webnovel

Bunga Menari

*Sudah Tamat* Terbelenggu dalam peliknya kisah masalalu membuat Clarista hampir masuk rumah sakit jiwa. Di akhir batasnya, seakan sudah takdir ia dipertemukan dengan laki-laki yang memiliki kepribadian dengan sosok seseorang dari masalalunya itu. Berkali-kali menolak, takdir tetap menjadikan laki-laki yang baru hadir ini sebagai pendampingnya. Hingga Clarista lelah menolaknya, pasrah dia pada takdirnya. Tapi ... apa kali ini akan berakhir sama lagi? Apakah laki-laki yang baru ini juga akan meninggalkan selamanya seperti sosok masalalunya? Lantas, ia ... apakah akan berakhir menjadi seorang pasien di rumah sakit jiwa seperti yang sebelumnya terlintas dalam benaknya?

Lee_TaaRi · Teen
Not enough ratings
264 Chs

Batal Mekar

"Gue bukan dia, Ta."

Aku tahu, tapi kenapa ingin ku keluhkan rasa sakitku padanya? Mengapa rasanya aku semua ini juga salahnya.

Ahahaha bodohnya diriku padahal kami baru pertama kali bertatap muka. Apa ini cara Tuhan memberikan hukuman pada gadis nakal sepertiku?

Diam sejenak, ku suguhkan senyum dengan tangisan padanya. Segera tanganku meraih tas yang masih tertata rapi di tempatnya lantas pergi tanpa suara.

Baguslah, dia tahu kelemahanku jadi dia pasti akan pergi jauh-jauh setelah ini. Tak ada yang perlu ku khawatirkan lagi. Ya, dia pasti juga akan pergi sama sepertinya waktu itu.

"Gue anter yok, mau pakai topi? Mata lo merah banget."

Deg!

Terpaksa aku meliriknya sekilas, rupanya benar bahwa dia masih ada disana. Langkah kakiku teras berat sekali, benar-benar seperti dulu rasanya. Dan setelah ini dia pasti akan benar-benar pergi kan?

"Lo ganggu," sarkasku yang dibalas tawa olehnya. Mungkin saja dia memang benar-benar gila juga makanya tak mau menjauh dariku.

Melihat dia mendekat aku sengaja diam saja. Seperti dugaan, dia hanya memakaikan topi di kepalaku saja dan tak lebih.

Tak memiliki tenaga untuk berdebat dengannya ku biarkan dia menarik pergelangan tanganku. Beberapa kakak kelas masih di sekolah, karenanya selama dia memimpi langkah ku tundukkan pandangan. Malas cari gara-gara, kata teman sebelahku Riki itu salah satu most wanted.

Bukannya aku murahan, namun rasanya benar-benar melelahkan melihat laki-laki yang masih mau mendekatiku bahkan menatapku sendu, bukan jijik ataupun kasihan.

"Pakai aja ya topinya, sorry gue bawa montor nggak kayak anak lain. Kayaknya lo laper, kita makan dulu aja ya?" tanya kakak kelasku itu saat kami sudah tiba di parkiran.

Aku tahu dia meminta pendapat dariku. Namun entah mengapa lidahku rasanya kelu hingga yang kulakukan hanya menatap datar wajahnya.

Sempat-sempatnya Riki terkekeh geli.

"Naik, Ta, nggak akan gue jatohin kok jadi tenang saja," ujar Riki.

Bukannya naik, justru kakiku melangkah mundur. Berkat ucapannya aku malah ketakutan, rasa dingin menyeruak masuk dalam tubuhku hingga membuatku merinding. Pandangan mendadak buram, seluruh isi perutku minta dikeluarkan paksa.

Semakin mencuat, tenggorokanku penuh hingga aku berlari ke luar gerbang lantas duduk dipinggir selokan.

Huek!

Benar-benar deh, sepertinya aku cukup gila. Semua makanan yang ku santap pagi tadi mungkin habis hanya dengan sekali keluar dalam bentuk cairan putih yang menjijikan itu.

"Minum?"

Masih menatap kosong isi perutku yang tengah keluar. Memang posisiku saat ini tengah berjongkok di pinggiran selokan hingga mengharuskan diriku mendongak untuk menatapnya.

Dia tersenyum, manis sekali. Namun sangat disayangkan karena seharusnya saat ini dia menatapku jijik.

"Minum, Ta?" Kembali dia mengajukan pertanyaan yang sama membuatku mengambil botol itu dengan perlahan.

"Nah, pinter deh lo. Bangun gih, sini aku bantu bersihin," ujarnya.

Untuk sesaat aku tak paham, yang pertama ku lakukan adalah meminum air dari tumbler miliknya hingga tandas. Dengan jelas mataku melihat Riki tertawa, dia mendekat mengarahkan tisu lantas membersihkan area bibirku.

Detak jantung yang tak menentu. Bukan, ini tidak karena aku yang jatuh hati padanya. Namun tingkah Riki barusan membuatku kembali mengingat 'dia' yang telah pergi, catat, tak aka nada kata kembali.

Aku pernah menginginkan hadirnya lagi meski itu mustahil, namun tak pernah terbesit untuk mendapatkan perlakuan yang sama seperti perlakuannya padaku dulu.

"Makasih," ujarku setengah sadar.

Dia mengangguk, masih dengan senyum tipis.

"Ewh, jijik banget sih. Ki, ngapain ngurusin anak orang sat? eyuh, wek gue aja jijik lihatnya," ujar salah seorang kakak kelas yang lewat.

Dia good looking dengan rambut yang disanggul asal dan mata Barbie juga bibir ranum. Idaman semua laki-laki, kata 'dia' saat hendak meninggalkanku dulu, haha.

"Sil!"

Raut wajah Riki, ah kakak kelasku ini memang sepertinya sosok yang dikirimkan oleh-Nya secara sengaja untuk membuatku sadar bahwa ini semua adalah salahku karena melepaskan tangannya.

"Jijik tauk, Ki. Lo emang gila, bisa-bisanya setelah tahu semuanya lo masih mau sama cewek stress kek dia. Awas nyesel!"

"Silvia!"

"Apasih sat, serah lo deh. Gue pergi dan kalau nyesel tanggung sendiri!"

Perdebatan mereka membuatku mengetahui satu fakat bahwa Riki sama seperti yang lainnya. Dia tahu, dan hanya bersikap sok baik saja padaku.

Sebelum dia menahan dan selama Riki masih berdebat dengan Sil siapa itu aku pergi. Setengah berlari dengan topi serta tumbler miliknya.

Tas punggung milikku tampaknya bergerak tak beraturan. Hanya satu yang terlintas dalam benak ini, lari, lari dan larilah sejauh mungkin agar 'dia' tahu rasanya ditinggalkan tanpa kepastian. Tanpa adanya penjelasan, sebuah perpisahan akan terasa begitu menyedihkan, menyesakkan dan menjijikan!

Dengan nafas yang ngos-ngosan, setidaknya aku bisa sampai rumah dengan cepat.

Gegas diriku membuka pagar lantas masuk. Masa bodoh dengan bik Minah yang berteriak dan bertanya tak jelas.

Brak!

Brugh!

Ku hempaskan tubuhku di atas peraduan. Lantas kembali menangi sesenggukan sambil ku pegang erat-erat tumbler milik Riki tadi.

Sesak, menyakitkan. Ingin ku berteriak dan mengatakan pada-Nya untuk merenggut saja nyawaku agar bisa kembali bertemu dengan 'dia' dan mengatakan bahwa aku ikhlas menggantikan nyawaku dengan nyawanya selama jangan ada neraka dunia ini. Hidup dalam penyesalan terasa begitu memuakkan untukku hingga rasanya bernafas pun aku tak pantas.

"Kamu jahat banget ya?" kataku sambil menertawakan keadaanku saat ini.

Kembali ku ingat bagaiama kematiannya dua tahun silam. Bukan salahku, andai saja hatiku mau mengakuinya namun nyatanya tak bisa.

Tubuhnya terbelah menjadi tiga bagian tepat di depan mataku. Darah yang mengucur deras membasahi jalanan, teriakan orang-orang serta bibirnya yang masih membisikkan mataku bahkan saat tangan dan kakinya tak lagi berbentuk.

"Genggamlah, jika kau lepas aku akan mati…."

Menggeleng berkali-kali, kalimat itu masih membekas. Aku melepaskan tangannya, karena dia yang memintaku menjaga jarak. Aku menjauh darinya karena katanya dia tak mau melihatku yang lemah.

Lantas mengapa? Kenapa saat aku benar-benar pergi dia malah membuatku frustasi.

Kala itu, jika tangannya yang mencoba meraihku benar-benar ku genggam apakah dia masih hidup?

Akankah sekarang kami satu sekolah? Bisakah aku bergandengan tangan dan pergi serta pulang sekolah bersamanya?

Tapi, jika dia benar-benar ingin aku melepaskannya mengapa benakku selalu ada suaranya?

Lantas jika dia masih ingin menggam tanganku mengapa kala itu dia biarkan tubuhnya terbelah tepat di depan mataku?

"Saka …," lirihku, memanggil nama sosok yang selalu membuatku rindu namun tak lagi bisa menemuiku meski bisikkan kerinduan sudah ku titipkan pada angin yang berhembus pelan.

Aku tak bisa mengulang waktu untuk menggenggam tanganmu. Kumohon ajaklah jiwaku yang mulai lelah dengan siksa duniamu, bisikku pada hati yang malas menahan rasa sakit dikhianati.

To be continue ….