Plak!
Samael tanpa sadar menangkap tangan Helina yang akan menyapu pipinya...
"Kenapa kau menahannya!" Helina berteriak dengan marah.
Samael melihat tangan itu dan berkata dengan polos, "Umm, sumpah...ini refleks!"
"Lepaskan dan biarkan aku menamparmu! Hak seorang ibu !!!—"
Bibir Samael berkedut saat mendengarnya, "Hak seorang ibu" ini... benar-benar hak yang sangat istimewa !!!
Samael hanya bisa menghela nafas dan menatap dua Kakak beradik cantik disana sebelum berkata: "Kalian berdua keluar dulu, dan jangan biarkan siapapun masuk bahkan jika itu Keluargaku!"
"T-Tapi Yang Mulia, Dokter..."
"Keluar!" Suara Samaek sedikit dinaikkan dan matanya sangat tajam: "Ini perintah!"
" !!! " x2
Keduanya hanya bisa tersedak sesuatu dan langsung pergi, dimana Teresa dengan sedikit lembut menggosok punggung adiknya Latifa...
Latifa, syok!
Dia tidak menyangka akan melihat sisi terbalik Samael dimana dia bahkan membentaknya sekarang!
Teresa membawanya pergi dan diam-diam dia berbisik, "Jangan dimasukkan kedalam hati Latifa, Yang Mulia dan Bibi sepertinya memiliki hal yang serius."
"Um, aku tahu Kakak."
Setelah pintu kembali tertutup, ruangan menjadi sunyi, dan Samael yang masih tetap memegang tangan Helina sudah duduk disampingnya.
"Mau minum dulu? Lalu jelaskan masalahmu."
Samael mengatakannya dengan lembut sambil menghapus air mata di mata cantik Helina.
Helina membiarkan gerakan ini, dan dia hanya berkata: "Aku hamil."
"....."
Gerakan tangan Samael yang mengusap air mata Helina langsung membeku !!!
Helina menyadari ini dan masih berkata, "Itu anak kita. Bagaimana kita akan mengatakannya sekarang?"
Dua kalimat Helina katakan dengan satu tarikan nafas, dan jelas ada perasaan takut, ragu, khawatir, sekaligus senang di hatinya saat ini!
Alasan negatifnya muncul...jelas itu karena anak di dalam kandungannya ini.
Bahkan di Dunia yang melegalkan poligami ini, hubungan antar keluarga benar-benar tidak bisa diterima!
Selain dari masalah genetik sang anak kemudian, tapi itu juga masalah etika dan sosial !!!
Helina bahkan tidak tahu harus berbuat apa sekarang...membongkar masalah ini ke keluarga besar mereka?
Atau tetap menyembunyikannya?
Adapun alasan kenapa dia senang, jelas itu karena anak itu adalah buah cinta antara dirinya dan pria yang dia sayangi!
Dia adalah Ibunya, dan Samael adalah putranya, lalu anak ini...
Apakah itu adik Samael sekaligus putranya? Lalu apa yang harus kita lakukan nanti setelah dia dewasa?
Kenyataan...apa yang harus dikatakan nantinya?!
Cinta tak pernah mulus....
Semakin intim mengartikan semakin rumit, yang juga mengartikan semakin sulit pula menjaganya agar tidak tumbang saat dihadapkan oleh "angin kencang" kehidupan.
Di sisi Samael, dia, masih mematung!
Apa yang dia dengar tadi? Bisikan Malaikat atau bisikan Iblis?
Siapa yang berbisik tadi! Gabriel? Raphael? Lilith? Asmodeus? Keluar !!!
"Hah?! Aku tadi sepertinya mengalami apa yang orang-orang katakan tiba di perbatasan perbincangan antara manusia, malaikat, dan iblis..."
Samael mengusap keringat dingin di dahinya~
"Samael, aku hamil !!!"
Helina sekali lagi berteriak dan menarik kedua tangan Samael sehingga dua pasang mata mereka saling bertatapan!
May juga muncul diantara keduanya, dan duduk di sisi pangkuan Helina.
Disana dia menempelkan tangannya ke perut Helina dan berkata dengan senyuman di wajahnya, "Kakak, Mama memang hamil... Selamat~~"
"Benar-benar, hamil?" Samael masih meragukannya.
May mengangguk dan memainkan tangannya disana saat mengatakan, "Itu sudah di usia tiga minggu, tapi...lihat, lumayan menonjol bukan?"
"Itu karena anak itu kembar !!!"
"Tiga minggu?! Kembar?!" x2
Samael dan Helina berteriak dengan bersamaan!
Kembar !!!
Helina memiliki wajah rumit, tapi Samael di sisi lain hanya bisa melebarkan senyumannya !!!
Dia langsung memeluk Helina dan tertawa sangat senang, "Hahaha! Benar-benar, benar-benar hamil...Kembar !!!"
"Ini kembar !!! Bagus! Siapa sangka, Sial! Aku kehabisan kata-kata sekarang! Tapi aku sangat senang sekarang !!!!—"
Memberikan beberapa kali kecupan di wajah Helina, Samael benar-benar senang dengan berita tadi!
Helina yang wajahnya di rusak oleh Samael tanpa sadar membentuk senyuman indah di wajahnya~
Kembar, dan orang itu masih senang, menerimanya dengan penuh semangat...
Pikiran Helina akhirnya sedikit menjadi lebih baik.
Samael di sisi lain masih tertawa, dan tawa keras itu tersalur sampai ke depan dimana saat ini, ada beberapa dokter dengan Teresa, Latifa, dan bahkan Kakek Samael disana!
"Kenapa bocah itu tertawa?" kerutan di dahi Kakek menjadi semakin dalam.
Latifa menggelengkan kepalanya lembut, "Tidak tahu, mungkin...ada sesuatu?"
"Latifa, pasti ada sesuatu yang terjadi di dalam. Tapi masalahnya, apa itu?" kata Teresa dengan ringan.
Wajah Latifa memerah, itu tadi memang kata-kata yang konyol~
"Emm...Jadi, tugas kita?" (Para Dokter)
Kembali ke dalam ruangan, Samael berlutut di lantai dan dia melakukan ini agar kepalanya bisa pas dengan perut Helina.
"Memang sedikit lebih...mengembang!"
"Jangan gunakan kata yang vulgar padaku, aku masih kurus!" Helina tidak puas dan menjewer telinga Samael.
Samael tidak keberatan dan menyentuh perut Helina yang memang sedikit mengembang dibanding biasanya.
"Sekarang aku punya empat calon anak lagi! Humhum, sepertinya perbincangan dengan Salman memiliki manfaatnya sendiri tadi~"
Helina di sisi lain mengelus rambut Samael dan bertanya dengan gugup, "Lalu Samael...Bagaimana dengan anak kita selanjutnya?"
Mendengar ini, Samael terdiam sejenak sebelum akhirnya dia berkata sambil menggenggam tangan Helina:
"Jangan khawatir, aku tidak akan membiarkannya tersembunyi bahkan di keluarga."
"Tapi Samael..."
"Dengarkan, sayang." Samael menatap Helina dan berkata dengan lembut, "Pada kenyataannya adalah, saat kau berpikir untuk menyembunyikan ini..."
"Itu mengartikan kau tidak membiarkan dirimu sendiri untuk berlalu, yang sama saja dengan kau tidak memaafkan diri sendiri, tidak memaklumi situasi, dan tidak menyadari bahwa pada saat itulah kau tidak bisa maju lagi."
"Kau takut, aku tahu. Kau khawatir pun aku tahu. Tapi...kita tidak bisa menyembunyikan masa depan anak ini!"
Samael berdiri dan dengan kelima jari terbuka yang menempel ke dadanya, Samael berkata: "Jika memang harus ada yang disalahkan, maka biarkan aku berdiri di depanmu!"
"Bukankah ini yang biasanya selalu aku lakukan?"
"...Samael..."
Air mata sekali lagi mengalir di mata Helina, meski dia masih takut, tapi paling tidak, kata-kata Samael membantu semangatnya untuk jujur...
Tapi pada saat ini, Samael tiba-tiba menatap May dengan serius: "Kurasa May, aku harus meminta bantuanmu."