webnovel

Bunga Menari

*Sudah Tamat* Terbelenggu dalam peliknya kisah masalalu membuat Clarista hampir masuk rumah sakit jiwa. Di akhir batasnya, seakan sudah takdir ia dipertemukan dengan laki-laki yang memiliki kepribadian dengan sosok seseorang dari masalalunya itu. Berkali-kali menolak, takdir tetap menjadikan laki-laki yang baru hadir ini sebagai pendampingnya. Hingga Clarista lelah menolaknya, pasrah dia pada takdirnya. Tapi ... apa kali ini akan berakhir sama lagi? Apakah laki-laki yang baru ini juga akan meninggalkan selamanya seperti sosok masalalunya? Lantas, ia ... apakah akan berakhir menjadi seorang pasien di rumah sakit jiwa seperti yang sebelumnya terlintas dalam benaknya?

Lee_TaaRi · Teen
Not enough ratings
264 Chs

Tak Dipedulikan

Perlahan aku mulai mencoba membuka mata meskipun begitu berat rasanya. Melenguh sesaat bisa ku rasakan ada sebuah tangan yang tengah mengusap pelan keningku.

Masih berat rasanya membuka mata. Tak hanya itu saja, percakapan lamat-lamat ku dengar meskipun tak begitu jelas.

Lama menahan diri akhirnya aku bisa membuka mata kembali.

"Ta!" seru kak Riki.

Rupanya sejak tadi yang duduk di sampingku itu dia.

Laki-laki itu gegas memelukku. "Lega banget akhirnya kamu bisa bangun," ujarnya dengan nada penuh syukur.

Semula aku ingin membalas pelukannya, namun tak bisa karena tanganku seolah mati rasa. Aku menelisik ruangan ini. Rupanya tak sendirian, kak Riki mengajak seluruh keluarganya dan kini mereka menatapku dengan mata berair.

Bibik bahkan sudah menangis membuatku merasa bersalah. Maaf, maafin aku karena udah sakit dan bibik jadi kesusahan gini.

Sejujurnya aku ingin mengatakan langsung. Namun dengan alasan yang sama aku diam saja.

Kak Riki melepaskan pelukannya. Dia menatapku dengan senyum manis namun matanya berair juga. Pipa miliknya pun sepertinya akan segera tumpah ruah.

"Ada yang sakit, Sayang?" tanyanya dengan nada sendu.

Aku hanya bisa menjawabnya dengan gelengan kepala. Padahal aku ingin bertanya berapa lama diriku terbaring?

Bahkan selang infus yang ada di punggung tangan kiriku saja terasa nyaman. Lebih lagi, jika aku hanya sakit semalam mereka tak mungkin sampai menangis, 'kan?

"Ah iya, kemarin temen-temen kamu datang," tutur kak Riki.

Dia menyodorkan segelas air padaku. Susah payah atas bantuannya dan Refi aku meminum air itu.

"Mereka berdua aja, kok. Cuman Desi sama Cahya, yang lainnya nggak ada yang datang," tambah kak Riki.

Detik setelahnya dia mendapatkan gamparan di pipi dari bang Dimas.

"Bang! Apaan sih, jangan bikin cewek gue kaget," seru kak Riki tak terima.

"Kak Rista justru kaget kalau denger kakak ngomel-ngomel nggak jelas begitu. Sudah deh mending kakak masak atau beli bubur ayam, nggak kasihan lihat kesayangan kakak belum makan?!" omel Refi membuatku tersenyum manis.

Meskipun susah, aku tetap mencoba menggenggam erat tangannya. Gadis yang setahun lebih muda dariku itu tersenyum.

"Tuh kan kak, nih kak Rista pegang tangan aku. Artinya sebagai calon suami yang baik tolong ya kakak segera pergi beli makanan!" tegas Refi salah mengartikan.

Duh, kalau saja aku tak malas mencoba berbicara. Namun sepertinya tak ada salahnya menyuruh kak Riki pergi.

"Sayang...." rengek kak Riki membuatku tersadar kalau sejak tadi dia memanggilku seperti itu.

Padahal sebelumnya dia hanya memangil namaku saja. Awas jika tujuannya karena dia tak mau kalah dari kakaknya!

"Mau bubur," lirihku sambil menatap mata laki-laki itu sendu.

Kak Riki terbatuk-batuk. "Seriusan?" ulangnya seolah tak percaya.

Aku mengangguk mantap.

"Ya udah, sama Refi aja disini jangan kemana-mana. Kalau butuh sesuatu minta bantuan bocil aja jangan ke bang Dimas ya?"

Aku tersenyum simpul menjawabnya.

"Lebay!" sindir Refi lirih.

Mungkin hanya aku yang bisa mendengarnya.

Beberapa saat setelahnya yang lainnya pun ikutan keluar. Hanya ada bibik dan Refi yang duduk di sisi kanan dan kiri. Mereka terus saja menatapku seakan ada banyak pertanyaan yang terlintas.

"Yang pakaikan infus, siapa?" tanyaku.

Mereka saling tatap hingga membuatku mendengus kesal. Masalahnya aneh saja saat aku sudah bangun namun reaksi mereka hanya menangis saja.

"Papa non pulang kemarin. Tuan meminta temannya yang dokter untuk datang kemari. Dokter itu bilang gejala non aneh, nggak ada sakit apa-apa tapi setiap satu jam sekali non kejang-kejang kadang panas juga badannya."

Aku memegang lengannya. Mencoba menahan bibik agar tak menjelaskan lebih lanjut. Entah apa yang sebenernya terjadi, bahkan saat aku melirik Refi, gadis yang biasanya tersenyum lebar itu kini hanya mengulas senyum paksa.

"Berapa lama?" tanyaku namun keduanya diam.

"Bibik, Refi, berapa lama aku tertidur?" tanyaku membuat tangisan Refi pecah.

Gadis manis itu memelukku erat membuatku susah bernafas. Dia benar-benar deh, aku kan hanya bertanya mengapa responnya seperti ini?

"Delapan hari, Non. Sudah delapan hari sekarang, saya seneng non bangun dari tidur panjang ini," jawab bibik membuatku terkejut.

Refi melepaskan pelukannya. "Aku nyusahin kakak ya? Kalaupun iya, tolong kalau tidur jangan lama-lama. Kemarin malam kakak bahkan berhenti bernafas," lirihnya dengan air mata yang masih mengalir deras.

Tak bisa ku kendalikan ekspresiku ini. Ucapannya benar-benar membuatku terkejut bukan main. Ba-bagaimana bisa? Aku tertidur selama delapan hari, bukan hanya itu bahkan semalam dia bilang nafasku berhenti?

"Pa-papa masih disini, Bik?" tanyaku dengan nada bergetar.

"Ya, sebenarnya semuanya sudah menyerah tadi pagi. Tapi berkat den Riki yang memaksa untuk tetap memakaikan selang infus juga terus menjaga nona semuanya berjalan baik. Tadi siang nafas nona sudah mulai teratur lagi," papar bibik membuatku tersenyum manis.

"Kakak jangan terpengaruh sama ucapan itu! Kak Riki jahat, kemarin dia juga mau nyerah, hiks ...." lirih Refi membuatku susah payah mengangkat tangan untuk memeluknya.

"Nggak papa, aku udah baik-baik aja okey? Mulai sekarang nggak perlu ada yang kamu khawatirkan. Bibik juga, tuh, aku bahkan sudah bisa banyak bicara," kataku yang ku akhiri dengan kekehan geli.

Refi memukul lenganku. "Aku tahu abang pernah bilang kalau kakak itu tangguh, cuman nggak nyangka aja kalau bukan tangguh tapi memang baja hatinya. Kakak manis deh, aku makin jatuh cinta," ujarnya dengan senyum manis yang membuatku terkekeh geli.

Dasar ya anak ini, ucapannya selalu saja berhasil membuatku tersenyum lebar.

Aku beralih menatap bibik sebentar.

"Refi?" panggilku lirih.

Gadis itu mengangkat alisnya. "Kakak minta tolong kamu keluar dulu ya? Kalau nanti kak Riki balik juga tolong bilang ke dia buat jangan masuk dulu ke kamar," pintaku padanya.

Dari raut wajahnya Refi benar-benar tak suka ide ini. Karena itulah aku mengulurkan tangan mengusap kepalanya.

"Kakak minta tolong ya? Ada hal penting yang harus kakak bicarakan sama bibik, ya?" bujukku lagi hingga gadis itu mengangguk paham dan beranjak keluar kamar.

Aku kini memusatkan pandangan pada bibik. Wanita itu sejak tadi terus saja mengusap rambutku dengan tatapan syukur dan memuja.

"Mama ... apa beliau datang, Bik?" tanyaku membuat sorot mata syukur tadi berubah sayu.

Aku menghela nafas.

"Maaf kalau jawaban saya nanti bikin non kecewa. Tapi memang nyonya tidak datang, bahkan saat kemarin malam tuan menangis tersedu-sedu ketika mengabari. Tuan masih di Indonesia, beliau keluar sebentar tadi," jelas bibik.

Aku tersenyum simpul. Bingung rasanya harus mengekspresikan perasaan seperti apa. Kalau aku bilang bahagia, maka iya karena papa sayang. Namun disisi lain aku juga berharap kalau mama datang juga, kecewa rasanya saat aku bahkan sudah diambang batas kematian namun wanita yang telah melahirkanku saja gak berniat mengunjungi makam anaknya ini.

Menahan gejolak batin yang memintaku untuk menangis. Aku memilih untuk mengulurkan tangan, memeluk bibik dan mengucapkan ribuan terimakasih padanya.

"Bik, jangan tinggalin aku ya ...."

To be continued ....