webnovel

10 Atin Belum Siap Diperkenalkan Ke Orangtua Alex

Saat-saat seperti itu masih sempat-sempatnya Alex main-main. "Kamar mandi," ucap Atin polos. Alex terkekeh. "Kau tahu letak kamar mandi?"

Atin menggeleng.

"Tidak. Kau benar, di mana letak kamar mandi?"

"Nanti aja mandinya, sekarang kamu ikut makan. Temani aku. Aku gak manja lho. Cuman selama ini aku gak pernah makan sama-sama. Sudah punya pacar kan lebih baik makan bersama." Alis Alex naik turun.

Atin datar, sedetik kemudian emosi Atin berubah. Atin luluh. Kalau Atin lihat-lihat, wajah Alex imut. Puppy eyes itu berhasil mengambil alih dunia Atin. Tanpa sadar Atin menurut. Atin senyum, no problem. Makan sama-sama menarik.

Tak banyak berucap. Atin bawa makanan ke meja. Tangan mungil Atin telaten meletakkan makanan di piring. Atin terpikir saat itu ia dan Alex pasangan suami istri baru menikah.

Terlepas yang terjadi. Atin penasaran, makan bersama lawan jenis euforia akan bagaimana?

"Makan yang banyak," ucap Atin.

Sesuap makan masuk. Wow, mata Alex membulat. Enak.

"Enak?" Alex yang bertanya, bukan Atin. Harusnya yang masak bertanya, bukan si pencicip masakan.

Atin mengangguk. Atin mau makan banyak. Tak ada rasa malu!

"Lain kali bilang kamu ingin masak apa. Aku suka makananmu, rasanya pas di lidahku. Jadi koki aku ya," celutuk Alex.

"Oke." Atin mengangguk semangat. "Aku ingin coba masak sosis dan telur puyuh. Boleh?"

Alex gemas, ia dan Atin akur. Belum lama tadi mereka bertengkar.

"Tentu, untuk sekarang masak yang ada di lemari dan kulkas dulu ya. Biar hemat. Saat sudah habis, baru kita beli sosis dan telur puyuh," ujar Alex hangat. Di mata Atin, Alex bagai matahari mengintip malu-malu saat pagi hari.

Full sun.

Alex ingat terakhir kali ia begitu adalah saat neneknya bilang tak akan menyerah dari sakit yang dideritanya. Kenyataan mangatakan hal lain. Nyawa tak abadi. Waktu itu Alex masih terlalu kecil. Alex anggap neneknya bohong.

Banyak ucapan nenek, Alex anggap serius. Bahkan candaan pun dianggap serius. Tak jarang sebab itu mereka bertengkar ringan. Pada akhirnya Alex mengalah, demi nenek.

"Selesai, aku mau mandi, badan sudah lengket. Biasanya aku mandi dulu sebelum makan. Di mana kamar mandi?"

Alex senyum, gemas ke Atin. "Gimana kalau mandi sama-sama?"

Plak!

Bukan takut setelah pukul Alex, Atin justru tertawa. Tawa Atin menular, Alex turut tertawa. Biasanya Alex langsung marah-marah.

"Terbiasalah dengan caraku kesal, kadang aku lepas kendali. Saat aku menunjukkan sifat asliku, itu artinya aku sudah terbuka padamu. Maaf ya," ujar Atin. Teringat belum mandi, Atin lanjut berucap. "Mana kamar mandi. Serius, aku sudah gak nyaman. Kamu bilang kan gak 'gituan' lagi."

Alex mengangguk. Agaknya Atin sudah risih.

"Ya sudah, di sebelah kiri dekat dapur. Pintu warna hijau."

Atin mengangguk. Ia pikir ada banyak pintu kamar mandi di rumah besar Alex. Pasti. Mengantisipasi kemungkinan tersesat, Atin harus bergegas.

Selama Atin mandi, Alex lihat ponsel Atin-nya. Alex penasaran, apa saja isi ponsel sang kekasih?

Alex menemukan nomor Darkos. Alex bersmirk. Tak banyak berpikir, Alex block nomor Darkos. Kurang, Alex hapus nomor Darkos. Setelah itu Alex kasih tahu ke Atin untuk tak simpan nomor Darkos. Boleh Atin menghubungi, cuman gak boleh disimpan.

Atin selesai mandi. Dari rumah Atin bawa sabun mandi pribadi, sampai kamar mandi malah terpikir pakai sabun mandi di situ.

"Tt, kamu gak boleh simpan nomor Darkos. Aku sudah hapus nomornya. Kau tak boleh membantah. Kalian boleh berkomunikasi, dengan satu syarat, jangan simpan nomornya. Nomor Darkos ganggu penglihatanku."

Alex terlalu mengekang. Atin gerah hati dan body. Semoga Atin bertahan, Atin tak tahu seberapa lama hati dan akal sehatnya bertahan ke sifat Alex yang terlalu posesif.

***

Setiap pagi Atin selalu bersyukur. Ia masih diberi kesempatan bangun. Hal yang paling Atin syukuri, ia bertahan. Untuk ke depannya, banyak hal dapat Atin eksplorasi lebih jauh, berbagai pengalaman muncul. Di sanalah letak kebahagiaan Atin.

Semalam Atin dan Alex berselisih paham soal tidur. Ujung-ujungnya, setelah bertengkar kecil, Atin tidur. Alex keras kepala menyuruh Atin tidur saatu tempat. Jelas Atin menolak. Kalau sudah satu tempat, peluang terjadi hal tak diinginkan terbuka sangat lebar.

Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi, Atin ingin masak. Nasi goreng dan sup pasti enak. Tanpa buang banyak waktu Atin bergegas. Ponsel Atin bawa guna mengantisipasi. Alex mengancam ingin sita ponsel tersebut.

Nah, Atin kepikiran menyelamatkan benda eletronik tersebut. Bisa dibilang, ponsel salah satu barang berharga, selain sepeda dan rumah kecil.

Saat sedang masak, tiba-tiba Atin rasakan seseorang peluk ia erat. Pasti Alex.

"Kamu kok gak bangunin aku. Aku kan juga mau ngerasain sensasi bangun cepat. Dingin," ujar Alex masih terus peluk Atin lebih erat. Mencari kehangatan pada perempuan itu.

"Baunya enak."

Alex mengendus mirip kucing. Baru Atin tahu kebiasaan mencium Alex agak berlebih.

"Aku masak nasi goreng. Kamu bisa gak makan nasi goreng pagi-pagi?"

"Bisa kok."

Atin senyum. Alex tak pemilih, gak minta ini itu alias tak ribet. Alex anak orang kaya tak pemilih. Terpikir beberapa hal oleh Atin. Jangan-jangan apapun yang Atin masak, semuanya dimakan Alex.

Berselang beberapa menit kemudian, Atin teringat sesuatu. Soal tujuannya menginap di rumah Alex.

"Ngomong-ngomong proposal kamu sudah bagus. Sering-sering temui dosen pembimbing akademik biar cepat ACC. Kamu pasti mau lulus cepat, kalau aku sih begitu."

Di akhir kalimat Atin berdehem.

Senyum cerah. Alex ingin lulus cepat, muak kuliah lama-lama. Bosan!

"Terima kasih, kamu gak usah khawatir. Aku sering kok komunikasi dengan dosan pembimbing. Sekarang aku ingin cium, boleh ya, moring kiss."

Atin tertawa tak nyaman alias dipaksakan, mereka benar-benar seperti suami istri!

Otak Atin terpikir akan hal itu!

Interaksi yang seharusnya tak mereka lakukan. Dasar, Atin mereka ia sangat bodoh. Artinya idiot dong?

Jelas Atin memang bodoh. Maybe, kemungkinan besar begitulah.

"Kita belum menikah Al."

Alex kecanduan tubuh Atin. Tak bisa digangu gugat. Pokoknya Atin mau.

Bukannya respon permintaan Alex, yang justru Atin lakukan berbanding jauh. Melenceng.

"Lain kali kamu pergi ke tempat tinggal Papa dan Mama kamu gih. Aku gak mau kamu jadi anak durhaka. Kamu kan sudah janji akan bersikap baik ke orangtua dan ini termasuk salahnya." Suara Atin terdengar hangat.

Pelukan Alex di pinggang Atin semakin kencang. Sakit, Atin usahkan abai. Sementara itu Alex ingin habiskan quality time bersama Atin.

"Oke, tapi tetap moring kisss ya. Aku gak mau tahu, pokoknya harus kasih. Aku pergi menemui Papa dan Mama, sekalian aku ingin mengenalkan kamu sebagai pacar ke Mama dan Papa."

Tidak, Atin belum siap. Untuk saat itu cukup antara mereka. Jangan melibatkan orang lain, termasuk orangtua Alex.

*****