webnovel

Bukan Pengantin Pengganti

Naya berpikir, bahwa dia hanya seorang pengantin pengganti. Namum, siapa yang menduga kalau pria yang menjadi suaminya memang sudah merencanakan pernikahan kilat mereka. Lantas, apa alasan di balik semua itu? Benarkah cinta? Atau ada cerita lain di dalamnya.

AnnisaSitepu · Urban
Not enough ratings
13 Chs

Lukisan Berdarah

"Tidak, jangan panggil aku nyonya. Panggil aku ibu, bagaimana pun kau adalah istri pilihan putra ku, maka mulai sekarang kau bagian dari keluarga Dominic."

Nayya terharu, tidak pernah mendapatkan perlakukan sedemikian tulusanya dari orang lain. Tidak pernah merasakan bagaimana rasanya di terima kembali setelah di buang oleh ayahnya. Membuat Nayya merasa di anggap ada.

"Tapi, saya hanya wanita tanpa identitas. Saya tidak pantas menjadi bagian dari keluarga Dominic."

Bukan Nayya ingin menolak kebaikan Melisa, ia hanya merasa bahwa dirinya tidak pantas menjadi bagian dari keluarga terkaya di Indonesia. Di tambah lagi, pernikahannya akan segera berakhir tahun depan, jika Lucas mencintainya.

"Di dunia ini, pantas atau tidaknya hanya Tuhan yang menentukan. Jangan hanya karena kau sering di perlakukan tidak adil akibat tidak memiliki identitas kuat sehingga membuat diri mu menganggap bahwa semua orang itu sama. Tidak semuanya sama, orang yang benar-benar kaya akan selalu melihat mu dari sudut pandang yang berbeda dari mereka yang hanya kaya."

Melisa terlahir dari keluarga kaya, dan keluarganya tidak pernah mengajarkannya untuk menghina atau bahkan memandang orang lain dari segi kekayaan. Begitu juga dengan suaminya, karena itulah. Keluarga Dominic selalu di hormati serta di hargai.

"Maaf, saya hanya takut keberadaan saya membuat keluarga Dominic malu."

"Kami baik-baik saja dengan pilihan putra kami. Tidak pernah perduli apakah dia wanita miskin atau kaya, yang terpenting adalah. Dia wanita baik-baik dan bisa menjadi teman hidup putra kami, baik saat susah mau pun senang."

Sudah sangat jarang ada seseorang seperti Melisa yang sangat bijaksana. Tidak memandang latar belakang seseorang, menerima mereka yang benar-benar tulus tanpa memandang statusnya. Sangat berbeda dengan keluarga Leonal, sombong dan hanya ingin anak-anak mereka menikah dengan orang kaya seperti mereka.

"Terima kasih karena sudah menerima saya."

"Sama-sama, mulai sekarang. Kau harus memanggil ku ibu, dan anggap saja kita teman, tidak perlu menggunakan kata 'saya' saat berbicara."

"Baik." Nayya bahagia, setidaknya. Meskipun pada akhirnya nanti ia akan berpisah dengan Lucas. Dirinya pernah memiliki ibu mertua sebaik Melisa.

"Apa kau seorang pelukis?"

Saat ini, Melisa tengah duduk di hadapan Nayya. Matanya tidak bisa lepas dari alat-alat melukis yang mahal di samping Nayya, membuatnya menjadi penasaran apakah menantunya seorang pelukis atau bukan.

"Ya, aku suka melukis. Mungkin karena ibu seorang pelukis, jadi bakat itu menurun pada ku." Nayya sudah lama tidak di tanya tentang dirinya. Terbiasa hidup dalam rumah membuatnya tidak lagi pernah merasakan bagaimana serunya berbicara.

"Apa ini dari Lucas?"

Nayya mengangguk bahagia, wajahnya yang pucat sudah berganti dengan bahagia. Senyumnya bahkan membuat Melisa semakin percaya tentang penilaian putranya mengenai sang menantu.

"Bagaimana jika hari ini, kau menunjukan bakat melukis mu pada ku. Sejujurnya, aku suka mengoleksi lukisan, tapi sayangnya anak-anak ku tidak ada memiliki bakat melukis." Melisa sedih karena kedua putra dan putrinya tidak ada yang memiliki bakat melukis sehingga ia harus membeli sebuah lukisan dari pelukis lain.

"Tapi lukisan ku tidak sebaik lukisan orang-orang."

"Jangan pernah merendahkan diri mu. Kau punya bakat yang tidak semua orang bisa, dan itu adalah hadiah dari Tuhan untuk mu."

Nayya semakin senang ketika mengetahui bahwa ibu mertuanya sangat bijksana. Darinya juga ia belajar bahwa tidak semua orang sama, ada banyak yang lebih tinggi namun punya rasa kepedulian serta hormat pada orang rendah sepetinya.

"Terima kasih, Bu. Aku akan mengingat kata-kata bijaksana, Ibu."

Senang rasanya mendapatkan menanti seperti Nayya, di berikan nasehat, ia langsung mengingatnya. Berbeda dengan kebanyakan wanita yang menjadi menantu tapi tidak suka di beri nasehat oleh mertuanya. Seperti itulah pemikiran Myra tentang menantunya.

"Kalau begitu, dimana kau ingin melukis?"

Melihat antusias mertuanya. Membuat Nayya bahagia sekaligus rindu. Rindu akan sosok wanita yang akan melakukan apa pun untuknya, rela menemaninya melukis saat tubuhnya sedang sakit. Bersedia memberikan senyum tulus ketika hatinya telah terluka, Nayya benar-benar rindu dengan ibunya.

"Mungkin di kebun bunga, suasana damai bisa membuat ku nyaman melukis."

"Baik, sudah di putuskan bahwa kita akan pergi ke taman bunga," ucap Melisa bahagia. "Tapi sebelum itu, Sara. Ikut dengan ku, kira harus membawa teh serta cemilah saat menemani Nayya melukis."

"Baik, Nyonya."

Albert yang melihat antusias Melisa pada Nayya menjadi lega. Ia akan segera melaporkan kejadian hari ini pada tuan mudanya.

Saat Melisa, Sara dan Albert pergi. Tiba-tiba saja Nayya mendapatkan sebuah panggilan melalui media sosialnya. Awalnya Nayya tidak terlalu perduli, namun sang penelepon seperti tidak perduli. Hingga panggilan ke lima, Nayya memutuskan mengangkat telepon tanpa melihat siapa yang memanggilnya.

"Halo adik perempuan ku tersayang." Suara lembut namun mengejek dari Pavina langsung terdengar di telinga Nayya. Tidak menduga kalau anak kesayangan sang ayah menghubungi, bahkan sepertinya memang bekerja keras agar bisa menghubunginya.

"Bagaimana keadaan? Apa suami tua dan jelek mu memperlakukan mu dengan baik?"

Meskipun sudah terbiasa, tapi tetap saja Nayya sakit hati dengan setiap ejekan Pavina. Walau, rasa sakit itu tidak terlalu parah sebab pria yang Vina anggap tua dan jelek adalah pria paling tampan yang pernah dia lihat.

"Kira-kira bagaimana malam pertama kalian? Apa menyenangkan? Pasti begitu. Kalau tidak, bagaimana bisa kau memiliki ponsel hingga berselancar di internet. Ah, atau jangan-jangan dia memberikan mu uang atas malam pertama kalian yang tidak terlupakan." Lalu, Vina tertawa terbahak-bahak. Sangat menikmati setiap penderitaan yang Nayya alami.

"Jika kau hanya ingin berbicara seperti itu, sebaiknya tutup telponnya. Entah aku menikmati atau tidak, itu bukan urusan mu."

Vina langsung terdiam. Sepertinya dia tidak menduga kalau Nayya, wanita yang dia anggap lemah ternyata bisa melawan.

"Ternyata sudah bisa melawan."

"Satu... Dua... Ti-"

"Oke, aku hanya ingin memberitahu mu kalau aku akan menikah dengan Leonal. Laki-laki yang sudah kau jaga selama beberapa tahun ini. Terima kasih atas kebaikan mu. Pria itu bahkan mengatakan kalau dia hanya melakukan dengan ku. Dan sekarang, aku sedang mengandung anaknya. Aku benar-benar bahagia."

Hati Nayya benar-benar terluka sekarang. Leonal, pria yang sudah dia temani walau jarang dia temui karena sibuk menjadi pembantu gratis di rumahnya sendiri. Malah menikah dengan Vina, saudari tirinya.

"Oh ya, satu hal lagi. Sebenarnya, ayah tidak pernah menjalin kerja sama apapun dengan pria tua mu. Pernikahan mu dengan pria tua itu sudah di rencanakan oleh Leonal. Dia menjual mu seharga 100juta. Lumayan tinggi, Bukan? Seharusnya kau bangga."

Mata Nayya terbelalak. Tidak menduga kalau pernikahan ini memang sudah di rencanakan, dan yang merencanakan semua itu merupakan mantan kekasihnya. Pria yang masih dia cintai hingga hari ini.

"Dan uang itu kami gunakan untuk acara pernikahan. Bayangkan, betapa mewahnya pernikahan kami nanti. Terima kasih, Adik. Kau masih berguna. Jika nanti pria tua itu muak dengan mu, kau bisa kembali. Aku tidak keberatan mencari suami tua lainnya. Kau harus tahu, ayah tidak keberatan merawat mu sebelum menikah kemb-"

Nayya sudah tidak menahannya. Dia segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya sakit, dan sesuatu yang selama ini dia derita mulai kambuh kembali.

Mengambil pisau buah yang ada di meja, lalu mulai menyayat tangannya. Kertas yang sedang ia pangku menjadi saksi seperti apa darah merah dan segar Nayya menyentuh warna yang awalnya putih kini berubah menjadi merah menyeramkan.

Tidak ada yang mengawasinya, membuat tangan Nayya semakin menjadi-jadi. Ia bahkan mulai melukis menggunakan tangan dengan cat darahnya, sedikit demi sedikit. Lukisan wanita menangis darah terbentuk.

Lukisan itu indah, tapi menyeramkan. Siapa pun yang melihat akan bergidik ngeri, wanita yang ada di lukisan dengan warna merah darah dan menangis darah sudah terbentuk. Sungguh sangat mengerikan.

Senyum Nayya semakin merekah ketika tangannya menggoreskan pisau kembali ke salah satu lengannya. Membuat semakin banyak darah, untungnga. Adegan mengerikan itu langsung terhenti akibat teriakan Melisa.

Para pelayan yang sedang berada di dapur langsung berhamburan. Menatap ngeri tindakan Nayya serta lukisan berdarah.

"Albert, cepat siapkan mobil dan minta Lucas menyusul ke rumah sakit." Perintah Melisa, lalu ia menghampiri menantunya dan membuang pisau tajam itu dari tangannya.

Memeluk Nayya, memberikan ketenangan untuk gadis tidak berdosa itu. Melisa prihatin dengan kondisi Nayya, ia akhirnya tahu bahwa hidup Nayya tidak mudah. Apalagi setekah ia di tinggal oleh sang ibu. Malaikat yang selalu melindunginya dari kerasanya dunia.

"Jangan sakiti diri mu, Sayang. Hidup mu masih panjang dan terlalu mahal untuk di sia-siakan."

Nayya tidak menjawab. Pelukan hangat itu membuatnya nyaman, meskipun tidak sehangat milik ibunya. Tapi Nayya nyaman dengan milik Melisa.