinya. Dia sudah lelah mencintai playboy ini.

"Sampai kapan lu mau kayak gini? dulu lu sendiri yang bilang mau nerima gue dengan semua sifat buruk yang gue punya." Kata Hans.

Dia tidak salah. Waktu itu Dika memang begitu dibutakan cinta sehingga mengatakan kalau dia akan menerima semua kebiasaan playboy Hans meskipun Hans membuatnya sakit hati. Masalahnya sakit hati itu berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada solusi. Siapapun akan rontok mengalami patah hati berkali-kali selama itu.

Dika tidak berniat menjawab keluhan Hans dan hanya memasang ekspresi dingin. Ekspresi itu tidak berubah hingga mereka sampai di rumah mewah yang Hans beli khusus untuk Dika. Hans selalu menyediakan segalanya untuk Dika kecuali kebebasan dan hubungan yang sehat. Seringkali semua fasilitas itu malah membuat Dika terhina. Semua itu mengingatkannya kalau dia adalah simpanan Hans. Meskipun simpanan yang paling disayang dan paling bertahan lama, dia tetap saja simpanan!

"Ka, kadang gue kangen masa-masa kita SMA dan kuliah. Dulu lu ngga pernah kaya gini. Sekarang lu banyak berubah." Keluh Hans. Itu adalah keluhan rutinnya.

'Gue berubah karena elu goblok!' Batin Dika jengkel. Tapi Dika tidak akan mengatakan apapun. Jika itu terucap, Hans hanya akan memberikan hadiah lebih banyak tanpa menyelesaikan permasalahan yang mendasar. Kalimat itu sama sekali tidak ada gunanya makanya Dika menutup mulutnya rapat-rapat. Dia tidak mau menambah sakit hati.

Tanpa menyahuti Hans lagi, Dika berjalan memasuki rumah yang katanya adalah rumahnya itu. Dia disambut oleh ruang tamu luas dan tangga marmer melengkung menuju lantai dua. Sesampainya di ruang tamu, dia melempar tasnya ke sofa karena akan ada pembantu yang merapikannya. Mereka sudah biasa dengan sikap dingin Dika yang tiap kali seperti badai es. Setelah itu, Dika tidak lupa menendang salah satu vas mahal yang baru dibeli Hans minggu lalu hingga suara keramik pecah memenuhi ruangan. Setelah dua hal itu selesai, barulah dia menaiki tangga menuju lantai dua. Dia berjalan sendiri ke kamarnya karena tahu apa yang Hans inginkan ketika datang padanya.

Hans sendiri hanya mengikuti langkah-langkah Dika dalam diam. Beberapa tahun terakhir Dika semakin dingin. Setiap ditanya apa yang dia inginkan, dia hanya mengatakan satu kata, "putus." Sayangnya satu hal itu tidak mungkin rela Hans berikan. Apapun yang terjadi, dia tidak akan membiarkan Dika lepas.

Tak lama, keduanya memasuki kamar kemudian Hans mengunci pintu.

Masih dengan wajah dinginnya, Dika melepaskan pakaiannya satu per satu. Kurang dari tiga menit, semua yang dia kenakan sudah jatuh di lantai dan tidak sehelai benangpun menutupi tubuhnya. Sorot matanya semakin tajam menatap tepat ke sepasang pupil Hans.

"Kenapa belum mulai? Apa lu udah bosan sama gue?" Tanya Dika dengan emosi dingin yang jelas di setiap patah katanya.

"Ka, apa yang harus gue lakuin biar lu berhenti marah sama gue?"

'Jangan jadiin gue simpanan! Jangan paksa gue untuk terus sayang sama lu padahal lu malah nikahin orang lain! Berhenti bayar keluarga gue dan membuat mereka ngejual gue ke elu! Biarin gue nyari cowok lain yang bakal memperlakukan gue lebih baik! Berhenti ngontrol hidup gue!...' jawab Dika di kepalanya. Dia punya tumpukan keluhan yang begitu panjang karena ditabung selama lima belas tahun. Semua itu sudah pernah dia ungkapkan namun tidak diacuhkan oleh Hans. Hans tetap saja Hans yang tidak tahu diri yang selalu melakukan apapun sesuka hatinya.

Semua yang memiliki nama belakang Atmajati adalah makhluk egois. Itu adalah fakta yang beredar di kalangan pebisnis. Dika merasa tidak ada yang lebih mengerti hal itu selain dirinya. Orang di depannya ini membuatnya sangat memahami kalimat itu.

Makin lama wajah Dika makin dingin. Semua keluhannya hanya berputar-putar di kepalanya tanpa bisa dikeluarkan. Pada akhirnya, hanya dua kata yang bisa terucap. "Putusin gue."

Dan tentu saja itu tidak akan didengarkan oleh Hans.

Hans hanya diam dengan tenang di tempatnya meskipun mendengar dengan jelas apa yang Dika minta. Setelah menarik nafas, dia berjalan mendekat dan membelai rambut Dika dengan lembut. Dia melakukan itu cukup lama hingga kemarahan yang membara di mata Dika berkurang setengahnya. Setelah itu dia mencium kening Dika lama dengan tangan masih di kepala kekasihnya. Ini juga mengurangi kekesalan Dika lagi.

Ketika Hans melepaskan ciumannya, dia menatap baik-baik wajah Dika yang berubah dari dingin menjadi penuh kesedihan. Melihat kesedihan itu, Hans mencium kedua pipi Dika sambil mengelus-elus kepala pirang pelukis itu.

"Maaf, cuma segini yang bisa gue kasi." Kata Hans dengan suara rendah.

Jawaban itu membuat Dika menggeretakkan gigi. Karena amarahnya jauh berkurang, kesedihannya kini menyeruak tak terkendali.

"Hans, gue mohon, lepasin gue." Kata Dika dengan suara serak dan air mata yang tumpah tanpa mau berhenti.

***