webnovel

Bukit Bunga Cinta

Ini kisah cinta pertamaku saat kelas satu SMP bersama Kak Setya, seorang mahasiswa KKN. Meski terpaut usia yang cukup jauh, namun itu tak menghalangi hubungan asmara kami. Lalu kuketahui bahwa ia juga menjalin cinta dengan sesama teman KKN, Kak Desi. Bagaimanakah kelanjutan kisah cinta kami?

cahyonarayana · Teen
Not enough ratings
4 Chs

Negeri Di Atas Awan

Pada hari Minggu, kami bermain ke pondokan mahasiswa KKN. Namun mereka tak ada. Kata ibu sesepuh, mereka ke kantor balai desa.

Kami ke sana dan mendapati mereka sedang mengerjakan tugas di depan komputer. Listrik di rumah sesepuh tak kuat untuk menyalakan komputer. Jadi mereka membawa komputer ke kantor desa untuk mengerjakan tugas.

Hanya ada satu komputer untuk dipakai bergantian. Kadang mereka menggunakan komputer rental yang ada di dekat balai desa. Dan kadang ke kota.

Begitu banyakkah tugas mereka hingga Minggu pagi begini masih mengerjakannya?

Kami pun dengan setia menemani mereka. Berusaha sebisa mungkin tak ribut agar tak mengganggu. Beberapa anak cowok sudah bertebaran di sana untuk ikut bermain. Atau sekedar, yah, sekedar berada di sana.

Para mahasiswa seolah seperti idola baru. Ke manapun mereka pergi, banyak anak-anak yang lengket mengikutinya. Mungkin karena sifat mereka yang baik dan menyenangkan.

Tugas mereka selesai tak lama kemudian. Hari masih pagi dan mereka bingung mau melakukan apa.

"Main, yuk Kak!" ajak salah satu anak.

"Main apa?" tanya salah seorang mahasiswa.

"Ke bukit, yuk!" ajak Kak Setya tiba-tiba, "Kalian pernah ke puncak bukit itu?" Ia menunjuk ke deretan perbukitan di depan balai desa.

"Pernah!" jawab beberapa anak cowok, "Rumah kami kan memang di lereng bukit itu!"

"Ayo, ajak kami ke puncaknya!" pinta Kak Setya.

"Ayoooo!" jawab para cowok penuh semangat.

"Ayo, kalian mau ikut?" ajak Kak Setya dan mahasiswi lain kepadaku dan beberapa anak cewek.

Kami hanya menjawab dengan kasak-kusuk dan cengigisan. Aku sebenarnya enggan, tapi Maya, Indah dan beberapa cewek lain bersikeras ikut.

"Ayo, Mbak!" rengek Maya memaksa, "Ikut aja!"

Aku menggeleng dan hendak pulang. Begitu juga dengan Ima. Namun karena paksaan mereka, kami pun akhirnya menurut juga. Toh aku juga belum pernah mendaki bukit itu.

Bukit yang kudaki hanya yang berada di belakang rumahku. Itupun tak ada apa-apa di puncaknya.

Jadi, kenapa aku harus ikut mendaki kali ini? Ada apa memang di atas sana?

Dan kenapa hatiku merasa tak enak? Untuk apa aku ke sana? Hati kecilku seolah berbisik, jangan! Jangan ke sana!

Tapi paksaan anak-anak tak bisa dihindari. Apalagi ajakan dari Kak Setya. Gadis mana yang akan menolak ajakan lelaki itu?

Beberapa mahasiswi pulang dulu ke rumah pondokan untuk mengambil persiapan. Mereka membawa air minum dan beberapa makanan. Seakan mau mendaki gunung saja! Padahal bukit ini tak terlalu tinggi. Mungkin hanya perlu beberapa puluh menit saja untuk sampai ke puncaknya. Tak lebih dari tiga puluh menit barangkali.

Anak-anak cowok yang tinggal di lereng perbukitan memimpin jalan. Kami berada di tengah. Dan para mahasiswa mengawasi kami di belakang. Mereka begitu perhatian kepada kami. Sering menanyai kami apakah capek atau tidak. Namun justru mereka yang kelihatan agak capek. Maklum, orang kota! Tak terbiasa dengan medan begini.

Perumahan padat kami lalui padai jalur awal pendakian. Kami sesekali harus menepi untuk memberi jalan bagi sepeda yang naik-turun membawa pakan untuk ternak mereka.

Yah, di rumah-rumah yang padat itu mereka beternak kambing, ayam, entok, angsa dan itik. Sepeda motor juga sesekali naik dan turun. Butuh keahlian khusus untuk mengendarainya di jalan sempit dan menanjak ini.

Meskipun jalanan padat ini sudah dicor, namun tetap harus berhati-hati karena cukup curam dan sempit.

Ini adalah perkotaan yang terjebak di pedesaan. Padat, tapi desa!

Setelah melalui perumahan padat, kami melalui jalan setapak yang terjal. Sebuah sungai indah kami lewati di lereng bukit.

Airnya segar, dan mata airnya entah terletak di puncak sebelah mana. Belum ada yang sampai ke sana karena katanya masih banyak kawanan monyet dan rusa liar.

Monyet liar cukup berbahaya karena bisa menyerang makhluk asing yang masuk ke wilayahnya. Jadi sementara ini, habitat mereka cukup aman dari manusia. Puncak bukit yang masih perawan, sama sepertiku. Tapi bagaimana dengan hatiku?

Kenapa sepanjang perjalanan ini aku terus melirik dan mencuri-curi padang pada Kak Setya? Dan ia pun tampak akrab dengan Kak Desi. Si cantik itu! Ah, kenapa aku merasa cemburu?

Kami mencuci muka sebentar di sungai kecil itu. Para mahasiswa tampaknya senang sekali bermain air di sana. Terdapat sebuah sendang di salah-satu sisi sungai. Katanya sesekali warga juga mandi dan mencuci pakaian di sini.

Perjalanan kami lanjutkan kembali. Dan tak berapa lama kemudian, kami sampai di puncak.

Wow, sangat indah. Inilah sisi desa yang belum pernah kulihat sebelumnya. Di sebelah timur, terlihat balai desa, rumah pondokan mahasiswa, masjid, SD dan tower seluler. Rumahku sendiri terhalang oleh berbukitan di sebelah timur itu.

Dan jauh di ujung timur sanalah, terdapat rumah Kak Setya dan kampus mahasiswa KKN ini. Tentu tak terlihat karena saking jauhnya.

Di sebelah selatan dan barat terbentang sawah yang luas sekali. Sangat indah. Jauh di sanalah terletak kota kabupaten. Tak terlihat juga tentunya.

Dan di sebelah utara, membentang perbukitan yang tak henti-hentinya. Seperti gulungan ombak yang tiada akhir. Bukit-bukit itulah - termasuk yang kami daki ini, dulunya dasar lautan. Dan sekarang seolah mereka dapat menyentuh langit. Kami jumpai fosil-fosil dan bekas-bekas cangkang hewan laut di atas sini. Juga beberapa batuan besar bekas karang. Begitu ajaibnya proses alam.

Dan begitu ajaib pula proses hatiku. Aku mulai menyukai Kak Setya!

Di kejauhan sana, gumpalan-gumpalan awan seolah terkepung oleh lembah perbukitan. Puncak-puncak bukit itu lebih tinggi dari sang awan. Begitu juga dengan bukit ini. Gumpalan awan tipis berada di bawah kami dan menghiasi pemandangan desa di bawah sana. Sungguh indah dan romantis.

Serasa berada di negeri di atas awan! Jadi negeri semacam itu bukan hanya dongengan! Benar-benar ada. Dan ia berada di desaku sendiri! Tak perlu jauh-jauh mencarinya.

Kami pun mengobrol sembari menikmati alam. Begitu indah dan romantis. Akankah hal seperti ini dapat terulang kembali? Mungkinkah?

Sesekali, kami berfoto-foto dan merekam video dengan handycam. Kami selalu terkagum-kagum melihat hasil rekaman video di layar handycam. Maklum, orang desa tak terbiasa dengan perangkat itu.

Dan tak lupa, kami memakan bekal yang dibawa oleh para mahasiswa. Arem-arem hangat dan beberapa makanan lain. Cukup mengenyangkan perut-perut yang belum sarapan ini.

Beberapa mahasiswa tertarik dan memetik bunga-bunga di puncak bukit. Bunga-bunga liar. Aku sendiri tak tahu namanya. Namun terlihat begitu indah.

Kak Desi paling antusias memetik dan diselipkannya di telinga. Menambah kecantikan gadis itu. Bak bidadari turun ke bukit saja.

Aku dan anak-anak cewek juga turut memetik bunga-bunga itu dan menggunakannya untuk bermain. Sebagian kami selipkan di telinga mengikuti Kak Desi.

"Wah, jadi cantik-cantik!" puji Kak Setya pada kami.

Aku pun tersipu malu mendengarnya. Ia lalu merekam video kami memakai bunga-bunga itu. Lalu berfoto bersama.

Pada suatu kesempatan, aku, Kak Desi dan Maya berfoto bersama Kak Setya. Entah kenapa, aku merasa ada sesuatu dalam foto kami itu.

Kami segera turun setelah puas menikmati keindahan alam dan keromantisan suasana. Begitu indahnya pagi ini. Bercengkerama di puncak bukit yang menakjubkan bersama Kak Setya.

Ah, andai saja aku bisa berdua saja dengannya! Mungkin bisa lebih romantis. Semoga suatu saat nanti bisa tercapai.

Jadi, apa yang kutakutkan tadi untuk naik ke sini? Orang harus punya sedikit keberanian untuk meraih kebahagiaan! Cukup sedikit saja! Dan ia akan rasakan hasilnya!

****

(Bersambung)