webnovel

BAB 2 - PERTOLONGAN

Cuaca pagi tampak tidak bersahabat. Langit memperlihatkan warna abu gelap. Suara guntur sekali-sekali terdengar.

Baru jam setengah tujuh, Nara dan Dalia sudah sampai sekolah. Koridor masih sepi. Hanya ada Pak Ujang, penjaga sekolah yang usianya sudah berkepala lima sedang menyapu lapangan. Rasanya mereka datang terlalu pagi, mengalahkan anak-anak yang mendapat giliran piket.

Mereka mengobrol sepanjang jalan. Dalia bercerita mengenai cowok-cowok ganteng di sekolah ini. Disebutnya beberapa nama. Menurutnya, Januari Fernando adalah yang paling tampan dari semua cowok yang ada di SMA Budiarto. Dia kelas sebelas IPA I. Putih, tinggi, Keren, jago main basket dan kecerdasannya tidak ada yang menandingi. Dia juga kaya. Tidak pelit. Tapi, sikapnya betul-betul bisa membuat semua orang darah tinggi. Pak Burhan, sudah bosan mencatat namanya di buku pelanggaran. Selain jarang masuk, sering terlambat, Jan juga hobi membuat keributan dengan Gavin.

Cowok kedua adalah Aksara Prasetya Wiryawan, kelas sepuluh IPS III. Orangnya ramah sekali. Murah senyum. Pintar bermain musik. Jago bahasa Inggris, tapi selalu remedial pada mata pelajaran matematika. Aksa tidak terlalu mencolok daripada Jan. Kalau disamakan dengan artis Hollywood, kurang lebih wajahnya mirip Shawn Mendes.

Yang terakhir adalah Gavin Zeroun. Kelas sebelas IPA II. Gavin mempunyai wajah putih, rambut sedikit pirang. Bola matanya berwarna cokelat gelap. Cowok itu tidak memiliki prestasi dalam pelajaran apapun. Tapi kalau sudah menunjukkan aksinya memanjat tebing, cewek mana yang tidak klepek-klepek? Tubuhnya tinggi dan atletis. Tapi siapa sangka, jika di balik tubuh yang oke, tersimpan jiwa pecundang. Gavin tidak pernah membalas meski dia sering dipukuli Jan tanpa sebab yang jelas.

Nara sama sekali tidak berminat dengan buah pembicaraan Dalia yang selalu berputar pada topik " cowok-ganteng-versi-dia". Alih-alih mendengarkan, cuaca mendung justru membuat ingatan Nara memutar peristiwa tiga bulan yang lalu tanpa permisi.

Waktu itu, kebetulan Nara pulang terlambat. Cewek itu baru selesai mengurusi mading pada jam tiga siang. Langit menyembunyikan cerahnya. Kilat menyambar-nyambar, membuat Nara berlindung di pojokan. Ia begitu takut mendengar gelegar serta cahaya menyilaukan dari langit, sedangkan seluruh kelas sudah dikunci. Bahkan lingkungan sekolah pun nyaris kosong.

Hujan turun begitu deras, membuat hawa di sekitar Nara mendadak dingin. Ponsel layar sentuhnya mati kehabisan daya. Ia ingin menghubungi orang rumah untuk menjemputnya, tapi tidak tahu bagaimana caranya.

Nara pasrah. Ia terduduk sambil memeluk lutut. Berharap agar dapat mengurangi dingin yang membuat tulangnya semakin lama semakin ngilu.

Ia menggigil. Badannya gemetaran. Entah berapa lama Nara berada dalam keadaan seperti itu, hingga sebuah jaket kulit tersampir di bahunya. Nara mendongak. Matanya mendapati sepasang mata yang menatapnya dengan khawatir.

" Rimba—"

" Aduh!" Nara mengaduh, merasa ada sesuatu mengenai kepala. Cewek itu maraih segumpal kertas yang jatuh tepat di sebelah kaki kanannya. Nara mengambil benda tersebut, lalu memandangi seluruh area yang terjangkau pandangan.

Sampai saat ini, masih belum banyak orang yang datang. Namun ada beberapa orang yang berjalan di belakang mereka.

" Lo tau siapa yang lempar ini?'' Tanya Dalia sambil menunjuk gumpalan kertas tersebut pada Sita, Farah dan Riani yang berjalan tepat di belakang mereka.

" Tadi sih gua liat ada yang lempar dari arah sana." Jawab Riani sambil menunjuk kelas sepuluh IPS I.

" Ngaco lo. Itu tadi dari toilet, oon!" bantah Sita.

" Masa sih?" Riani tampak tidak setuju dengan pendapat Sita.

Farah terlihat memindai setiap area, telapak tangannya mengusap-usap tengkuk. Farah memang penakut. " Gue merinding. Jangan-jangan—"

" Husst. Liat itu Pak Ujang. Mungkin dia." Nara menengahi. Ia tidak mau hal sepele seperti ini dikaitkan dengan eksistensi makhluk halus.

Farah garuk-garuk kepala, " eh iya. Ada pak Ujang."

" Makanya Far, jangan berpikiran negatif terus." Dalia merebut gumpalan kertas tersebut, lalu membukanya. Entah apa isinya sampai membuat mulut Dalia tiba-tiba bungkam seribu bahasa.

" Gue nggak mikir negatif, cuma berasumsi aja." Farah terkekeh singkat, malu sendiri.

" Eh, kita ke kelas duluan ya." Tanpa menunggu persetujuan dari Farah, Sita dan Riani, Dalia menarik lengan Nara menuju kelas.

" Aduh, pelan-pelan dong." Nara menepis lengan Dalia yang menariknya dengan agak kasar. " Emang isinya apa?"

Dalia menghentikan langkah. Cewek itu memberi kertas tersebut pada Nara. Detik berikutnya mata Nara membulat.

" Surat?"

***

Nara duduk di kursinya sambil membaca tulisan dalam selembar kertas lecek itu berkali-kali. Tulisan itu sangat jelek. Bahkan, lebih jelek dari tulisannya ketika masih kelas dua. Nara mengernyit berkali-kali. membaca nama Mr. G pada akhir kalimat.

Surat ini jelas ditujukan untuk Nara, melihat tertulis nama lengkapnya di sana. Isinya hanya satu kata, namun bisa membuat Dalia tidak berhenti bertanya tentang apa yang sudah ia lakukan untuk Mr. G.

"Nar, lo ikut pelantikan ya." Dalia memberikan sebuah surat izin yang harus ditandatangani orangtua siswa kepada Nara. " Ampun deh, itu kertas dari pagi masih diliatin aja?"

Nara membuang napas, lalu meremas kertas tadi dan membuangnya di kolong meja. Hal itu membuat Dalia tertawa sambil geleng-geleng kepala.

Nara menerima surat dari Dalia. Pelantikan ekskul gabungan akan diadakan sebulan lagi. Setiap anggota ekstrakurikuler wajib mengikuti acara tersebut. Acaranya berbentuk kemah di area Kitri Bakti. Kitri Bakti terletak di kecamatan Curug Wetan. Di sana sering digunakan kemah dan lomba pramuka.

Nara membaca surat itu sekilas, " tempatnya jauh ya?"

Dalia menggeleng. " Deket kok. Cuma sekitar setengah jam perjalanan dari BSD."

Nara bingung. Ia bahkan belum terdaftar menjadi anggota ekstrakurikuler apapun sekarang.

" Ah, nggak usah kebanyakan mikir. Gue catet nama lo." Dalia lantas berlari keluar kelas.

Nara membuang napas berat. Suasana kelas tidak begitu ramai karena masih jam istirahat. Sebagian besar teman sekelasnya berbondong-bondong ke kantin. Di kelas hanya ada Ratih, si juara kelas yang fokus pada bacaannya dan Farel yang tampak sedang bermain game online.

Nara memilih di kelas, karena ia tidak suka mengantre terlalu lama. Kalau lapar, ia lebih baik ke kantin sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi. Karena pada jam-jam itu, keadaan kantin sudah mulai tenang. Lagipula, Dalia sedang ada rapat OSIS untuk membahas acara Pelantikan Ekskul Gabungan. Sedangkan dia, sedang sibuk memikirkan siapa sebenarnya yang tadi pagi melemparinya dengan gumpalan kertas yang berisi surat ucapan terimakasih untuknya.

Pelajaran matematika setelah istirahat menghantuinya. Nara pusing meski sedang menyontek PR yang belum ia kerjakan. Alih-alih mencari ketenangan pikiran sementara, tatapan Nara justru dilempar ke luar jendela. Beberapa cowok tampak sedang berebut bola basket. Pemandangan seperti itu mengingatkannya pada orang yang pernah mengisi hati dan harinya.

" Nar, kamu mau jadi pacarku?" pertanyaan itu terputar dalam kepala begitu saja. Tanpa aba-aba.

Spontan Nara lupa dengan aktivitasnya menyontek PR matematika. Matanya menyipit menatap sosok yang tiga tahun belakangan dekat dengannya. Wajahnya imut sekali, bahkan suaranya saja masih seperti perempuan. Tetapi Nara tidak bisa memungkiri jika pesona cowok tersebut begitu kuat. Bukan hanya dirinya, beberapa teman sekelasnya pun sering menjadikan Rimbatara sebagai bahan pembicaraan.

" Kok diem?"

Nara terkekeh, lalu berbisik. " Kita masih kecil."

Rimbatara mencebik, " itu kan kamu. Baru kelas tujuh. Kalau aku udah kelas sembilan. Liat, mantan pacarku bertebaran kayak lalat."

Nara tertawa, " oh ya? Aku nggak mau. Nanti kalau kita putus kamu bilang aku kayak lalat juga."

Rimbatara menggeser kursinya sedikit mendekat. Ia mencubit pipi Nara gemas. " Aku jamin enggak akan. Kalau bisa kita nggak akan putus. Lagian, kamu kan bukan lalat, tapi nyamuk."

Nara memukul bahu Rimbatara pelan. Ia membuang muka, pura-pura marah.

" Loh kok ngambek?" Rimbatara meraih dagu Nara, ia paksa wajah itu agar melihat ke arahnya. " Kamu itu nyamuk. Soalnya kamu selalu ganggu tidur aku."

Spontan Nara menunduk. Menyembunyikan semburat merah di pipi, " gombal!"

" Loh kok gombal?"

Nara diam karena tidak dapat mengatur degup jantungnya yang memburu. Ini adalah pertama kalinya ia merasa merinding dekat dengan cowok. Padahal, ia yakin Rimbatara bukan sejenis makhluk halus. Tetapi, cowok itu secara halus telah menguasai seluruh perasaan Nara.

" Gini aja deh. Aku main basket ya. Kalau aku bisa masukin bola lima kali berturut-turut ke dalam ring, otomatis kamu harus mau jadi pacar aku."

" Kalau kamu gagal?"

" Kamu harus kasih aku kesempatan buat coba bikin kamu bahagia selamanya."

" Loh? Kamu curang."

Rimbatara mengangkat bahu. Ia lalu mengajak Nara ke lapangan. Rimbatara berdiri di tengah lapangan. Ia bahkan mengambil tempat pada tembakan tiga angka. Tangannya mulai mendrible bola dengan lihai. Nara yakin, Rimbatara pasti Bisa. Cowok itu adalah salah satu anggota basket kebanggaan sekolah.

Rimbatara melempar bola asal. Tampak dari pandangannya yang tidak fokus. Hal itu mengakibatkan tembakan tiga angkanya meleset. Bukannya masuk ring, malah mengenai kepala guru BK. Akhirnya, Rimbatara dipanggil guru BK.

Nara senyum-senyum sendiri mengingat peristiwa itu. Nara kelas tujuh merasa bersalah atas hukuman menyapu lapangan yang dijatuhkan pada Rimbatara. Sebagai imbalan, Nara nekat membantu Rimbatara menyapu. Ketika cowok itu bertanya untuk kedua kalinya, akhirnya Nara menerima cinta Rimbatara. Untuk pertama kalinya, Nara merasa menjadi orang paling istimewa sedunia.

Tiba-tiba kesadarannya tertarik kembali pada masa di mana semuanya telah berakhir. Nara masih setia memandang lapangan dengan mata agak berkaca-kaca. Bukan soal Rimbatara yang menyatakan cinta padanya, tapi soal Rimbatara yang tanpa aba-aba membuatnya kecewa. Mempermalukannya di depan umum bagai sampah.

Tanpa sadar, mata Nara menangkap sosok Gavin yang sedang berjalan di koridor. Cowok itu terlihat kesusahan membawa tumpukan LKS melewati lapangan. Tiba-tiba bola basket menerjang kepala Gavin, membuat keseimbangan cowok itu goyah. Gavin jatuh terduduk. LKS yang dibawanya berantakkan di atas lantai.

Nara memandang ke arah lapangan. Di sana, tepat di tempat tembakan tiga angka, berdiri Januari Fernando dengan tangan dilipat di depan dada. Nara dapat melihat senyum samar terukir di bibirnya.

Nara tidak tahu, kemana Jan pergi ketika Tuhan menciptakan Akhlak? Cewek itu geleng-geleng kepala, lantas berjalan keluar kelas. Baru cewek itu berniat menolong Gavin, namun cowok yang berlari dari tengah lapangan telah lebih dulu membantu Gavin.

***