webnovel

Bunga Lentera

Hubungan antara ibu dan anak seringkali penuh dengan kehangatan dan ingatan indah, namun ketika kepercayaan dikhianati semua kehangatan itu menjadi kebohongan yang menyakitkan. Claris adalah seorang penyihir yang tinggal di kota perdagangan Pei Jin. Namun jauh dari penyihir biasa, Claris memiliki masa lalu yang terus memburunya. Kontrak dengan sang Dewi Kematian, Nyght. Misi besar yang Claris bawa terlalu berat membawa takdir dunia disana, ia harus mengakhiri hidup dari orang yang paling disayangi dalam hidupnya. Sosok Ibu yang meninggalkannya diumur tigabelas,sosok ibu yang ia cari selama 7 tahun, dan sosok ibu yang telah mengkhianati Claris.

JA_Chrysant · Fantasy
Not enough ratings
42 Chs

Melati Hitam (2)

"Tunggu disini, Madame akan segera menghampirimu," kata seorang pelayan yang menerimaku di kediaman Danius.

Kini setelah keadaan darurat lewat, aku pun dapat memperhatikan benar betapa tajirnya Danius. Ruang tamunya dilapisi wallpaper berwarna hijau yang tampak elegan dengan furnitur-furniturnya yang mahal. Sofa tempatku duduk, diimpor langsung dari negeri Siphon dragonica yang dikenal memiliki kain dan kapas yang lembut. Rasanya begitu nyaman, membuatku ingin membenamkan diri disofa ini. Tak lupa rak kaca yang penuh terisi botol-botol minuman beralkohol dari mancanegara. Layaknya aku berada di rumah seorang bangsawan saja.

Selang beberapa menit, Madame Seraphina pun menghampiriku, lengkap dengan gaun merahnya yang anggun. Wajahnya berias menutupi wajah pucat dibalik senyuman lemahnya. Sungguh berbeda dengan tampakan yang ia tunjukan di toko. Dame Seraphina pun duduk di depanku dan berkata,

"Tak kusangka kita akan bertemu lebih awal, Dame."

"Madame Seraphina, kamu lebih cantik tanpa sihir pengubah wujud," pujiku tulus.

Seraphina tertawa kecil, "Iya, ini kali pertama aku menunjukan rupa manusiaku di Pei Jin. Aku bersyukur bahwa orang yang pertama kali melihatku adalah kamu, Dame Claris," katanya yang kemudian memegang perutnya, "Orang yang telah menyelamatkan hidupku... dan juga harga diriku," lanjutnya.

Aku memperhatikan cincin berlian yang melingkari jari manis Seraphina. Meskipun gadis ini mengatakan betapa ia membenci suaminya sendiri, tetapi hingga hari ini ia tak ingin melepaskannya. Istri Paman Taiga... Madame Seraphina. Kunci pertama bagiku, melacak keberadaan Ibu.

"Walau hanya beberapa menit, anak itu... sempat hidup, bukan?" todongnya terus terang.

Aku tidak ingin menjawab sebab perasaan seorang Ibu lebih kuat daripada kebohongan murah dari mulutku. Madame Seraphina pun tersenyum pahit dan mengerti maksudku.

"Anak itu... dia datang dalam mimpiku dan terus menerus bertanya mengapa. A-Aku... tak tahu harus menjawabnya seperti apa. Tapi... inilah dosa yang harus kutanggung sendiri hingga kumati nanti. Dosa seorang Ibu yang mengkhianati anaknya sendiri, " katanya.

"Madame, sudah kubilang kamu hamil anggur," jawabku.

Seraphina terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca sebelum memalingkan pandang dariku. Aku pun hanya terdiam meremas jemariku, sebab tak ada sesuatu pun yang dapat kulakukan untuk membantu Madame Seraphina. Hanya ucapan murah inilah yang dapat kutawarkan untuk melipur lara hatinya.

"Kamu sungguh baik hati, Dame Claris," katanya dengan suara gemetar sebelum menghapus air matanya dengan sapu tangan bermotif bunga.

Tiba-tiba sang pelayan pun datang membawakan kami kue kering dan teh. Setelah berterima kasih, Madame Seraphina menyuruh pelayan itu pergi. Dan setelah meneguk tehnya, ia pun berkata,

"M-Maafkan aku membuat suasana jadi canggung. Sudah-sudah. Lantas apa maksud kedatanganmu kemari?"

"Aku ingin bertanya.... tentang Taiga," kataku.

Raut wajah yang Seraphina tunjukan kepadaku, membuatku sungguh menyesal membawa topik ini. Adalah hal yang kejam bagiku, bertanya tentang seseorang yang menyebabkan kesedihan bagi wanita muda ini. Tetapi... aku tak memiliki petunjuk lain selain darinya.

"K-Kenapa kamu ingin tahu tentangnya?" tanya Seraphina.

"Taiga memiliki hutang penjelasan kepadaku, aku harus menemu-"

Getaran kuat kurasakan di bawah kakiku. Ledakan? Tidak, i-ini adalah gempa bumi? Di dataran Pei Jin? Bagaimana bisa? Para pelayan pun membuka paksa pintu dan berteriak, "Madame Sera, gempa bumi! Kita harus pergi seka-"

Tetapi sebelum pelayan itu menyelesaikan ucapannya, gempa bumi semakin kuat mengguncang kami semua. Sangat kuat, hingga seluruh almari pun jatuh, kaca-kaca segera pecah memekak telinga. Layaknya diombak ambik ombak, kami pun pergi keluar dari kediaman Danius. Sebuah tiang dipan pun jatuh, dengan sigap kutahan sebelum mengenai Madame Seraphina dan pelayan lainnya.

"Cepat pergi!" teriakku.

Walaupun tampak tak tega, tetapi pelayan lain segera menarik Madame Sera meninggalkanku. Ugh! Tiang demi tiang pun jatuh menimpa tubuhku, dengan pijakan yang bergoyang seperti ini sulit bagiku untuk menahannya.

Akan tetapi, retakan tanah besar pun muncul di bawah pijakanku, membelah rumah Danius menjadi dua. Aku pun terjatuh di dalamnya bersama puing-puing rumah yang menubruk tubuhku tanpa ampun. Dan dengan cepat... gelap.

Saat aku akhirnya membuka mata, cahaya kecil menuntun mataku. Samar-samar aku dapat melihat bayang-bayang puing kota berserakan di dalam retakan tanah. Aku pun bangkit berdiri, menyembuhkan luka-luka disekujur tubuhku. Di dalam benakku terpikir, apakah Luciel baik-baik saja? Apakah Arthur dan Arielle sempat menyelamatkan diri. Ah, ingin aku memastikan keadaan mereka, namun tingginya jurang itu menghalangiku.

Mataku pun kembali melihat cahaya itu. Entah kenapa aku merasakan jiwaku tertarik mendekatinya... bersamaan dengan firasat buruk yang tak dapat kuhapuskan. Tak ada cara lain... selain menelusurinya.

Puing-puing kota menusuk tanah tanpa karuan, memberikanku pemandangan seolah-olah berada dalam reruntuhan kota yang hancur akibat perang dunia. Setelah beberapa jam berjalan, aku akhirnya mencapai cahaya itu... disambut oleh wajah yang membawa nostalgia dan pula ketakutan yang mendasar.

"Paman Taiga," gumamku yang segera melancipkan jemari belatiku.

Seorang manusia laki-laki dengan kumis dan jenggot tipis tersenyum menatapku. Matanya yang berwarna jingga, begitu kontras dengan rambutnya yang hitam itu tak pernah kulupakan. Terutama aku mengingat senyumannya, yang dahulu memberikanku ketenangan dan kehangatan... kini semua terasa palsu.

"Selamat datang, Daemon Bulan," katanya. Suaranya menggema melingkupi kubah tempat kami bertemu. Cahaya terang muncul dari kristal yang menempel di sekujur kubah itu, memberikan energi sihir yang begitu kuat. Batu Quartz dengan kemurnian yang sangat tinggi, lebih murni daripada Quartz yang kuciptakan Hilfheim.

"Darimana kau mendapatkan semua Quartz ini?" tanyaku.

"Langsung terus terang, tanpa basa-basi. Padahal kita sudah lama tak berjumpa loh. Aduh, perih hati Paman melihat Putri Claire tumbuh menjadi wanita yang dingin," balasnya yang lalu menatapku dengan tersenyum tajam, "Kau kan sudah tahu, Claire. Darimana lagi batu sihir ini berasal?" lanjutnya.

Sudah kuduga, Paman Taiga berhubungan dengan Ibu. Lantas bagaimana cara dia menjelaskan seratus lebih Quartz ini?

"Apakah kau yang menyebabkan gempa bumi besar itu?"

"Gempa bumi? Sepertinya kau belum belajar banyak," kata Taiga yang kemudian melemparkan satu botol cairan keudara dan dengan sihir memerangkapnya dalam udara. Cairan itu kemudian memancarkan pemandangan yang membuatku tak percaya. Sebuah dinding tanah sangat tinggi melingkupi kota Pei Jin yang porak poranda. Tak setitik pun cahaya matahari menembusnya.

Aku mengerutkan keningku dan menggertakkan taringku, "Kenapa kalian melakukan hal ini?!" teriakku.

Tapi justru Taiga menatapku dengan aneh, "Apalagi alasan selain memerangkap sumber sihir yang berharga?"

"J-Jangan bilang Kalian mau mengubah seluruh warga Pei jin menjadi batu Quartz?!"

Senyuman lebar bermekaran di bibir Taiga ketika ia berkata, "Betul sekali. Dua juta jumlahnya. Bayangkan betapa besar energi sihir yang bisa kami raup darinya, apalagi jika semua orang terjangkut wabah Nyght."

"Takkan kubiarkan!" teriakku yang melangsung melesat mencabik-cabik laki-laki itu.

Akan tetapi, tanpa merubah bentuknya, Taiga melebihi kecepatanku dan segera menghantamku jatuh ke tanah. Beruntung aku sempat menahan pukulan Taiga dengan perisai tulangku, tetapi tulang itu pun retak dan hancur bersamaan dengan tanganku yang gemetar.

"Ah, kau tidak akan menangis lagi? Seperti dulu? Aah, aku merindukan Claire yang masih lucu dan polos," ejeknya.

Sungguh kekuatan yang mengerikan! Benar-benar... inikah kekuatan sang Daemon Taiga, monster yang mempermainkan nyawa pasukan elit Kinje dengan tangannya sendiri?

"Dimana Ibu?" tanyaku mengulur waktu sambil mempersiapkan serangan berikutnya.

Taiga menekuk alisnya heran, "Setelah melihat sosok aslinya, setelah dengan sengaja ia menyebarkan wabah Nyght di Hilfheim... Setelah semua yang dia lakukan kepadamu, kamu masih memanggilnya Ibu. Mengherankan," katanya.

"Tak usah banyak bicara, jawab Taiga!"

"Hoho, serem banget. Claire kecil sekarang sudah bisa marah," kata Taiga sesudah bersiul. Ia pun menunjuk ke pintu di belakang kami, "Dibalik pintu itu, Ibumu menantikanmu," lanjutnya.

"Kau mau menemuinya, Claire?"

Maaf banget Kak, 2 minggu lagi aku ada ujian nasional, jadi updatenya ditunda dulu. Sampai jumpa tanggal 8 Mei!

JA_Chrysantcreators' thoughts