webnovel

Sang Penolong

"Mau sampai kapan kamu menolak bantuan dariku Alleta?" tanya pria yang sedang mendudukkan dirinya tepat dihadapan sang gadis yang merupakan teman dekatnya.

Sean, nama pria itu pun hanya bisa menatap lekat wajah sang gadis bernama lengkap Alleta Anjani. Gadis yang teramat ia cintai sejak pertama kali mereka bertemu.

Bukannya Alleta ingin menolak bantuan dari dewa penolongnya itu, tapi dia terlalu malu jika harus menerima bantuan dari pria itu secara terus-menerus.

Gadis bermata cantik itu juga tahu bahwa Sean memiliki perasaan lebih terhadapnya, begitupun dengan dirinya yang juga memiliki perasaan lebih terhadap pria itu hanya saja dirinya ragu. Dan memilih untuk menepis rasa itu, serta menyembunyikan perasaannya dari orang lain termasuk Sean sendiri.

Kasta mereka yang berbeda membuat Alleta menyembunyikan perasaannya dan memilih untuk mematikan rasa cinta itu sebelum semakin dalam.

Alleta sadar diri, semesta tidak mengijinkan mereka untuk bersama karena adanya tembok penghalang yang cukup tinggi antar keduanya.

Bahkan Ibu dan Oma dari Sean sendirilah yang tak menyukainya dengan alasan dirinya itu terlahir sebagai gadis biasa yang kebetulan juga tidak memiliki orang tua.

Menjadi anak yatim dan piatu membuat Alleta semakin kuat dan tegar dalam menjalani hidup ditambah sang adik yang menjadi penyemangat hidupnya.

Alleta akan melakukan apapun untuk kebahagiaan sang adik karena tujuan dirinya hidup hanya Juna. Juna yang selalu ada menemaninya di saat gadis itu merasa terpuruk dan kembali bangkit.

Gadis itu memilih diam tak berani untuk menatap mata Sean, jujur saja dirinya merasa sungkan setiap kali Sean membantunya. Alana juga tidak ingin jika mempunyai hutang budi pada akhirnya.

Tidak, gadis itu tidak angkuh atau memiliki gengsi yang kelewat batas tapi dia hanya tidak ingin ada masalah yang menimpa pria itu nanti terlebih jika keluarga Sean mengetahui hal itu.

"Alleta, aku tidak memberimu secara cuma-cuma. Kamu bisa menggantinya setelah mendapat pekerjaan, ambil ini untuk membiayai kuliah Juna hum? aku meminjamkannya kepadamu."

Pria berparas tampan itu menyimpan sebuah amplop cokelat berisi uang di atas meja dan mendekatkannya ke arah Alleta, membuat gadis itu kembali menatap mata sang pria.

Dari sana Alleta tahu bahwa Sean adalah pria yang sangat tulus.

Apakah Alleta harus menerima bantuan dari pria ini?

Alleta tak tahu lagi harus mendapatkan uang dari mana untuk membiayai kuliah sang adik sedang Juna membutuhkan uang itu untuk ujian. Jika tidak segera dibayarkan, Juna tidak akan bisa ikut ujian. Kalaupun bekerja belum tentu dirinya mendapatkan upah dibayarkan di muka.

Secara perlahan, Sean menarik jemari gadis itu dan menggenggamnya. "Mau ya? tidak apa jika kamu membayarnya dengan tempo di setiap bulannya, aku tidak akan memberatkanmu Al."

Alleta tidak habis pikir bagaimana pria itu terlalu baik kepada dirinya? dia jadi merasa bersalah apabila tidak bisa membalas kebaikan pria itu terlebih membalas cinta Sean.

Setelah menimbang dan memutuskan untuk menerima bantuan dari Sean, gadis bersurai hitam legam itu meraih amplop cokelat di atas meja.

"Sean, aku tak tahu lagi harus berkata apa kepadamu. Aku janji akan mengembalikannya dalam waktu dekat, maaf jika aku dan Juna selalu merepotkan dirimu." ujarnya dengan suara lembut.

"Tidak apa Al, aku tidak keberatan untuk membantumu." ucapan Sean bahkan terdengar begitu tulus di telinga Alleta.

"Juna, akhirnya kamu bisa ikut ujian. Berterima kasihlah kepada pria ini, pria yang sudah kamu anggap sebagai kakak kandungmu sendiri." ucap Alleta di dalam hati.

Semburat senyum tercetak jelas di wajah Sean, pria itu menarik lengan Alleta perlahan, meminta sang gadis untuk ikut berdiri dan berniat meninggalkan cafe langganan mereka. "Aku antar kamu pulang, Juna pasti sudah menunggumu."

••••

Juna terlihat frustasi saat mengetahui sang kakak yang pulang dengan membawa uang. Allih-alih berterima kasih dia lebih mengkhawatirkan sang kakak. Alleta tahu jika sang adik khawatir dirinya akan mendapatkan masalah.

"Mbak dapat uang sebanyak ini dari mana? dan dalam waktu singkat?" tanyanya sedikit tak percaya, pasalnya uang yang dibutuhkan untuk Juna bukan dalam jumlah sedikit.

Alleta kembali menatap Juna yang memang kebetulan sedang menatapnya lekat, penuh dengan tanda tanya.

Nafas memburu pria yang terpaut jarak beberapa tahun dibawahnya pun terlihat sedang menahan emosinya.

"Juna, bisa duduk dulu di sebelah mbak? mbak bisa jelaskan, apapun yang kamu ingin tahu."

Juna beralih menatap sofa kosong tepat di sebelah Alleta, kemudian kakinya melangkah ke arah sofa guna mendudukkan dirinya di sana.

"Juna, mbak tahu kalau kamu khawatir dengan mbak. Tapi mbak juga tidak akan mungkin menjerumuskan diri seperti apa yang sedang kamu pikirkan saat ini. Mbak cuma berpesan kepada kamu agar kamu belajar yang rajin, masalah biaya cukup mbak yang akan pikirkan. Fokusmu saat ini adalah membuat mbak bangga dengan prestasi yang akan kamu raih, mbak masih ingin melihat Juna menjadi dokter yang hebat seperti apa yang papa dan mama impikan." Jelas Alleta menatap lekat mata sang adik.

Melihat mata sang adik berkaca-kaca membuat Alleta ingin menangis. Alleta ingin sang adik kuat dan tegar karena sumber kekuatannya ada pada adiknya.

"Mbak, Juna minta maaf karena selalu buat mbak kesulitan."

"Jun, kamu itu adik mbak. Mbak sama sekali tidak merasa direpotkan. Sebagai kakak, sudah sepantasnya mbak memprioritaskan kamu, apalagi mbak cuma memiliki kamu di dunia ini. Jadi, jangan sungkan kalau kamu butuh sesuatu hum? bagaimanapun caranya, mbak pasti akan usaha untuk memenuhi kebutuhan kamu." tangannya tergerak untuk mengusap rambut adiknya perlahan, ia tidak sadar jika adik kecilnya sudah besar. Juna harus tahu bahwa sang kakak sangat bangga terhadapnya.

Pria yang tubuhnya lebih tinggi dari Alleta pun menarik lengan Alleta pelan, merengkuh tubuh mungil sang kakak ke dalam pelukannya.

Isakan tangisnya terdengar pilu di telinga sang kakak membuat jemari gadis itu tergerak menghapus air mata yang sudah menetes di kedua pipinya.

"Mbak andai saja mama dan papa masih hidup, kita akan jauh lebih baik dari ini."

"Jangan bicara sembarangan, bagaimanapun kita tetap harus bersyukur dengan apa yang kita miliki saat ini."

"Juna, mama dan papa sudah bahagia di sana. Mereka pasti bangga melihat perjuanganmu. Jangan pernah menyesali semua yang pernah terjadi, okay? Oh, iya. Besok mbak ada panggilan kerja. Mas Yudha tadi menghubungi mbak, do'akan ya semoga kita bisa hidup lebih baik lagi." timpal gadis itu lagi lalu mengusak surai Juna lembut seperti sedang menyalurkan rasa sayangnya kepada sang adik.

"Semoga ya mbak." ucap Juna penuh harap.

Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain berdo'a meminta kepada Sang Maha Kuasa agar semua do'a sang kakak dikabulkan.

Arjuna Wijaya, satu-satunya adik dan keluarga tersisa yang Alleta miliki. Usia mereka terpaut 3 tahun. Alleta yang berusia 23 Tahun dan Juna yang berusia 20 Tahun.

Setelah ditinggal mati kedua orang tuanya, hidup Alleta dan Juna menjadi seperti ini, lebih sederhana dibanding sebelumnya. Meskipun seperti itu baik Alleta dan juga Juna, mereka selalu bersyukur atas apa yang Tuhan berikan terlepas dari rasa sakit sekalipun.

Juna dan Alleta memilih menetap di Jakarta dan menyewa salah satu rumah di tengah Kota. Mereka memutuskan untuk menjual rumah peninggalan orang tua mereka yang terletak di Semarang guna membiayai kuliah dan juga membiayai hidup.

Namun, sayangnya uang hasil penjualan rumah tersebut tidak cukup untuk membiayai kuliah keduanya, jadi Alleta memutuskan untuk berhenti mengejar gelar magisternya dan memilih bekerja untuk membantu membiayai kuliah Juna yang masih membutuhkan banyak biaya.

Alleta menyewa rumah itu selama setahun dan saat ini sudah memasuki bulan ke 11, itu artinya dia harus memikirkan untuk mencari uang agar bisa memperpanjang masa sewa.

Jujur, mencari pekerjaan itu sama sulitnya dengan mencari jodoh. Mencari pekerjaan memang sangat sulit, meskipun gadis itu sarjana tidak semudah itu untuknya mendapatkan pekerjaan karena pada kenyataannya kita harus memiliki koneksi di setiap perusahaan. Apabila kita mempunyai koneksi yang kuat maka kita akan diterima bekerja, begitulah hukumnya sekarang. Seperti yang kalian ketahui Nepotisme di Indonesia sudah mendarah daging.

Alleta sempat bekerja di sebuah resto selama 6 bulan, namun dia diberhentikan karena suatu insiden di mana saat ia tak sengaja menjatuhkan gelas berisi jus ke jas pelanggan VIP di tempatnya bekerja. Ingin melakukan aksi protespun dia sadar diri bahwa mereka sangat jauh berada di atasnya.

Perihal Yudha, pria itu adalah kenalan yang membantu Alleta saat pertama kali gadis itu merantau di Jakarta. Yudha memberitahu bahwa ada keluarga kaya raya yang sedang mencari pekerja wanita muda, meskipun belum memberitahu detail pekerjaannya tapi upah yang diberikan cukup fantastis.

Bahkan Alleta sempat memastikan lagi kepadanya apakah pekerjaan itu halal? mengingat jika sebagai pelayan tidak mungkin bisa mendapatkan upah sebanyak itu.

"Kamu bisa mencoba bertemu dengan mereka terlebih dahulu, jika tidak setuju kamu bisa membatalkannya."

Tidak ada salahnya mengikuti saran dari Yudha bukan? jika Alleta kembali berpikir, apa yang dikatakan Yudha itu ada benarnya, toh dia masih bisa memilih untuk melanjutkan atau membatalkan dan tidak ada salahnya untuk bertemu lebih dahulu untuk mengetahui detail pekerjaan tersebut. Apabila tidak sesuai dengan hatinya, gadis itu bisa menolaknya dengan sopan.

Membayangkan mendapat upah sebesar puluhan juta dalam sebulan saja membuat Alleta merasa gila, selain bisa menyicil hutangnya kepada Sean, dia juga bisa membayar biaya kuliah Juna hingga sang adik menjadi dokter yang sukses dan tentu saja dirinya bisa menabung untuk membeli rumah.

"Tuhan, aku tidak pernah berharap lebih, tapi semoga ini adalah jalan terbaik yang Engkau berikan untukku dan juga Juna." rapal gadis itu di dalam hati.

"Mah, Pah, kami rindu kalian. Aku tahu kalian selalu menjaga kami dari sana. Terima kasih karena sudah menjaga dan selalu mendoa'kan kami dari sana. Aku bersyukur karena dilahirkan dari rahim mama dan bangga memiliki ayah seperti papa. Terima kasih atas semua perjuangan kalian untuk membesarkan kami. Kami cinta kalian." Meski mengatakan kalimat itu di dalam benaknya, gadis itu mengukir senyum tulusnya. Ia percaya bahwa kedua orang tuanya akan menjaganya dari jauh.