webnovel

Bunga Menari

*Sudah Tamat* Terbelenggu dalam peliknya kisah masalalu membuat Clarista hampir masuk rumah sakit jiwa. Di akhir batasnya, seakan sudah takdir ia dipertemukan dengan laki-laki yang memiliki kepribadian dengan sosok seseorang dari masalalunya itu. Berkali-kali menolak, takdir tetap menjadikan laki-laki yang baru hadir ini sebagai pendampingnya. Hingga Clarista lelah menolaknya, pasrah dia pada takdirnya. Tapi ... apa kali ini akan berakhir sama lagi? Apakah laki-laki yang baru ini juga akan meninggalkan selamanya seperti sosok masalalunya? Lantas, ia ... apakah akan berakhir menjadi seorang pasien di rumah sakit jiwa seperti yang sebelumnya terlintas dalam benaknya?

Lee_TaaRi · Teen
Not enough ratings
264 Chs

Senyuman Apa Itu?

"Eits, jaga jarak lima belas langkah!"

Aku terkekeh geli melihat Cahya. Jam ke-tiga dan sampai ke-lima kelas kami memang jam olahraga. Dua orang gadis gila ini benar-benar melancarkan aksinya.

Mereka berdua menghalau siapa saja yang mencoba mendekatiku. My Princess katanya, padahal berdandan saja ku tak bisa. Er kalau liptint ini keduanya lah yang memaksaku memakainya.

Jujur semula ingin ku adukan kalau Desi membawa alat make up yang jelas-jelas dilarang. Tapi, dia memelas dan Desi juga 'teman' pertamaku ketika mulai membuka hati. Aku luluh padanya dan gelap mata.

Hahaha, alay sekali bukan perumpamaan barusan?

Ya, karena tak hanya Desi saja namun memang hampir semua murid di sekolahku mereka membawanya. Namun razia jarang terjadi akhir-akhir ini hingga mereka pun merasa aman-aman saja.

"Lo semua apaan sih? Jangan dekat-dekat sama Rista okey? Jaga jarak, matanya juga hati-hati ntar gue colok. Apa lagi itu?! Nggak pernah lihat cewek cantik hah?!"

Kali ini Cahya beraksi. Karena merasa malu ku tarik tangan keduanya. Kami baru saja selesai pemanasan. Rambutku sedikit basah karena memang saat melakukan pemanasan terkadang aku terlalu bersemangat.

"Hoki deh kita." Feronika tiba-tiba saja bergabung dengan kami.

Tentu saja aku tak masalah. Toh sebenarnya teman sekelas kami akrab semua entah laki-laki atau perempuan. Kecuali aku yang sejauh ini menutup diri dengan tembok kokoh tak kasat mata.

"Apaan? Pak Brian nggak ngajar kah?" Desi menimpali.

Dengan semangat Feronika mengangguk. "Istrinya lahiran kata pak Anam yang lewat tadi. So, kita bebas lagi buat tiga jam kedepan. Serah lo pada mau ngapain, gue mau ke kelas doi hahaha!"

Aku dan Cahya saling tatap. Kami meringis melihat betapa besar semangat Feronika.

"Kasian pacarnya pasti nggak betah tapi dibetah-betahin sama Nik setan," gumam Desi mewakili isi hati kami.

Tak urung hal itu membuatku dan Cahya tertawa.

"Bener, dia kan memang heboh banget. Tapi jujur deh, Feronika tuh nggak cuman modal cantik aja. Dia cekatan dan setia, gue yang jadi teman sebangkunya aja terpesona tapi bukan suka sesama jenis ya!" tutur Cahya.

Mendengar ucapannya tadi aku sempat terharu, namun di akhir kalimat dia berhasil membuatku terbahak. Ada-ada saja pemikirannya

Walaupun teman sekelas kami yang wanita benar-benar dekat sampai makan sepiring berdua atau ke kamar mandi masuk dalam bilik yang sama, namun tak terlintas pikiran itu sama sekali. Yang ada aku malah iri pada kedekatan mereka, dulu.

"Iya-iya aku ngerti, ngomong-ngomong pacarnya Feronika itu dari kelas mana?" tanyaku.

Keduanya menatapku datar. Lantas Desi cengengesan.

"Sorry gue lupa kalau lo satu-satunya yang nggak tahu mwehe," ujarnya.

"Namanya Bagas, teman sekelas Kak Riki, dua bekas IPS satu," imbuh Desi sambil mengambil alih botol minumanku.

"Sama kak Riki?" ulangku.

"Yoi, Bagas sama kak Riki akrab. Mungkin lo nggak fokus tapi sejak kelas sepuluh Bagas selalu bawa cowok lo kalau apel ke Feronika. Dan sebenarnya kalau dipikir-pikir itu juga alasan kak Riki dekat sama kami, iya nggak sih, Des?" Cahya menyenggol lengan Desi meminta pendapat dari gadis itu.

Untung saja Desi sudah selesai minum, jika tidak sudah dapat dipastikan bahwa gadis itu akan mengomel lagi. Dia mirip dengan bibik, hobinya mengomel namun hatinya baik sekali dan bisa diajak bercanda juga.

"Kalem kali nyenggol kenceng banget heh. Tapi bener yang dibilang si setan ini, Ta. Kami dekat karena orangnya ramah, dulu Rahmad yang minta dia buat nyapa lo juga. Tapi nggak ada respon makanya kak Riki malu banget, jadi kalau sekarang kalian dekat kita mikirnya 'oh wajar kan kak Riki udah gerak sejak lam' gitu."

Mendengar penjelasan Desi, aku tersenyum canggung. Begitu ya? Jadi aku satu-satunya orang yang tak memahami hal ini. Lebih parahnya lagi mereka yang mengingat momentum dalam hidupku.

Aku saja ... lupa.

Ingin ku peluk Desi dan Cahya yang sedang bertukar cerita seru. Namun karena tak begitu paham jadinya aku diam.

"Eh Rista, gue lupa bilang kalau akhir minggu nanti kerja kelompok lagi ya. Seperti kata Feronika kalau mamanya punya banyak tepung panir, ntar nyoba buat di rumah dia aja," tutur Desi dan aku mengangguk saja.

"Er boleh nggak sih kalau kita minta nomor lo?"

Raut wajah ragu-ragu Cahya membuatku teringat kalau saat mereka meminta nomor memang belum sempat ku berikan.

"Buat dimasukkan ke grup kerkom ya? Maaf kemarin nggak aku kasih, gimana kalau sekarang ada kita masuk kelas?" balasku yakin.

Kini wajah Cahya berubah ceria. "Yey, sebenarnya nggak buat masuk grup kerkom aja. Ada grup kelas dan lain-lainnya, tapi ... kita berdua mau lebih akrab sama lo aja," ucapnya.

Dengan mata yang berbinar-binar itu aku tahu kalau mereka sungguh-sungguh ingin dekat denganku.

"Bener sih, Ta. Lagian bagi-bagi nomer hape nggak akan buat lo merugi kok. So, ntar kasih ke gue juga ya," celetuk Desi sambil melemparkan senyum manisnya padaku.

Aku tertawa kecil. "Ya emang," sahutku yang membuat keduanya mendelik.

"Dasar anak setan!"

***

"Lo? Nggak ada kelas tambahan?" tanyaku pada kak Riki.

Padahal jelas-jelas bel baru saja berbunyi.

"Nggak ada, lo Rista ya? Dia ngebet pengen kesini dari tadi," kekeh seorang laki-laki yang hanya mengenakan kaos putih polos.

Aku menatap kak Riki dan cowok itu bergantian.

"Cowok gue woy, Rista. Gilak sih dia seliweran tapi cuman lo yang nggak kenal," gerutu Feronika membuatku merasa bersalah.

"Maaf, nggak tahu hehe," kataku sambil cengengesan.

"Udah, nggak usah minta maag sama si baka. Ayok pulang, ke rumah aku ya?"

"Ewh apa-apaan ini. Aku kamu?" Desi menyahut dengan raut wajah jijik.

Seketika yang lainnya terbahak-bahak.

"Bicit lo pada! Iri bilang woy!"

Seisi kelas terbahak-bahak. Hanya Fano, satu-satunya yang terdiam dengan wajah masam.

"Udah, malu-maluin aja," kataku sambil menarik tangan kak Riki membawa laki-laki itu pergi.

"Des, duluan ya takut kalau singa makin ngamuk," pamitku sambil berbisik-bisik pada Desi.

Gadis itu menahan tawa membuatku mengedipkan mata.

"Hati-hati, My lady. Moga-moga si beast nggak buat ulah yaw!"

Hampir saja kak Riki mengoceh lagi karena tak terima namun buru-buru aku menyeretnya agar segera pergi.

"Udah sih, ah. Sama cewek nggak boleh ngomong kasar," seruku sambil melepaskan tangan yang sejak tadi menggelayut pada kak Riki.

"Cih, cewek jadi-jadian mereka semua. Apalagi pacarnya Bagas, ah Ta, dia berisik banget kalau di kelas. Aku nggak suka, kamu jangan jadi temannya okey?"

Aku menahan tawa melihat wajah kesal kak Riki. "Kalau begitu bagus dong, Kak. Aku kan jarang bicara kalau punya temen yang bisa membuka obrolan bukannya menyenangkan?"

Dia mendelik lantas menyentil keningku. Tentu saja aku mengaduh kesakitan karenanya.

"Makanya jangan bandel, kamu kayak Refi aja. Ah hampir lupa bilang, kalau dia ngomong sesuatu apapun itu jangan percaya ya?"

Larangan adalah perintah, begitulah yang dikatakan oleh Cahya. Maka dari itu aku mengangguk saja kali ini, karena sepertinya nanti akan melanggarnya haha.

"Senyum kamu mencurigakan, Ta."

Ups, kak Riki curiga ya?

Aku menggeleng cepat. "Nggak tuh, memangnya senyum aju kayak gimana?"

"Seperti Refi, ciri-ciri calon gadis kecil yang bandel."

Jawabannya yang ngawur itu membuatku tergelak. Haha, memang benar sih tapi aku bukan gadis bandel kok, ya 'kan?

To be continued ....